5

Thriller Series 201

Masakan untuk sarapan pagi telah siap. Aku memanggil mas Bima ke lantai atas. Saat menaiki tangga, aku kembali teringat semuanya yang terjadi tadi malam.

"Kak? Hantu itu memanggilku dengan sebutan kak, apa aku ini kakaknya? Aku kan anak tunggal, tak mungkin jika aku mempunyai seorang adik," pikiranku kembali berkecamuk.

Ku langkahkan kaki menuju kamar kami. Saat aku membuka pintu kamar, aku dibuat shock kembali.

Ami duduk sambil memainkan bonekanya di atas kasur.

"B-bukannya tadi ia berada di meja makan, lalu mana Ami yang sebenarnya?" batinku bertanya-tanya.

Mas Bima baru saja keluar dari kamar mandi. Ia hanya menggunakaan celana pendek, namun belum memakai baju. Roti sobek yang kulihat membuatku mengagumi betapa sempurnanya suamiku. Ingin rasanya aku memberikan selai pada roti sobek itu, lalu nganu. Kenapa otakku jadi mesum begini? Haha...

"Mas, ayo sarapan. Semuanya sudah siap. Aku memasak makanan kesukaanmu," ucapku sambil menghampirinya.

"Bunda duluan aja, aku nanti nyusul," sahutnya sambil memakai kaos oblong.

Aku menoleh pada Ami. Ia masih asyik memainkan bonekanya.

"Nak, yuk sarapan. Bunda tadi masak udang krispi kesukaan Ami." Aku menghampiri dan memeluknya.

Badannya tetap dingin. Ia pun tak merespon pelukanku. Hatiku sakit, berulang kali aku berusaha meyakinkan diri kalau Ami ku baik-baik saja. Namun, faktanya tidaklah demikian.

Ami ku sudah hilang. Ami yang sekarang adalah orang asing buatku.

Ingin rasanya aku berteriak dan menceritakan semuanya pada mas Bima dan pembantu disini. Namun, tiap kali ada kesempatan. Ami tiba-tiba saja ada di hadapanku. Kehadirannya yang secara tiba-tiba membungkam mulutku.

Saat aku tengah dilema, tiba-tiba mas Bima mengagetkanku.

"Bun, kok malah bengong sih. Ada apa? Cerita sama Mas," ujarnya menatapku.

"Makan yuk, Pa!" Ami yang tadi cuek padaku, tiba-tiba bangkit dari kasur lalu menarik tangan mas Bima.

"Ga apa-apa, Mas. Yuk kita sarapan!" Aku kembali hanya bisa memendam sendiri.

"Putri kecil Papa ga sabaran banget, sih! Lapar ya, Nak." Mas Bima mengelus kepala Ami.

Ia hanya mengangguk. Tadi, saat aku tawarin makan, ia diam saja. Kenapa saat mas Bima ingin mengajakku bicara, ia malah bilang lapar.

Bukan aku merasa cemburu pada putriku sendiri. Namun, Ami yang kukenal adalah anak yang paling dekat denganku. Karena mas Bima sibuk bekerja, aku lah yang setiap hari selalu menemaninya.

"Akan kucari tau, siapa kau sebenarnya?" batinku menggeram.

Ami menggandeng tangan mas Bima, sebelah tangannya untuk memegang bonekanya. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kemanapun ia selalu membawa boneka itu.

Ami ku hanya bermain dengan boneka itu disaat ia ingin bobo atau merasa kesepian. Bukan kemanapun pergi selalu membawa boneka itu.

Kami bertiga kini sudah duduk di meja makan. Aku mengambilkan mas Bima dan Ami nasi serta lauk pauk kesukaan mereka tentunya.

Tiba-tiba Ami mendekat ke arah Mas Bima. Iya bahkan duduk di pangkuan Mas Bima, sambil berkata, " Pah suapin dong, " ujarnya dengan gaya manja.

Aku yang melihat itu semua hanya bisa melongo.

"Ami semanja ini?" pikirku.

"Tumben minta suapi. Kamu juga ga suka ikan masak pedas begini, kalau nanti sakit perut gimana?" ucap mas Bima heran.

"Ami minta suapi pakai udang krispi aja ya, Nak. Itu kan makanan kesukaan kamu," sahutku membujuknya.

"Kalau Ami makan yang ini, nanti sakit perut. Kita gagal dong jalan-jalannya, katanya mau diajak jalan-jalan mengelilingi kebun teh," bujuk mas Bima sambil mengambilkan udang krispi dari piring milik Ami.

"Papa suapi pakai ini ya, cantik." Mas Bima berkata lembut sambil menyuapinya dengan udang krispi.

Aku tersenyum melihat begitu lahap ia mengunyah masakanku.

"Makan yang banyak ya, Mi. Biar tambah pinter," ucapku sambil tersenyum.

Ia hanya menatapku nanar saat mendengar perkataanku. Aku berusaha memendam emosi pagi-pagi karena ulah anakku, eh entahlah.

Kami makan dalam diam. Sesekali aku melirik kearah mas Bima dan Ami yang tak berhenti tersenyum pada ayahnya sendiri. Mungkin saja, ia rindu makan disuapi oleh ayahnya. Biarlah, selama tak ada lagi hal aneh yang terjadi padanya. Kalau sebenarnya tujuannya hanya ingin meminta perhatian dari ayahnya, aku senang.

Setelah selesai makan, mas Bima memenuhi janjinya. Ia mengajak kami berkeliling kebun teh menggunakan mobil.

Hamparan luas nan hijau membentang disepanjang jalan yang kami lalui. Wangi aroma daun teh pada pagi hari begitu segar.

Mas Bima sengaja membuka kaca mobil agar aku dan Ami puas memandang.

"Pagi, Pak, Bu!" sapa mas Bima pada beberapa orang warga yang sedang asyik memetik daun teh.

"Pagi, Pak Bima!" sapa mereka balik. Mas Bima dulu pernah tinggal disini, jadi mereka sangat mengenalnya.

Namun, saat mereka melihatku dan Ami yang duduk dibelakang. Tatapan mereka berubah. Banyak wajah menunduk yang kulihat. Padahal aku sudah berusaha tersenyum manis, semanis gula. Kenapa mereka seperti ketakutan melihatku? Atau mereka melihat Ami.

Aku langsung menoleh kearah wajahnya. Tatapan mata tajam dan rambut panjangnya yang terurai menutupi sebagian wajah. Mungkin itulah yang membuat para warga menatapnya agak aneh. Itu sih menurutku!

"Apa kalian senang?" tanya mas Bima saat kami sudah puas berkeliling kebun teh.

"Mas, kalau kita turun, bagaimana? Aku ingin berjalan kaki sampai ke bukit itu," sahutku sambil menunjuk kearah bukit yang diatasnya sudah disediakan tempat untuk beristirahat.

"Baiklah, apa sih yang tidak buat istriku," jawabnya sambil mengerlingkan mata kearahku.

"Ami ikut Papa atau Mama, Nak?" tanya mas Bima.

"Ikut Papa saja!" sahutnya sambil tersenyum. Senyuman penuh arti menurutku, karena setelah itu ia langsung menyeringai kearahku.

Mas Bima menurunkanku dipinggir jalan. Aku yang memang dari villa sudah membawa kamera, begitu senang.

"Akhirnya, aku puas selfi di kebun ini," gumamku senang.

Aku mencari spot-spot yang bagus untuk ber-selfie ria.

Cekrek cekrek cekrek

Aku menggerakkan badanku dalam berbagai gaya. Tak apalah sesekali alay begini. Toh untuk kusimpan sendiri saja hasilnya nanti. Hehe...

Setelah puas aku berfoto di kebun teh ini. Aku langsung berjalan menuju kearah bukit sambil menyalakan kamera, membuat video.

Sreeekkkk

Aku langsung menghentikan langkahku.

"Bunyi apa itu tadi?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun tak ada siapapun disini.

"Apa jangan-jangan ada binatang buas disini? Ular, anjing galak atau beruang," pikiranku mulai tak tenang.

Aku mempercepat langkahku menuju bukit, disana mas Bima sudah menungguku.

"Kakak mau kemana?" Sebuah suara yang tak asing menyapaku dari arah belakang.

Wusssss

Aku langsung terdiam bagaikan patung saat mendengar suara itu. Seperti biasa, bau busuk langsung menusuk hidungku.

"Huft...huft...huft...kenapa ia tiba-tiba ada dibelakangku," batinku.

Jarak ku dengan mobil mas Bima sekitar 6 meter lagi. Apakah dengan aku berlari, ia tak akan mengejarku? Kalau aku diam disini, aku tak tau apa yang akan terjadi padaku nanti.

1

2

3

Aku sudah siap mengambil ancang-ancang untuk berlari sekencang mungkin menuju mobil mas Bima yang ada di atas bukit.

Blessss

Ia tiba-tiba sudah berada tepat di depanku.

"Mau lari kemana, Kakak?" ujarnya menatapku tajam. Bola matanya yang hampir keluar membuatku bergidik ngeri.

"T-toloooong...."

Aku berusaha berteriak meminta tolong.

"Ya Allah, datangkan seseorang untuk menyelamatkanku," pintaku sambil memejamkan mata.

Tubuhku bergerak tak karuan saat ia berjalan bagai zombie sambil tertawa. Kain bagian kakinya melayang-layang diterpa angin pagi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience