Bab 2 [Chiko Pandawa]

Romance Completed 1670

2 tahun berlalu...

Bunyi denyit mesin jahit begitu enggan memanjakan telinga. Warnanya yang usang seakan memberi tanda pada sang tuan agar mempercepat masa pensiunnya. Meskipun model dan perangainya sudah tidak selihai dulu tapi masih bisa diandalkan. Sejak ibunya meninggal Zara meneruskan jasa menjahit di rumah untuk para tetangga yang membutuhkan, meski dua atau tiga potong baju tapi itu cukup jadi simpanan tambahan.

Hari ini ia disibukkan oleh pakaian anak tetangga yang ingin dikecilkan, juga baju pak lurah yang ia rancang untuk baju formal. Semua itu menyenangkan.
Sampai tak sadar senja mulai menyelinap masuk dari etalase kayu di depan ia dudukan mesin jahit. Matanya menyipit melihat ada yang datang dari pintu depan, pasti kakak pikirnya.

Dengan pakaian minim, bermodel a la artis Hollywood Natasya masuk membawa papper bag di kedua tangannya. Zara baru ingat jika kakaknya itu baru singgah ke negeri orang.

Duduk. Natasya menumpangkan kaki kanannya di atas kaki kiri sedangkan rok pendeknya tertarik hingga memunculkan tampilan seksi, untungnya tidak ada buaya darat di sini.

"Ra, ambilkan kakakmu ini minum. Tinggalkan sejenak mesin butut itu." mesin butut yang menghasilkan uang, tambah Zara dalam hati melanjutkan ucapan kakaknya tadi.

"Buatkan kopi hitam dengan gula medium." lanjutnya memerintah terus menerus.

Zara membuang napas kesal. setelah meletakkan pakaian yang sudah jadi gadis itu beranjak ke dapur sambil menggerutu. Sial, kopinya habis usai semalam ayah membawa tamu tak bermutu.

Terpaksa dengan uang berwarna biru, Zara berlari ke dekat jalan raya setelah belokan dari rumahnya. Ia baru ingat bila ada kafe kopi baru di sekitar rumahnya. Tampaknya cukup ramai, mobil mahal bahkan sudah memarkirkan tubuhnya di tempat itu. Zara menghela napas lalu menyeberang jalan.

Kafe kopi sehati. Nama yang sederhana namun terdengar sejuk di telinga. Apa sang pemilik penduduk asli daerah ini? Atau mungkin pendatang yang punya ambisi tinggi membangun mimpi dari ini? Ah, di sini untuk membeli bukan mengomentari rutuk Zara lagi.

"Selamat datang di kafe kopi sehati." pintu otomatis pun tergerak untuk menyambut para tamu yang banyak berdatangan. Tak disangka tampilan luar memang tidak akan pernah bisa menggambarkan tampilan dalam.
Banyak papan bertulisan seni di dinding, meja kayu dari bahan langka, dan dekorasinya kelas dunia. Zara merasa ada di tempat asing nan jauh di sana.

Mengabaikan kehadiran kasir Zara pun bergegas menjelaskan maksud kedatangannya pada barista "Kopi hitam dengan gula medium, take away" katanya to the point. Sambil menunggu ia lantunkan beberapa lagu random yang sedang diputar.

***

Zara mulai berlari dari persimpangan jalan, kakaknya yang mengerikan itu baru saja mengomel lewat telepon. Matahari sudah tenggelam dan gang kecil yang ia susuri cukup lengang. Sedikit menyeramkan. Tapi ia harus cepat sampai tujuan.

Di ujung gang sana rupanya ada seseorang yang sedang berjalan, jelas terdengar dari suara sepatunya yang mengerikan.

"Sreekkk..."

Zara menoleh saat mendapati seekor anak kucing yang sedang bermain sendiri di pohon berdaun rindang. Entah mengapa malam ini udaranya dingin menusuk kulit. Dengan kaos berlengan pendek ia tentu kalah untuk menghindar dari hawa tersebut.

Dua pasang mata bersirobak di ujung jalan rupanya seorang lelaki yang sangat Zara kenal. Keduanya terdiam saling menatap tanpa bertegur sapa. Akhirnya sekian detik berlalu adik Natasya memutuskan jalan lebih dulu. Suara pemuda itu pun terdengar berat dan cukup telak menghentikan langkah Zara.

Chiko Pandawa. Pemuda itulah yang kini berhasil menghadapkan diri di depan Zara. Setelah enam tahun berpisah lalu berjumpa. Mengapa di saat seperti ini Zara harus melihatnya? Ia merasa tak pantas walau sekadar menjadi teman yang baik untuknya.

"Tak kusangka. Kita bertemu di tempat seperti ini Barbie." Terdengar menggelikan memang. Hanya saja dulu mereka terlalu dekat sampai Chiko bahkan membawa nama sayang itu dalam percakapan, hanya saja ini adalah awal perjumpaan mereka sejak pertemuan enam tahun silam.

Bukan merespon justru Zara mundur ambil jarak. "Panggil aku Zara. Itu terdengar kekanak-kanakan." gadis itu masih saja menunduk dalam karena gugup, "Maaf aku harus pulang" segera ia langkahkan kakinya besar-besar semata untuk menjauhi Chiko, mantan kekasih kakaknya.

Dan lelaki itu hanya dibuat kesal tanpa sebab. Ia amat menyesali tindakannya yang telah lalu.

***

Jarum pada jam segi empat di dinding sontak mengejutkan Zara di dapur. Waktu telah menunjukkan siang hari. Segera ia lepas apron dan menghidangkan masakan yang telah jadi. Kemudian dengan cepat ia bergegas pergi meninggalkan kesunyian rumah.

Sengaja ia hanya memakai tank top putih yang dibalut dengan kardigan lengan panjang berwarna cokelat lantas jeans berwarna cream pun menyelaraskannya. Ia bersiap berangkat dengan rambut tergerai panjang.

Sesampainya di lokasi Daniel menggertaknya dengan suara lantang. Hingga membuatnya terkejut dan terhuyung ke belakang. Tanpa diduga Daniel menahannya tepat sasaran.

"Ya Tuhan, ceroboh sekali tuan putri yang satu ini." Tak bisa berkilah pada fakta jika kini Zara terperangkap dalam pelukan Daniel. Rasanya nyaman sampai membuat suhu tubuhnya seolah mendidih dan....

"Pipi lo merah, Ra" sontak Zara membuat jarak di antara mereka. Peralatan di tangan Daniel seperti tripod pun ikut terjatuh. Pemuda itu hanya mendecak kesal akan kelakuan gadis menyebalkan di hadapannya.

"Mu-mungkin ini karena make up-ku yang terlalu tebal sayang." seringaian Daniel paling tidak bisa dibohongi, buktinya Zara gugup setengah mati.

Tunggu.

Entah mengapa saat Zara gugup terlihat polos dan seksi sekali. Ini kesempatannya agar menekan gadis itu bekerja lebih giat lagi.

Ancaman!

Cekrekk.... Dapat. Di sana Zara sedang menggigit bibir bawahnya sangat menggoda.

Terkejut mendengar bidikan Daniel, ia melempar sandal yang terlepas dari kakinya saat hampir jatuh tadi.

"Hei monster. Apa lo gila hah? Foto itu menjijikan cepat hapus!" sambil melaju mendekati Daniel yang mulai mencari anggel tempat di mana ia akan berpose nanti.

Tanpa sadar Zara menarik baju partner-nya kasar "lo lagi apa?" Suara tenang Daniel membuat Zara gerah, "Kamu ingin aku telanjang dada saat memotretmu, hn?" Tanya Daniel sekali lagi. Merajuklah Zara sekarang hingga membuat pipinya merah.

Sedangkan gejolak pada diri Daniel tentu saja merasa tersiksa. Ia perang batin. Apa gadis itu tidak tahu sikapnya saja sudah membuat pikiran terangsang. Sial!

Mengabaikan godaan Daniel lekas saja Zara mengganti kostum sebagaimana intruksi dari bagian tersebut. Ia sedang memandang cermin di ruang ganti. Menyentuh pipinya kemudian memeluk dirinya sendiri. Ada apa dengan pikirannya saat ini? Mengapa wajah Daniel terus menghantui? Dan parahnya lagi hati ikut menghangat kembali. Jangan-jangan inikah yang dinamakan...

"Zara lo sedang apa di dalam? Lama sekali"

Itu suara Daniel, gumam Zara. Dan ia kurang percaya diri untuk keluar. Bagaimana tidak, bajunya tanpa lengan dengan belahan dada rendah dan ia harus pasrah mengekspos kaki jenjangnya.

Ia harus selesaikan pemotretan hari ini. Jangan lagi lain kali. Kalau saja semua bukan usulan manusia monster satu itu, ia tidak akan mau. Jika saja tidak terdesak biaya hutang ayahnya mungkin tidak akan separah ini. Jangan sekali-kali mencoba belas kasih Natasya.

"Kau lama seka..."

Brug.

"Daniel aku malu, tubuhku terekspos seperti baju obralan saja." Dalam pelukan sang pemuda, gadis itu merengek tak ingin ambil gambar. Padahal yang dimintai bantuan bahkan butuh bantuan.

"Tak apa sayang, kali ini aja. Setelahnya aku akan melarang mereka menatap tubuhmu." ujar Daniel tegas penuh penekanan. Kemudian ia tatap mata redup Zara dan menciumnya. "Demi kebaikanmu, aku yang menjamin."

Lihat! Mereka sangat romantis. Romeo dan Juliet saja kalah mesra dibanding kedekatan mereka. Tapi, Zara merasa tidak pantas untuk Daniel dan lagi lelaki itu masih memperjuangkan cintanya untuk Katrina. Mengenaskan!

Jadi, mana mungkin seorang Zara jatuh cinta.

"Apa harus berpose seperti ini?" Tangan Zara terangkat di kepala, kemudian dadanya membusung menahan napas. Duduk di atas panggung yang telah didekorasi tim kreatif. Kakinya terlipat dan menahan senyum. Kamera di tangan Daniel mulai membidik gambar Zara sekali lagi.

"Ini yang terakhir."Jepret dan selesai.

"Bagus" Daniel melirik ke kamera dan mengecek kembali hasil kerja kerasnya.

Gadis itu mendekat dan mengapit lengannya manja. "Kamu mau mengantarku pulang?" Tanya Zara penuh harap. Matanya berkedip beberapa saat.

"Nggak bisa Ra, gue perlu bicara dengan Katrina. Berharap memperbaiki hubungan." Mereka diam lalu Zara mengangguk paham sebelum melepas kaitan tangannya. Ia beranjak mengambil tas lalu berganti pakaian. "Baiklah. Aku harus pulang cepat." ujarnya dengan suara lirih.

Bus yang dinaiki Zara terjebak macet di lampu merah dekat lokasi pemotretan. Banyak anak sekolah sedang berjalan santai memakai kaos olahraganya kemudian menyeberangi jalan. Ternyata mereka sedang ikut perlombaan di alun-alun kota.

Selang 30 menit gadis itu sampai, ada motor sport pengeluaran baru memarkir asal di depan rumahnya. Zara menggerutu, jika ia tahu orang itu sudah dipastikan kena bumerang dahsyat.

Ketika Zara mengendapkan langkah kaki, suara obrolan terdengar menyapu telinganya.

"Kapan kamu akan menikahiku?" Dahi Zara menyerngit menangkap kalimat tersebut. Suara Natasya yang baru saja ia dengar.

"Secepatnya. Asal permasalahan kita dengan Zara selesai."

Kini mata Zara yang dibuat terbelalak oleh ucapan pemuda yang ada di balik tembok tempatnya berdiri. Rupanya Natasya sedang berdebat di ruang tamu. Hasrat ingin tahunya semakin tinggi hingga akhirnya ia melirik kaca yang ada di sampingnya sekilas.
Tak disangka. Natasya masih berhubungan dengan pemuda itu.

Chiko Pandawa. Sahabat dekatnya dulu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience