Perasaan takut bercampur penasaran akhirnya membuatku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar tamu itu. Dengan tangan gemetar, aku meraih gagang pintu yang dingin dan memutarnya perlahan.
Klek!
Pintu terbuka lebar, namun yang kulihat hanyalah kamar kosong yang gelap. Cahaya dari lorong menerobos masuk, menyoroti debu yang berterbangan di udara. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya kesunyian yang mencekam. Aku melangkah masuk, merasakan lantai keramik yang dingin di bawah kakiku. Bau apek dan lembab menyeruak, membuatku mual.
"Apa aku berhalusinasi? Ah, ku rasa tak mungkin. Kalau hanya halusinasi ku, lalu ceceran darah itu bagaimana?" pikirku, mencoba meyakinkan diri.
Aku berbalik badan hendak melangkahkan kaki menuju dapur kembali, sekedar meyakinkan perasaanku, bahwa yang aku lihat tidaklah salah. Namun, jantungku hampir saja copot saat melihat Ami muncul tiba-tiba di hadapanku.
"Ami...kamu bikin bunda jantungan saja!" Aku berucap sambil mengelus dada, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu.
Melihat aku kaget, ia hanya tersenyum. Namun, fokus mataku langsung teralih pada bagian pipinya. Darah! Noda merah itu mencolok di kulitnya yang pucat.
"Kok ada noda darah di pipimu, Nak." Tanganku langsung tergerak hendak menyentuh, namun ia tepis dengan cepat.
"Tadi aku habis mukul nyamuk, Bun. Nyamuknya banyak yang gigitin pipi ku," kilahnya, dengan nada yang terdengar sedikit gugup.
Aku merasa curiga, apa jangan-jangan darah itu berasal dari Ami. Lalu suara orang mengunyah makanan itu, apakah juga suara Ami? Namun segera ku tepis semua pikiran itu. Tak mungkin! Roh jahat yang menguasai tubuh Ami kan sudah dikeluarkan oleh paranormal bernama Arjuna itu.
***
Lima hari kemudian, pagi yang cerah diiringi kicauan burung di luar jendela. Aku sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Mas Bima masuk dengan wajah serius.
"Sayang, aku perlu bicara," katanya sambil duduk di meja makan.
Aku berbalik, melihat ekspresi wajahnya yang tampak tenang. "Ada apa, Mas?"
"Aku baru saja mendapat kabar dari kantor. Mereka menugaskanku untuk pergi ke luar kota selama beberapa hari," jawabnya dengan nada biasa.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi tersebut. "Berapa lama, Mas?"
"Kurang lebih seminggu. Aku harus berangkat besok pagi," katanya sambil menghela napas.
Aku merasa cemas, terutama setelah kejadian aneh beberapa hari yang lalu. Namun, aku berusaha menutupi perasaanku. "Baiklah, Mas. Aku akan berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja."
Mas Bima tersenyum dan meraih tanganku. "Terima kasih, Sayang. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku yakin kamu bisa mengatasinya. Lagipula, Ami terlihat baik-baik saja belakangan ini, kan?"
Aku mengangguk, meski dalam hati masih merasa khawatir.
Iya, Ami memang terlihat biasa saja, tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku harus tetap waspada.
"Ya, Mas. Ami baik-baik saja," jawabku sambil tersenyum tipis.
Mas Bima berdiri dan memelukku erat. "Terima kasih, Sayang. Aku akan langsung pulang begitu kerjaan di sana selesai."
Setelah itu, aku melanjutkan menyiapkan sarapan sambil memikirkan bagaimana aku akan menghadapi hari-hari ke depan tanpa Mas Bima di rumah.
Aku harus kuat. Demi Ami, demi keluarga kami. Tapi, kenapa perasaan ini tidak bisa hilang? Ada sesuatu yang tidak beres, dan aku harus mencari tahu apa itu.
***
Keesokan harinya, pagi yang cerah dengan sinar matahari yang hangat menyinari halaman rumah. Mas Bima sedang bersiap-siap untuk berangkat ke luar kota. Ia memasukkan koper ke dalam mobil sambil sesekali melirik jam tangan.
Aku berdiri di depan pintu, mengawasi Ami yang sedang sarapan. Tiba-tiba, Ami berlari menghampiri Mas Bima dengan wajah penuh semangat.
"Papa, Ami mau diantar ke sekolah!" serunya sambil menarik lengan Mas Bima.
Mas Bima tersenyum dan mengusap kepala Ami. "Tentu, Nak. Papa akan antar kamu ke sekolah sebelum berangkat."
"Selesaikan sarapan mu dulu, Nak. Papa akan menunggu," ucapku.
Ami bergegas ke meja makan, menyelesaikan sarapannya. Setelah itu, ia langsung berlari sambil menggendong tas sekolah menghampiri ayahnya.
Aku mendekat, merasa sedikit lega melihat keceriaan Ami. "Mas, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai."
Mas Bima mengangguk. "Pasti, Sayang. Kamu juga jaga diri dan Ami baik-baik di rumah."
Ami melompat-lompat kegirangan. "Yay! Papa antar Ami!"
Kami bertiga berjalan menuju mobil. Mas Bima membuka pintu belakang dan membantu Ami masuk ke dalam. Aku berdiri di samping mobil, merasa sedikit cemas.
Semoga semuanya baik-baik saja. Aku harus tetap kuat dan menjaga Ami.
Mas Bima menatapku dengan penuh kasih. "Jangan khawatir, Sayang. Semuanya akan baik-baik saja."
Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan."
Mas Bima masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. "Ami, siap berangkat?"
"Siap, Papa!" jawab Ami dengan semangat.
Mobil perlahan melaju keluar dari halaman rumah. Aku melambaikan tangan, melihat mereka pergi hingga menghilang di tikungan jalan.
Aku harus kuat. Demi Ami, demi keluarga kami.
***
Setelah kepergian mereka, aku yang telah rampung mengerjakan pekerjaan rumah duduk santai di depan TV. Aku memutar acara berita, berharap bisa sedikit mengalihkan pikiran. Namun, yang muncul di layar justru membuatku semakin gelisah.
"Berita terbaru, ditemukan seorang korban pembunuhan dengan kondisi tubuh yang sangat mengenaskan. Badan korban koyak di bagian belakang, dan hati serta jantungnya hilang. Pihak kepolisian sedang mendalami kasus ini," kata pembawa berita dengan suara serius.
Aku terdiam, tubuhku terasa kaku.
"Ami! Darah di pipi! Kenapa aku langsung ingat kejadian itu?"pikirku panik.
Tempat kejadian perkara juga tak begitu jauh dari kediamanku, masih dalam satu kecamatan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ada hubungannya dengan Ami? Tapi, tidak mungkin... Ami hanya seorang anak kecil. Tapi darah di pipinya...
Aku mencoba menenangkan diri, tapi bayangan darah di pipi Ami terus menghantui pikiranku.
Apakah mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang belum aku ketahui?
Aku berdiri dari sofa, berjalan mondar-mandir di ruang tamu.
Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang kasus ini. Tapi bagaimana caranya? Dan bagaimana jika Ami benar-benar terlibat?
Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalaku, membuatku semakin cemas.
Aku harus tetap tenang. Aku harus melindungi Ami, apapun yang terjadi.
Namun, kemudian aku teringat sesuatu.
Kejadiannya sudah hampir satu minggu. Tak mungkin Ami! Toh kalau sudah satu minggu, mayat akan membengkak.
Ada rasa lega dalam hati. Mungkin aku hanya terlalu khawatir. Ami terlihat baik-baik saja belakangan ini.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku harus tetap waspada, tapi tidak boleh terlalu paranoid. Semoga semuanya baik-baik saja.
Aku yang tak mau terus kepikiran, akhirnya mematikan televisi. Langkah kaki aku ayunkan ke dalam kamar Ami. Kamar putriku tersayang! Namun, indera penciumanku mencium bau busuk yang menusuk hidung. Aku pun memeriksa di sekitar kamar, siapa tahu ada bangkai tikus.
Apa ini? Bau apa ini?
Aku membuka lemari, memeriksa di bawah tempat tidur, dan mengintip di balik tirai. Tidak ada apa-apa. Namun, bau itu semakin kuat saat aku mendekati kamar mandi Ami. Dengan hati-hati, aku membuka pintu kamar mandi.
Ya Tuhan, apa ini?
Di pojok kamar mandi, aku melihat sesuatu yang membuat darahku membeku. Potongan daging mentah tergeletak di lantai, mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Aku mundur beberapa langkah, merasa mual dan pusing.
Dari mana ini berasal? Siapa yang menaruhnya di sini?
Pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku, membuatku semakin cemas. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi bagaimana caranya? Dan apakah Ami tahu tentang ini?
Aku harus tetap tenang. Aku harus melindungi Ami. Tapi bagaimana jika...
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku berbalik dengan cepat, jantungku berdegup kencang.
Tubuhku seketika membeku, namun aku tak boleh takut.
Aku langsung berbalik, dan...
Share this novel