4

Thriller Series 201

"Sayang, tadi kamu kemana? Kok pas Mama bangun, kamu ga ada. Sekarang tahu-tahu sudah ada di kasur?" selidikku.

Ia yang tengah fokus memandangi mas Bima seketika menoleh kearahku. Tatapan matanya itu membuatku merinding.

"Tak usah kamu jawab pertanyaan Mama, kalau kamu tak mau. Ayo, kita lanjut tidur saja lagi," bujukku.

"Kenapa aku merasa kalau ada yang berbeda dari tatapan putriku? Kenapa tatapannya sangat aneh? Ya Allah, ada apa dengan putriku?" batinku terasa perih, seperti ada yang menusuk. Tapi aku tak tau apa itu.

Ia menundukkan pandangannya, lalu perlahan merebahkan diri diantara kami berdua. Aku mencoba memejamkan mata kembali, namun sangat susah. Rasanya aneh, panas dan ah aku tak tau harus menggambarkan dalam bentuk apa. Intinya sangat tak seenak saat aku tidur pertama tadi. Aku sangat gelisah!

Karena tak bisa memejamkan mata, aku memutuskan untuk bangun saja dan pergi ke dapur. Siapa tahu dengan mengisi perut, mataku kembali mengantuk.

Kulihat, Ami sudah memejamkan matanya. Aku beranjak dari tempat tidur, membuka pintu secara perlahan agar tak mengusik tidur mereka berdua.

Aku langsung menuruni tangga menuju lantai bawah.

Tap tap tap tap

Jantungku berhenti berdetak. Aku menghentikan langkahku.

"Siapa yang mengikutiku?" pikirku.

Dengan segenap keberanian, aku langsung menoleh ke belakang. Namun, tak ada siapa-siapa.

"Mungkin saja itu suara cicak." Aku membatin, mencoba mengusir rasa takut.

Aku meneruskan langkah kaki menuruni anak tangga, walau bulu kudukku berdiri. Saat sudah sampai di bawah, aku langsung berlari menuju dapur. Kalau biasanya orang ketakutan akan bersembunyi dalam kamar, tapi aku justru menuju dapur. Mau kembali ke kamar, tapi harus melewati tangga dulu. Kalau aku masuk ke kamar di lantai bawah, aku pun tak tahu akan aman atau tidak. Karena kamar di villa ini sudah lama tak ditempati. Jadi mungkin agak sedikit angker.

Aku langsung mendaratkan pantatku di meja makan.

"Huftt..." Aku membuang nafas kasar menetralkan rasa takut.

Tap tap tap tap

Terdengar kembali bunyi seseorang menuruni tangga.

Deg deg deg

Jantungku yang tadinya sudah mulai normal, kembali berdetak kencang.

Tak berselang lama, suara derap langkah kaki itu menghilang. Aku langsung mengelus dada.

"Syukurlah, semoga tak ada hal yang aneh lagi." Aku mengelus dada.

Aku berdiri, kemudian menuangkan air putih pada gelas, lalu meminumnya. Saat aku tengah meneguk air, bulu kudukku meremang. Bau anyir menyeruak memasuki indera penciumanku.

Kakiku gemetar, lututku lemas. Aku kembali duduk di kursi.

"Apa lagi ini ya, Allah." rintihku dalam hati.

La la la la la

Aku mendengar suara seseorang sedang bernyanyi. Aku memejamkan mata, tengah malam begini, apa ada manusia yang bernyanyi?

Dari arah depan, aku melihat seseorang berjalan kearahku. Karena lampu mati, aku hanya bisa melihat bayangannya saja.

"Langkah kaki itu, aku seperti pernah melihatnya. Tapi dimana?" Aku memutar otakku, mencoba mengingat sesuatu.

Keringat dingin membasahi tubuhku saat aku ingat langkah siapa itu. Itu adalah langkah kaki yang kulihat dalam mimpi, saat kami dalam perjalanan menuju ke villa ini.

Ia makin mendekat, aku melihat jelas wujud wanita itu. Rambut panjang menutupi wajah dengan gaun putih yang sudah mulai usang.

"Kaka, selamat datang di rumahku? Apa kau menikmati liburan ini?" Ia mengangkat kepalanya.

Jantungku makin berdegup tak beraturan. Mau lari, namun kakiku sudah lemas. Aku hanya bisa pasrah saat melihat wajahnya. Wajah rusak, penuh luka dan nanah. Bola matanya juga hampir keluar.

Ia makin mendekat kearahku. Aku yang sudah sangat ketakutan, mencoba membaca surah pendek sebisaku. Namun, aku malah membaca do'a makan. Sial!

Ia tertawa cekikikan, jaraknya hanya beberapa centi dari wajahku. Bau busuk sangat terasa memasuki hidung. Tubuhku melemah, aku kehilangan kesadaran. Sebelum aku benar-benar pingsan, aku sempat merasakan tangan dingin dengan kuku runcing bergerak mengelus tubuhku. Setelah itu, aku tak tahu apa-apa lagi.

***

"Bun, bangun...kenapa malah ketiduran di meja makan?"

"Bun, Bunda. Bangun, sayang! Kamu kenapa?"

Aku mendengar suara itu, namun aku tak bisa membuka mataku. Aku juga merasa tubuhku diangkat seseorang. Dari suaranya, aku bisa mengenali kalau itu mas Bima.

"Kenapa tubuhmu jadi dingin begini, Bun? Kamu kenapa?"

Ia mengoleskan sesuatu pada hidungku, baunya seperti minyak kayu putih. Secara perlahan, aku bisa membuka mataku.

Jantungku kembali berpacu cepat saat aku melihat wajah siapa yang pertama kali muncul. Wajah Ami!

Ia memandangku tajam. Tatapan matanya seakan ingin membunuhku.

"Kamu sudah bangun, Bun? Tadi Bunda kenapa? Bunda pingsan di meja makan. Untung Ami membangunkanku. Ia mencari Bunda," jelas mas Bima.

"A-aku..."

Aku tak bisa melanjutkan ucapanku, saat tiba-tiba Ami memelukku.

"Sayang, sekarang Mama sudah ada disini. Ayo kita tidur lagi." Mas Bima mengelus kepala Ami.

Tanpa menunggu jawabanku, mas Bima langsung merebahkan tubuhnya. Tak lama, kudengar dengkuran halusnya. Niat hati ingin bercerita malah ia sudah tidur.

Ami pun ikut merebahkan diri sambil memelukku. Badannya yang dingin, membuatku sulit untuk bernafas. Ketakutan tadi belum hilang, ditambah kini harus dipeluk Ami dengan erat. Aku yang tak tau harus berbuat apa akhirnya hanya bisa memejamkan mata.

Sayup-sayup, aku mendengar suara adzan dari sebuah mesjid yang letaknya lumayan jauh dari villa ini. Aku membuka mata, namun lagi-lagi aku tak mendapati Ami. Kemana dia subuh-subuh begini?

Tak terasa, air mataku luruh. Hatiku sakit melihat perubahan pada diri putriku. Selain badannya dingin, pendiam dan tatapan matanya yang aneh. Ia juga sering menghilang.

"Ya Allah, kembalikan putri seperti kemarin. Aku rindu mendengar ocehannya. Aku rindu dengan sikap lembutnya. Kembalikan ia padaku, ya Allah," harapku dalam hati.

Aku segera bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku membersihkan badan, lalu mengambil air wudhu. Setelah itu, aku menjalankan kewajibanku sebagai umat muslim.

Pagi harinya. Aku sudah berkutat di dapur, membantu mbok Darmi memasak. Tak tega rasanya aku melihatnya menyiapkan untuk kami seorang diri. Walau aku tahu dia memang bertugas melayani kami. Tapi, saat aku tak ada kesibukan, apa salahnya aku ikut membantunya.

"Apa tidur semalam nyenyak, Nyonya?" tanya mbok Darmi saat aku sedang mengupas bawang.

"Lumayan, Mbok. Lama tak tidur disini rasanya gimanaa...gitu," sahutku ambigu.

"Maksud Nyonya apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Nyonya? Ceritakan sama saya, jangan dipendam," ujarnya.

"Sebenarnya tadi malam..."

Belum selesai aku bicara, Ami berlari kearah dapur. Ia langsung duduk di meja makan sambil memperhatikanku.

"Kenapa saat aku ingin mengatakan sesuatu, ia selalu hadir," pikirku.

"Tadi malam kenapa, Nya?" tanya mbok Darmi penasaran.

"Mm, tadi malam aku sampai pingsan saat tak sengaja melihat tikus di dapur, Mbok." Aku tertawa, menertawakan kebohonganku.

"Oh. Kirain apaan tadi. Maklum kalau ada tikus disini, Nya. Kan dibelakang penuh dengan rimbunnya pepohonan. Nanti saya akan suruh mbah Rasno memasang perangkap tikus," jawab mbok Darmi membalas senyumku.

Sementara, Ami hanya memperhatikan kami sambil memainkan bonekanya. Ia tersenyum kearahku. Senyuman yang penuh arti, namun sulit untuk diartikan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience