Bab 1 – Kapal Bayangan di Selat Melaka
Langit malam di atas Selat Melaka tampak seperti kanvas hitam pekat, diselimuti awan gelap yang menggantung berat, seolah hendak runtuh menelan seluruh cakrawala.
Petir sesekali menyambar, membelah kegelapan dan memperlihatkan kilasan ombak yang menggila. Angin bertiup kencang, mengamuk seperti roh laut yang haus darah.
Suara hempasan ombak bergema, berbaur dengan jerit tiang layar dan lenguh kapal kayu yang berderit memikul beban luar biasa.
Di tengah keganasan itu, sebuah kapal besar berjubah layar putih berjuang melawan arus.
Flor de la Mar, kebanggaan armada Portugis, mengarungi malam penuh kutukan. Kapal itu bukan sekadar alat perang; ia adalah simbol kejayaan Alfonso de Albuquerque, sang laksamana yang menaklukkan Melaka beberapa bulan lalu.
Namun malam itu, kapal megah ini lebih menyerupai peti mati raksasa yang dipenuhi harta rampasan: peti-peti emas berukir, tongkat kerajaan, porselen Dinasti Ming, kain sutra Tiongkok, dan permata berkilauan—semua dijejalkan ke dalam perut kapal hingga lambungnya hampir pecah.
Di dek utama, sosok Albuquerque berdiri tegak, jubahnya basah kuyup disiram hujan badai. Sorot matanya tajam, namun ada kegelisahan yang ia sembunyikan di balik rahangnya yang mengeras.
Ia telah menaklukkan Goa, menguasai Hormuz, dan kini Melaka, namun malam ini laut terasa berbeda. Ombak tak sekadar marah; seolah-olah laut sendiri menuntut balas atas segala darah yang tumpah di kota pelabuhan itu.
“Laksamana!” teriak seorang kapten muda sambil berlari menunduk, menghindari cambukan tali layar yang terlepas. “Kapal ini terlalu berat! Air masuk dari lambung kanan! Kita harus buang muatan atau kita akan tenggelam!”
Albuquerque menoleh dengan tatapan membara. “Itu harta raja! Harta kerajaan Portugis!” suaranya menggelegar, meski tersapu deru angin. “Aku tidak akan membuang satu keping pun! Kita harus sampai ke Goa dengan semuanya!”
Kapten muda itu terdiam, rahangnya mengeras di tengah rasa takut. Ia tahu, memprotes keputusan sang laksamana bisa berarti hukuman mati, tetapi badai tidak mengenal pangkat atau kuasa.
Di bawah dek, para kelasi bekerja mati-matian, menyendok air yang terus merembes masuk. Aroma kayu basah bercampur bau garam dan keringat, membuat udara semakin sesak.
Tiba-tiba, suara teriakan dari buritan memecah malam.
“Kapaaal! Ada kapal lain di belakang kitaaa!”
Semua kepala menoleh. Di kejauhan, di tengah hujan yang menebal seperti tirai, samar terlihat sebuah kapal hitam besar. Layar koyak, tiang patah, dan tak ada bendera yang berkibar. Namun kapal itu melaju lurus ke arah Flor de la Mar, melawan arus tanpa dayung, seolah-olah didorong kekuatan gaib.
“Santa Maria…” bisik seorang kelasi tua sambil membuat tanda salib di dada. Wajahnya pucat pasi. “Itu kapal hantu… pertanda buruk, Tuan Laksamana.”
Albuquerque meraih pedangnya. Senjata itu berkilat terkena cahaya kilat, namun ia tahu pedang baja terbaik pun tak berarti melawan bayangan. Kapal misterius itu tetap mendekat, lalu berlayar sejajar di sisi Flor de la Mar.
Dalam satu kilasan petir, terlihat sosok-sosok gelap di dek kapal itu, berdiri kaku, wajah tak terbaca. Namun sebelum ada yang sempat bereaksi, kapal itu lenyap, ditelan kabut malam.
“Semua di pos masing-masing!” raung Albuquerque. “Jaga tali layar! Kencangkan kemudi!”
Namun perintahnya tak mampu menenangkan hati para awak. Ketakutan menyebar lebih cepat daripada badai. Ombak semakin tinggi, menghantam lambung kapal dengan suara dentuman bagai meriam. Peti-peti harta bergeser, menghantam dinding dek bawah. Kayu kapal berderak, seakan berteriak minta ampun.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang kelasi muda bernama Mateus terjatuh saat mencoba menarik tali layar yang terputus. Tubuhnya terpental dan kepalanya hampir dihantam sebuah peti besi besar yang terguling. Dengan napas tersengal, ia memandang ke arah laut.
Dan di situlah ia melihatnya.
Di tengah gelombang yang menggila, berdiri tegak sosok lelaki berjubah putih. Sorban menghiasi kepalanya, wajahnya bercahaya pucat diterangi kilatan petir. Ia berdiri di atas permukaan laut, tak goyah meski ombak setinggi rumah menerjang. Mata lelaki itu menatap langsung ke arah Mateus, tatapan tajam namun penuh ketenangan, seolah menembus lubuk jiwanya.
Mateus menjerit. Suaranya tenggelam oleh deru badai.
“Laksamaaan!” suara lain berteriak panik. “Air menembus dek bawah! Kita akan karam!”
Kapal mulai miring. Layar utama terbelah, tiang agung patah dihantam angin. Para awak berlarian, ada yang mencoba menutup lubang di lambung, ada pula yang terjun ke laut mencari keselamatan.
Namun malam itu, lautan menuntut semuanya. Dalam kekacauan, Flor de la Mar terangkat oleh ombak raksasa, lalu jatuh kembali dengan hantaman yang memekakkan telinga.
Suara kayu pecah terdengar bersahut-sahutan, disusul jerit putus asa para awak.
Mateus masih menatap ke arah laut, di mana sosok berjubah putih itu berdiri. Namun kali ini, ada sesuatu di belakang sosok itu—silhouette kapal hitam yang tadi mereka lihat, kini mengapung tanpa suara, layarnya koyak, namun entah bagaimana tampak megah dalam kegelapan.
Dan segalanya menjadi gelap.
Flor de la Mar, kapal megah yang membawa kekayaan tak terhitung, tenggelam di Selat Melaka malam itu. Laut menyimpan rahasianya rapat-rapat, hanya meninggalkan serpihan kayu dan jerit yang tersapu angin.
---
Empat abad kemudian…
Sinar matahari senja melukis langit Melaka dengan warna jingga keemasan. Sungai Melaka berkilau bagai cermin tua, memantulkan bayangan bangunan kolonial yang berdiri megah di tepiannya. Di sebuah museum kecil, jauh dari hiruk-pikuk wisatawan, seorang pria berusia tiga puluhan berdiri mematung di depan kotak kaca berisi peta tua.
Dialah Dr. Amir Hakim, seorang arkeolog maritim dari Universitas Kebangsaan. Rambutnya sedikit berantakan, kacamata tipis bertengger di hidungnya, dan sorot matanya tajam seperti mata seorang pemburu rahasia masa lalu.
Di dalam kotak kaca itu terbentang peta lusuh dari abad ke-16, tinta hitamnya telah memudar, namun ada satu titik merah mencolok di tengah lautan biru kusam. Tulisan Portugis kuno di samping titik itu berbunyi:
“Di sinilah Tuhan menyembunyikan Flor de la Mar.”
Amir menarik napas panjang, jarinya menyusuri permukaan kaca. “Kalau ini benar…” gumamnya pelan. “Sejarah akan berubah.”
Bagi sebagian orang, Flor de la Mar hanyalah legenda: kapal hantu yang hilang bersama harta rampasan berbilion dolar nilainya. Namun bagi Amir, kapal itu adalah pintu gerbang menuju kisah sejarah yang terlupakan. Ia tak hanya mencari harta; ia mencari kebenaran yang terkubur bersama kapal tersebut.
Dia duduk di meja kayu museum, membuka buku catatan lusuh, mencatat hasil pengamatannya. Di luar jendela, suara langkah turis di tepi sungai terdengar samar. Namun Amir tak peduli. Dunia di luar museum terasa jauh.
Sekilas, ia melihat bayangan bergerak di kaca jendela. Seperti siluet sebuah kapal tua, layar terkoyak, tiang patah, meluncur perlahan di atas Sungai Melaka. Ia mengucek mata, namun bayangan itu lenyap. Hanya perahu wisata kecil yang melintas.
Namun hatinya berdebar. Seakan ada sesuatu—atau seseorang—yang memanggilnya.
Perjalanan Amir baru saja dimulai, dan ia belum tahu bahwa petualangan ini akan menyeretnya ke pusaran rahasia yang jauh lebih kelam daripada yang ia bayangkan.
---
Share this novel