Aku dan mas Bima celingukan mencari keberadaan Ami. Tiba-tiba, mbah Rasno muncul. Tapi, kok Ami ga ada!
"Mbah, Ami kemana? Tadi bukannya main ditemenin Mbah, ya," tanya mas Bima mendahuluiku bertanya.
"Oh, itu Tuan. Non Ami bukannya sudah masuk kedalam rumah. Makanya Mbah kembali memangkas rumput," jawab mbah Rasno santai.
Aku dan mas Bima saling berpandangan. Ami masuk kedalam rumah, sejak kapan? Kok dia ga nyusulin aku ke kamar atau ke meja makan. Berbagai pertanyaan memenuhi benakku.
"Mas, aku masuk kedalam dulu, ya. Mau cari Ami. Siapa tau saat kita di meja makan, ia malah masuk ke dalam kamar," ucapku.
"Jalan-jalannya ga jadi, nih?" Mas Bima meminta pendapatku.
"Besok aja, lagian ini udah mau Maghrib. Lebih baik aku masuk saja." Aku langsung meninggalkan mas Bima dan mbah Rasno, pikiranku mulai tak tenang sebelum menemukan Ami.
Aku memasuki villa mencari keberadaan putriku. Aku masuk kedalam kamar, namun dia tak ada. Kamar mandi, lemari juga tak ada.
"Kemana kamu, Nak? Jangan bikin Mama khawatir," batinku cemas.
Aku menelusuri setiap ruangan yang ada di villa ini. Villa ini mempunyai 4 buah kamar, 2 diatas dan sisanya berada di lantai bawah. 2 kamar diatas tidak aku temui keberadaannya. Aku langsung turun ke lantai bawah. Kembali memasuki 2 kamar lainnya. Nihil, Ami tak ada juga disana.
Aku mencarinya ke dapur, mungkin ia kehausan atau sedang mencari cemilan. Namun hasilnya tetap sama. Ami tak ada dimana-mana.
"Mas, Ami hilang!" Aku berlari kearah depan mencari keberadaan mas Bima sambil berteriak. Mataku mulai mengembun.
Sejak aku bangun tidur, aku tak melihat keberadaan putriku itu. Hati ibu mana yang tak gelisah jika anak satu-satunya menghilang.
"Mas, Ami...Ami hilang, Mas. Huhuhuhu...."
Aku langsung memeluk tubuh mas Bima, lalu menceritakan semuanya.
"Ayo, kita cari sama-sama, Bun. Siapa tau ada ruangan atau tempat yang terlewat." Suamiku menghapus air mataku, menenangkanku.
"Aku sudah mencarinya ke sudut manapun, Mas. Tapi...belakang dan samping villa belum kuperiksa." Semangatku kembali bangkit.
"Ayo kita cari dia. Mas panggil mbah Rasno dulu, minta bantuannya. Dia paling hafal seluk beluk villa ini." Mas Bima langsung mencari mbah Rasno yang katanya tadi memangkas rumput.
Aku menunggu kedatangan mas Bima dan mbah Rasno dengan mondar mandir sambil menggigit jari. Hal yang biasa kulakukan jika sedang cemas.
5 menit berselang keduanya pun datang.
"Tadi beneran kok, Nyonya. Bahkan Non Ami sendiri yang bilang mau masuk karena sudah sore," jelas mbah Rasno ketakutan.
"Bantu kami mencarinya, Mbah. Siapa tahu ada dibelakang atau kemana gitu. Kan Mbah yang hafal tempat ini," ujar mas Bima.
Akhirnya, kami pun pergi mencari Ami ke bagian belakang villa. Aku dan mas Bima berkeliling mencari ke semak-semak.
"Ami...Mi! Kamu dimana, sayang?" Aku berteriak memanggil namanya.
Tiba-tiba, mataku menangkap kehadiran seseorang dibalik rimbunnya pohon.
Mau memanggil mas Bima, tapi ia juga sedang sibuk mencari, begitu pula dengan mbah Rasno.
Aku memberanikan diri melangkah mendekati pohon besar itu. Dan...
"Aneh, tak ada siapapun disini. Tadi aku merasa kalau seperti ada orang yang memperhatikan dari balik pohon ini," pikirku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Wusss....
Angin berhembus kearahku. Semerbak wangi bunga melati menyeruak memasuki indera penciumanku.
Pikiran yang sedang kacau, membuatku tak menghiraukan bau itu. Mungkin saja memang ada bunga melati yang tumbuh disekitar sini, bisa saja kan?
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang villa ini. Mataku melihat ada sebuah pintu.
Aku bergegas mencari mas Bima dan mbah Rasno. Namun, mereka berdua tak kelihatan.
"Kemana perginya mereka? Perasaan tadi masih ada disekitar sini. Apa mungkin mereka sudah pindah ke tempat lain, ah sudahlah. Sebelum adzan Maghrib, pokoknya Ami harus ketemu."
Aku memantapkan hati, memberanikan diri menuju kearah pintu itu. Alhamdulillah, pintu itu tak terkunci.
Krieettt...
Aku membuka pintu itu secara perlahan. Gelap dan lumayan pengap, itu yang pertama aku rasakan saat memasuki ruangan yang bisa ku perkirakan sebagai gudang itu.
Sebagai penerangan, aku menyalakan senter ponsel. Kuarahkan ke sekeliling ruangan penuh debu ini.
Tiba-tiba, ada seseorang yang perlahan mendekatiku. Aku merasakannya!
Aku berusaha mengatur nafasku, mencoba mengurangi degupan jantungku.
Huhf huft huft huft
1
2
3
Aku langsung berbalik dan mengarahkan cahaya senter ponselku kearah depan.
"Ami, Nak! Ya Allah, kau membuat Mama kaget saja." Aku mendekati dan langsung memeluk tubuh putriku.
"Kenapa tubuhnya sangat dingin? Ah, apa yang kupikirkan. Kan wajar ia kedinginan, memang cuaca disini tak sepanas di kota tempat tinggal kami. Mungkin saja terkena angin sore, jadi tambah dingin." Aku berusaha mengusir semua pikiran jahat yang hinggap di kepalaku.
Tak ada jawaban darinya. Ami yang biasanya cerewet dan paling bawel kini hanya diam membisu.
Aku langsung melepaskan pelukanku. Alhamdulillah, akhirnya aku menemukannya.
"Yuk, kita kembali ke dalam villa. Jangan jauh-jauh lagi mainnya ya, Nak. Jangan buat Mama khawatir," ucapku sambil membelai kepalanya.
Tak mau berlama-lama ditempat pengap penuh debu ini. Aku langsung menarik tangan Ami keluar dari gudang. Ia hanya menurut saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Sesampainya kami di dalam villa. Mas Bima dan mbah Rasno serta mbok Darmi menatap heran.
"Lho, kamu dari mana lagi, Bun. Bukannya tadi pamit masuk duluan pas kami sedang sibuk mencari Ami di semak-semak belakang villa." Mas Bima bertanya seolah-olah aku sudah masuk duluan, padahal mereka lah yang meninggalkanku disana.
"Non Ami, kok Nona baru datang sama Nyonya. Tadi kan Non Ami ikut si Mbok membeli lilin ke warungnya mang Udin."
Ucapan mereka semua membuatku memandang pada Ami. Ikut si mbok membeli lilin? Aku pamit pada mas Bima masuk ke dalam rumah duluan? Terus mana yang benar? Kan aku sendiri yang menemukan Ami di gudang. Halu banget mereka semua!
"Mbok, Mas. Kalian ini bicara apaan, sih. Aku baru saja menemukan Ami di dalam sebuah gudang belakang villa ini. Kalian ngawur ih!" kesalku pada mereka.
Aku lalu mengajak putriku masuk ke dalam kamar.
"Mi, yuk mandi dulu. Tadi kan kita baru saja keluar dari gudang itu. Kamu liat kan tadi kalau disana banyak debunya." Aku mengambil handuk dan mengajaknya memasuki kamar mandi.
Ia hanya mengangguk, tanpa menjawab ucapanku. Mungkin saja ia masih shock. Anak mana yang tak ketakutan kalau terkunci, tunggu...mana mungkin ia terkunci di gudang. Saat aku masuk kesana, aku langsung mendorong pintu itu saja. Nanti setelah ia agak tenang, aku akan menanyakan hal ini padanya.
Ami diam saja saat aku mandikan. Sesekali ia menatapku sambil tersenyum. Akupun membalas senyuman, namun dalam hati penuh dengan tanda tanya.
Kenapa putriku menjadi pendiam seperti ini?
Share this novel