Perjalanan menuju rumah terasa begitu panjang meskipun matahari bersinar terang di langit siang. Setiap detik yang berlalu seolah mempermainkan pikiranku. Ucapan wanita tua itu terus terngiang di telingaku, membuatku semakin cemas. Jalanan yang biasanya terasa akrab kini tampak asing dan menakutkan. Bayangan pepohonan yang bergoyang tertiup angin menambah kesan suram, seolah-olah dunia di sekitarku ikut merasakan kecemasan yang kurasakan.
Hatiku berdebar kencang, seakan-akan ingin melompat keluar dari dadaku. “Apa maksudnya? Apakah Bima dalam bahaya?” pikirku, semakin cemas. Aku mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, namun rasa takut itu tetap menghantuiku. Setiap bayangan yang melintas di pinggir jalan membuatku terlonjak, khawatir akan menemukan sesuatu yang mengerikan.
Aku merogoh tas dan mengambil ponselku, mencoba menghubungi Bima. Namun, nomor teleponnya tidak aktif. “Kenapa nomornya tidak aktif? Apa yang terjadi padanya?” pikiranku semakin kacau. Aku mencoba lagi dan lagi, namun hasilnya tetap sama. Rasa cemas bercampur panik mulai menguasai diriku.
Aku terus memikirkan Bima. Wajahnya, senyumnya, suaranya yang menenangkan. Bagaimana jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi padanya? Bagaimana jika aku tidak bisa menolongnya? Pikiran-pikiran itu berputar-putar di kepalaku, membuatku semakin gelisah.
Saat tiba di rumah, suasana terasa aneh. Aku mulai merasakan hawa aneh yang tiba-tiba menghampiri. Tapi, karena hanya aku yang ada di rumah ini bersama dengan Ami, aku membuang rasa takut itu jauh-jauh.
Dengan hati-hati, aku melangkah masuk. “Ami, ganti baju sekolahmu dan makan dulu,” kataku, mencoba terdengar tenang. Tapi Ami menolak, “Aku masih kenyang dan merasa lelah, Bun. Aku mau istirahat saja,” katanya dengan suara lemah. Karena tak ingin menambah pikiran, aku pun membiarkannya.
Namun, saat ia ingin pergi menuju kamarnya. Aku yang kelewat penasaran dengan penemuan menjijikkan yang ku temukan tadi pagi, membuatku menghentikan langkahnya.
"Nak, apa kau tahu kalau tadi pagi bunda....." Aku menjelaskan secara jujur tentang semuanya.
"Daging busuk? Tidak ada, Bun. Aku tak mencium dan tak ada apapun yang ku tahu saat memasuki kamar mandi. Jangan terlalu dipikirkan, mungkin bunda terlalu banyak pikiran. Sudahlah, aku mau tidur siang." Ia langsung meninggalkan ku yang terdiam mematung mendengarkan ucapannya.
Apa lagi-lagi semua hanya halusinasi? Tidak! Aku pasti tak sedang berhalusinasi. Akan ku buktikan dengan melihat tumpukan sampah di belakang rumah. Pasti plastik berisi daging busuk itu masih berada di sana.
Apa lagi-lagi semua hanya halusinasi? Tidak! Aku pasti tak sedang berhalusinasi. Akan ku buktikan dengan melihat tumpukan sampah di belakang rumah. Pasti plastik berisi daging busuk itu masih berada di sana.
Aku berdiri di depan tempat sampah, merasa bingung dan cemas. “Bagaimana mungkin? Aku yakin tadi pagi aku membuangnya di sini,” pikirku. Aku mencoba mencari-cari di sekitar tempat sampah, berharap menemukan petunjuk, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada jejak dari plastik berisi daging busuk itu.
Perasaan takut dan bingung semakin menguasai diriku. “Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?” pikirku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang harus segera kutemukan jawabannya.
Aku kembali ke dalam rumah, mencoba menenangkan diri. “Aku harus tetap tenang. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” pikirku. Aku memutuskan untuk mencari bantuan. Mungkin ada seseorang yang bisa membantuku memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Aku mengambil ponselku dan mencari nomor telepon seorang teman yang bekerja sebagai paranormal. “Mungkin dia bisa membantu,” pikirku. Aku menekan tombol panggil dan menunggu dengan cemas.
Aku merasa lega ketika akhirnya Wina mengangkat teleponku. “Halo, Wina? Ini aku,” kataku dengan suara yang sedikit gemetar.
“Halo, ada apa? Kamu terdengar cemas,” jawab Wina dengan nada khawatir.
“Ada sesuatu yang tidak beres pada Ami. Aku butuh bantuanmu. Bisa kita bertemu?” tanyaku, mencoba menahan rasa panik yang semakin menguat.
Wina terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tentu, kita bisa bertemu setelah kamu mengantar Ami ke sekolah. Jam berapa kamu bisa datang?”
"Setelah mengantar Ami, sekitar jam 8. Terima kasih, Wina. Aku benar-benar butuh bantuanmu,” kataku dengan suara penuh harap.
“Baik, aku akan menunggumu. Jangan khawatir, kita akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Wina dengan suara menenangkan.
Setelah menutup telepon, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, aku tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. Aku berharap Wina bisa memberikan penjelasan dan solusi atas semua kejadian aneh yang terjadi belakangan ini.
***
Sore hari tiba, dan matahari mulai meredup di ufuk barat. Aku merasa cemas karena Ami tidur cukup lama sejak pulang sekolah. Aku takut ia kelaparan karena tadi siang ia tidak mau makan. Dengan hati-hati, aku mengetuk pintu kamarnya.
"Ami, bangun sayang. Sudah sore," panggilku lembut sambil membuka pintu sedikit.
Ami menggeliat di tempat tidurnya, matanya perlahan terbuka. "Bun, ada apa?" tanyanya dengan suara serak.
"Kamu sudah tidur cukup lama. Bunda takut kamu kelaparan karena tadi siang kamu tidak mau makan," kataku, mencoba terdengar tenang meskipun hatiku cemas.
Ami menguap dan duduk di tempat tidurnya. "Aku masih kenyang, Bun. Aku akan makan nanti malam saja sekalian," jawabnya sambil mengusap matanya yang masih mengantuk.
Aku menghela napas, merasa sedikit lega namun tetap khawatir. "Baiklah, tapi sekarang kamu mandi dulu ya. Sudah sore," kataku sambil tersenyum.
Ami mengangguk pelan. "Iya, Bun. Aku mandi dulu," katanya dengan suara lemah.
Aku mengelus rambutnya dengan lembut. "Setelah mandi, kalau kamu lapar, bilang sama Bunda ya," kataku.
Ami tersenyum tipis dan bangkit dari tempat tidurnya. "Iya, Bun. Terima kasih," katanya sebelum berjalan menuju kamar mandi.
Aku keluar dari kamarnya dengan perasaan campur aduk. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Ami?" pikirku, merasa cemas. Aku berharap pertemuanku dengan Wina besok bisa memberikan jawaban atas semua kejadian aneh ini.
***
Malam hari tiba, dan aku merasa semakin cemas. Aku memutuskan untuk menyuruh Ami makan malam. Aku mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. "Ami, sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan bersama," panggilku.
Ami membuka pintu sedikit, menampakkan wajahnya yang tampak lelah. "Bun, aku masih harus mengerjakan tugas. Aku makan nanti saja setelah selesai," katanya dengan suara pelan.
Aku menghela napas, merasa khawatir. "Tapi kamu belum makan sejak siang. Bunda takut kamu kelaparan," kataku, mencoba membujuknya.
Ami menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Bun. Aku tidak lapar sekarang. Bunda makan duluan saja. Nanti kalau tugasnya sudah selesai, aku akan makan sendiri," jawabnya dengan tegas.
Aku menatapnya dengan cemas. "Baiklah, tapi jangan lupa makan ya. Bunda tidak mau kamu sakit," kataku dengan suara lembut.
Ami tersenyum tipis. "Iya, Bun. Aku janji," katanya sebelum menutup pintu kamarnya kembali.
Aku berjalan menuju ruang makan dengan perasaan campur aduk. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Ami?" pikirku, merasa cemas. Aku duduk di meja makan, mencoba menikmati makan malam, namun pikiranku terus melayang pada Ami.
Setelah makan malam, aku duduk di ruang tamu, menunggu Ami menyelesaikan tugasnya. Waktu berlalu begitu lambat, dan aku merasa semakin gelisah. "Apakah Ami benar-benar akan makan nanti?" pikirku, merasa khawatir.
***
Setelah makan malam sendiri, aku merasa sedikit kesepian. Aku memutuskan untuk menonton TV sambil menunggu Ami menyelesaikan tugasnya. Aku berharap bisa sedikit mengalihkan pikiranku dari kecemasan yang terus menghantui.
Aku duduk di sofa, menyalakan TV, dan mencari acara yang bisa menghibur. Namun, pikiranku terus melayang pada Ami. "Apakah dia benar-benar akan makan nanti?" pikirku, merasa khawatir.
Waktu berlalu, dan aku mulai merasa lelah. Mataku semakin berat, dan tanpa kusadari, aku terlelap di sofa. Suara TV yang samar-samar menjadi latar belakang dalam tidurku yang gelisah.
Karena merasa kedinginan, aku mencoba meraba selimut, tapi tak kutemukan. Aku pun terbangun, baru sadar kalau aku tertidur di depan TV. Aku bergegas mematikan TV saat melihat jam menunjukkan pukul 2 malam. Kembali teringat, apakah Ami tadi sudah makan? Aku pun pergi ke dapur untuk memastikan ia sudah makan atau malah ketiduran di kamar.
Namun, saat aku melangkah menuju dapur, bulu kudukku berdiri. Aku kembali mendengar suara seseorang mengunyah makanan dengan rakus. Suara itu begitu jelas, seolah-olah berasal dari dapur. Dengan tekad bulat dan rasa penasaran yang menggebu-gebu, aku mencoba mengintip.
Mataku terbelalak kaget dan aku menutup mulut rapat saat melihat bayangan seseorang makan sesuatu sambil berdiri. Cahaya remang-remang dari lampu dapur membuat bayangan itu tampak semakin menyeramkan. Aku mencoba mengatur napas yang semakin cepat, berusaha menenangkan diri.
"Apa yang sedang terjadi? Siapa yang ada di dapur?" pikirku dengan panik.
Apakah itu Ami? Tapi kenapa dia makan dengan cara seperti itu?
Bayangan itu bergerak dengan gerakan yang aneh, seolah-olah sedang menikmati setiap gigitan dengan rakus. Aku mencoba mendekat sedikit lagi, berharap bisa melihat lebih jelas. Namun tiba-tiba...
Share this novel