3

Thriller Series 201

Setelah selesai mandi, kami berdua keluar hanya dengan menggunakan handuk.

"Mi, bajumu sudah mbok Darmi taruh di lemari yang itu." Aku menunjuk kearah sebuah lemari berukuran agak kecil yang terletak dibagian pojok.

Tanpa menjawab, ia melangkah menuju lemari itu.

Brakkk

Aku terperanjat kaget mendengar seperti orang membanting pintu. Sontak aku yang sedang memilih baju menoleh kearah Ami.

Aku melongo, cepat banget dia memakai baju. Bahkan kini rambutnya pun sudah tersisir rapi.

"Sayang, jangan bikin Mama jantungan. Tutup pintu lemarinya pelan-pelan saja." Aku berusaha mengurangi degupan jantungku akibat terkejut karena ulah Ami.

"Iya, Ma. Maaf." Akhirnya ia mengeluarkan suaranya yang sudah kutunggu sejak tadi.

"Alhamdulillah, semoga traumanya cepat menghilang. Aku merindukan Ami ku yang bawel dan super cerewet," batinku.

Tak terasa, makan malam tiba. Aku mengajak putriku turun ke lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, ia hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu merebahkan diri di kasur.

"Kenapa, sayang? Kamu kan cuma makan tadi siang, kalau malam ga makan nanti bakal susah bobonya."

Hal yang paling aku hafal dari anakku. Saat ia menolak makan malam, pasti tengah malam minta temenin makan. Dasar bocah!

Ia tak menjawab perkataanku. Ia langsung menutup matanya.

"Ami ngantuk banget ya, Nak. Yaudah, Bunda tinggal makan malam nemenin Ayah ke bawah dulu. Tidurlah," ucapku sambil mengelus kepalanya.

Cup

"Selamat bobo, cantik. Mimpi indah."

Akupun langsung turun menuju lantai bawah. Kasian mas Bima, pasti ia sedang menungguku di meja makan.

"Bun, kok Ami ga ikutan? Apa dia ga lapar?" tegur suamiku yang sejak tadi setia menungguku.

"Udah aku ajakin dia, Mas. Tapi dia malah langsung tidur. Mungkin saja, ia terlalu lelah. Biar saja, biasanya tengah malam juga bangunin kita, minta temenin makan," sahutku sambil memasukkan nasi dan lauk pauk kedalam piring mas Bima.

Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terdengar. Kami makan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Jujur, ingin rasanya aku ceritakan pada mas Bima tentang kejadian tadi sore, saat aku berhasil menemukan Ami. Namun, ku urungkan. Biarlah nanti saja saat kami sampai ke kota, sebagai oleh-oleh kisah serem liburan kami. Hehe...

"Mas, Ami kayaknya bakal bobo bareng kita. Aku ga tega kalau dia pindah ke kamar lain, villa ini kan lama tak kita kunjungi. Aku hanya takut kalau ia merasa tak nyenyak nanti," ucapku setelah kami selesai makan malam.

"Iya, ga apa-apa kok. Aku malah seneng, kita bisa seakrab ini. Jarang-jarang lho kita tidur bertiga kayak dulu," jawab suamiku merasa senang.

"Oh, iya. Sebaiknya Bunda temenin dia diatas. Ayah mau ngerokok sebentar di teras," lanjut mas Bima.

"Memang sudah kebiasaan laki-laki, kalau habis makan pasti ngerokok," sungutku.

"Hehe...mau gimana lagi, Bun. Udah tradisi perokok kayak gitu. Habis makan ada yang kurang aja kalau ga ngerokok dulu. Sama kayak sayur asem tanpa asem, kan bukan sayur asem namanya," jawabnya membela diri.

Aku hanya memutar bola mata malas. Susah banget nyuruh dia berhenti, kalau bukan dari kemauannya sendiri. Tapi, aku sering bersyukur kalau ia tengah dilanda pilek batuk, rokok awet karena dianggurin. Ibarat janda tanpa belaian, ga nyambung memang. Wkwkwkwk...

Mbok Darmi langsung membantuku untuk membereskan sisa piring bekas makan malam kami.

"Mbok, memangnya apa yang Mbok bilang tadi sore itu beneran, ya?" Aku menginterogasi si mbok karena masih merasa itu tak masuk akal.

"Maksud Nyonya apa? Saya ga paham, yang tadi sore itu apaan sih, Nya?" Ia malah bertanya balik padaku.

"Itu lho, Mbok. Ami yang Mbok bilang ikut ke warung beli lilin." Aku berusaha mengingatkan dia.

"Oh, itu. Kirain apaan! Memangnya kenapa, Nya? Memang bener kok, Non Ami sendiri yang terus ngikutin dari belakang. Daripada saya harus bolak-balik, makanya saya ajak aja dia sekalian.

"Apa Mbok lihat hal yang aneh dari putriku?" selidikku.

"Hal aneh opo to, Nya. Non Ami biasa saja, tapi ia memang tak banyak bicara saat saya ajakin ngobrol, hanya menjawab seadanya. Bukannya itu hal wajar?" terang mbok Darmi.

"Jelas aneh, karena Ami yang kukenal bukan gadis seperti itu. Tapi, ah sudahlah! Bisa saja ia masih lelah dalam perjalanan, jadi mungkin tak secerewet biasanya," jawabku dalam hati.

Tak mau banyak pikiran negatif, akhirnya aku pamit pada pembantu keluarga kami itu untuk menemui anakku.

Sesampainya aku di kamar, aku kembali dibuat terkejut saat melihat ia sudah duduk diatas kasur, sambil menyisir rambutnya menggunakan jari tangannya.

Hal aneh bertambah lagi. Aku menguatkan mental agar tak kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Aku perlahan mendekatinya, aku harus mengajaknya ngobrol. Ya, sebaiknya begitu. Aku ingin tahu kenapa ia tiba-tiba jadi berubah pendiam dan terasa asing bagiku.

"Sayang, katanya tadi ngantuk dan pengen bobo. Kok sekarang kamu malah duduk di kasur? Apa Ami lapar? Kalau kamu lapar, yuk Mama temenin ke dapur. Mbok Darmi masak ayam goreng kesukaanmu, lho! Enakkk banget!" Aku mendekatinya, mencoba mengajaknya bicara.

Tapi apa yang kudapat, ia hanya menggelengkan kepalanya. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia masih sibuk menyisir rambut panjangnya.

"Ami, sayang. Kamu kenapa? Kamu kok jadi pendiam seperti ini?" Aku kini sudah duduk disampingnya.

"Sayang, kalau Mama ajak bicara. Jawab dong! Jangan bikin Mama khawatir," lanjutku.

Sungguh aku sudah tak sabar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ia menghentikan aktivitas menyisir rambutnya, lalu mengangkat wajahnya menatapku tajam.

"Aku tidak apa-apa," jawabnya. Ia kembali memiringkan kepalanya, melanjutkan aktivitasnya kembali.

"Hoahmmm...,"

Tiba-tiba, aku merasa sangat mengantuk.

"Sayang, kalau kamu lapar. Bangunin aja Mama, nanti kita ke dapur sama-sama. Mama mau tidur dulu, ngantuk banget. Hoahhhhmmm..."

Berkali-kali aku menguap, mataku merem melek saking tak kuatnya menahan kantuk yang tiba-tiba muncul. Mungkin ini efek aku kekenyangan serta suasana di daerah sini yang begitu dingin. Maklum kami berada tak jauh dari gunung puncak gunung merapi. Kalau mau panas, mungkin harus nyebur dulu ke kawahnya. Dijamin langsung mateng, hehe...

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi, tidurku sangat nyaman malam ini.

Tiba-tiba, aku merasa kebelet pipis. Aku bersusah payah membuka mata yang terasa lengket ini. Bahkan aku sampai bermimpi sudah pipis di wc, sudah keluar. Namun, aneh rasanya, perut bawahku tetap saja keras.

Aku mencoba melawan mimpi itu, kalau aku tak berusaha bangun. Pasti akan basah kasur ini oleh air sen*ku.

Aku menoleh kearah samping, ternyata mas Bima sudah tertidur pulas. Saking nyenyaknya aku, sampai suami masuk kamar pun tak tahu.

Kowe ra iso mlayu saka kesalahan, ajining diri ana ing lathi...

Kowe ra iso mlayu saka kesalahan, ajining diri ana ing lathi...

Kowe ra iso mlayu saka kesalahan, ajining diri ana ing lathi...

Sayup-sayup, aku mendengar lagu yang dipopulerkan oleh Sara Fajira berjudul Lathi dinyanyikan oleh seseorang. Terdengar sangat jelas suara seorang wanita menyanyikan lagu itu. Tapi, kenapa hanya bagian reff nya saja? Itupun diulang-ulang. Bahkan dari suaranya, aku bisa menebak kalau wanita itu tengah melampiaskan amarahnya pada seseorang.

Aku melirik kearah jam di dinding. Sudah pukul 2 dini hari rupanya. Aku yang kebelet pipis langsung melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak kupedulikan suara itu, siapa tahu mbok Darmi yang sedang bersenandung.

Saat aku keluar dari kamar mandi, aku kembali dibuat terkejut melihat Ami duduk sambil memandangi ayahnya.

Kemana ia pergi malam-malam begini? Siapa yang menyanyi tengah malam begini?

Aku semakin bingung dengan semua ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience