Bab 7 [Dia Kembali?]

Romance Completed 1670

Dengan rasa berdebar, Daniel memberanikan diri untuk menemui Natasya, kakak Zara. Membawa bingkisan sederhana bermaksud mencari tahu keberadaan posisi Zara yang fakta. Banyak pertanyaan menginap di pikirannya, meski semalam tidak tidur dalam arti sepenuhnya.

Apa kabar gadis itu? Di mana ia berada? Apa ia sudah makan? Apa ia baik-baik saja? Meski hanya secara implisit Daniel mengatakan rindu setengah jiwa.

Pintu terbuka. Menampilkan keheranan Chiko yang sedang menggendong Arin, anaknya. Saat ini istrinya sedang membeli susu formula karena stok bulanan yang telah habis.

"Selamat siang." Sapa pemuda berbalut kemeja merah hati tegas. Seulas senyum ia pamerkan dengan memasang raut wajah gembira.

"Siang," begitu jawab Chiko yang sedang menimang si buah hati. Arin, sedikit nakal akibat rasa haus yang dideranya. Hingga akhirnya ibunda datang membawa susu formula favoritnya.

Natasya sangat terkejut melihat kehadiran Daniel di rumahnya. Apa maksud kedatangan lelaki satu ini? Apa dia tidak cukup puas menyakiti hati adiknya.

"Nat...." Daniel menyodorkan barang bawaan ke arah Chiko karena Arin sudah berpindah tangan pada sang ibu. Masih mengamati bingkisan itu hingga Chiko meletakkannya dengan benar di atas meja.

"Ada yang ingin aku bicarakan."

Mereka berkumpul di ruang tamu dengan situasi yang tercekam. Mengingat Chiko tak kerja akhirnya ia ikut andil dalam suasana. Ini gila, sungguh. Wajah Natasya lebih ganas dibandingkan kala itu. Saat Zara bukan bersamanya setelah pemotretan, begitu pun saat ini. Namun lebih parah lagi.

"Apa aku boleh bicara?" tanya Daniel gerak cepat. Ia merasa geram jika seperti ini terus. Ia ingin segera memeluk Zara penuh rindu. Dengan sengaja ia membenarkan perkataannya yang pedas hingga lebih diperhalus.

"Silakan!" Chiko hanya mengangguk saja mendengar suara mengerikan istrinya.

"Jadi di mana Zara sekarang? Aku sungguh membutuhkannya, Nat. Aku mohon beritai aku sekarang," penuh harap ia berkata. Mencari jawaban yang belum tersusun rapi. Walau ia sadar posisinya sangat dibenci.

Senyum kecut. Tatapan garang. Lagi-lagi Natasya perlihatkan.

"Sejauh ini, kau baru merasa kehilangan dan mencarinya? Sebaiknya kau pulang. Sia-sia kau berada di sini," lolongan api kemarahan Natasya di puncaklah sudah. Hati adiknya benar-benar dipermainkan.

Apa tidak cukup dengan kebodohannya di masa lalu saja yang merobek dan membuat luka pada adiknya? Mengapa pemuda ini juga? Chiko segera menahannya agar tidak mencabik-cabik pemuda di dekatnya karena ia tidak begitu paham tentang Zara, dan ia merasa bukan kakak yang baik.

"Aku mohon," Daniel lekas berjongkok di bawah kaki Natasya. Mencoba mencairkan keaadan layaknya tamu dan tuan rumah pada umumnya.

Demi Zara tak apalah. Bagaimana pun hanya gadis itu yang bisa membuatnya tersenyum lepas, bukan Katrina ataupun yang lainnya. Bukan, kecuali Zara.

Natasya tidak sanggup lagi untuk tidak menangis, ia terpaksa meminta Daniel untuk pergi meninggalkan rumah tanpa ada sedikit pun petunjuk darinya. Karena faktanya dipermainkan jauh lebih sakit dibanding ditinggalkan.

Sudah di ujung gerbang rumah Natasya, Daniel berantakan akibat tak ada hasil yang sesuai dengan harapan. Ada satu harapan, ada. Yogi, dan mungkin dirinya akan mempertaruhkan harga dirinya lagi.


***

"Minta tolong? Kau bahkan absen kerja hari ini, lihat bajumu saja berantakan." Yogi baru saja menyelesaikan meeting-nya di luar kota, baru saja pulang, dan mengapa manusia ini menambah bebannya makin susah? Apa salah Zara ya Tuhan hingga jatuh dalam perangkap manusia menyedihkan satu ini? Hah, ia merasa sudah kalah telak dari Daniel.

Aku mohon, beri satu kali kesempatan saja. Setelahnya, jangan izinkan aku lagi untuk meminta. Ungkapnya sepenuh hati. Jujur, sejak ia kehilangan Zara semua orang meremehkannya, mencelanya, dan ia akan membuktikan segalanya. Jika Zara hanya untuknya. Dengan begitu, musuh SMA pun ia hadapi.

Memangnya kau mau apa dariku, hah? tanya Yogi setengah mengacuhkan keberadaan Daniel. Duduk di bangku kebesarannya, memejamkan mata, dan memijat keningnya perlahan.

Pikirannya mulai penat, dan ia tidak mau ikut campur lagi soal Zara dan Daniel yang jelas-jelas saling mencintai. Hanya saja ia pusing dengan keegoisan mereka.

Aku mohon, berikan petunjuk yang jelas tentang Zara, semua. Ya, semua yang kau tahu. Sudah diduga pikir Yogi mengambil keputusan, ini soal Zara. Baiklah, ia akan rela melepaskan harapannya tentang Zara. Asal Zara bahagia.

"Kau yakin akan mampu memegang janji?" tanya Yogi dan Daniel menunduk setelah mengangguk. Jangan buat Zara menyesal lagi karena telah mengenal dirimu.

Hatinya bagai dilempar godam, kepalanya terasa dipukul beton, dan itu sangat menyakitkan. Benarkah Zara menyesal telah mengenalnya? Mengapa ia tak sadar sampai sejauh ini, Ya Tuhan maafkan hamba, pekiknya frustasi dalam hati.

Dengan begitu, Daniel berjanji pada Yogi dan dirinya sendiri untuk tidak menyakiti Zara lagi. Mungkin, jika semua itu tidak akan menjadi sebuah omong kosong atau alibi.

Ya, aku janji untuk mu Zara!


***

Siang ini Zara sibuk dengan desain bajunya untuk teman yang sedang prepare ke pelaminan. Ia mencoba merancang gaun tersebut sesuai dengan gambar dalam buku yang seminggu lalu diperlihatkan pada temannya itu. Katanya, dia tertarik dengan karya Zara yang menakjubkan. Membuat ia merasa bangga berada di jurusan desain busana. Ah, senangnya.

Sambil menyeruput teh hangat, Raquel menelisik pekerjaan yang sedang digeluti teman seperjuangannya. Pekerjaan Zara sangat bagus, Raquel mengakui itu. Mengingat Zara gadis yang berbakat, semua hal mengenai butik yang dibangun ibu sejak dua tahun lalu dipercayakan pada gadis itu sepenuhnya dengan lapang dada.

"Lo udah sarapan, Ra?" sambil meletakkan gelas yang Raquel bawa di atas meja dekat mesin jahit Zara lalu mengambil potongan kue yang dengan sengaja ia suguhkan untuk gadis itu. Mengingat Zara selalu saja telat makan, terkadang sukses membuatnya geleng kepala jika penyakit maag-nya timbul tiba-tiba.

Sedangkan yang mendapat ajuan pertanyaan hanya menggeleng singkat di sela senyum mengembang nan menawannya.

"Ayolah, Ra.Jeda sepuluh menit apa susahnya. Gaun itu udah mantap tinggal memasang assesorisnya aja, kan?" begitu rujukan bos Zara yang khawatir setengah mati padanya.

Bagaimana tidak khawatir, jika Zara berjumpa dengan sakitnya semua pekerjaan justru banyak yang terlantar, mengingat mereka juga harus menyesuaikan dengan tugas dan jam kuliahnya.

Zara hanya terkikik lalu beranjak menyeruput teh milik Raquel di dekatnya, Iya, iya bos. Buat bos besar apa sih yang nggak, hehe.

Merasa digoda Zara, Raquel lekas mencubitnya, "Genit lo ya sekarang."

***

Pagi-pagi sekali. Daniel meminta izin pada Yana untuk menemui Zara. Pemuda itu berusaha gerak cepat agar dapat menemui sang pujaan hatinya. Mobil milik perusahaan dipinjamnya dari Yogi demi gadis itu, tentunya dengan sebuah keberuntungan bahwa Yogi telah lunak dan berpihak padanya. Sebagai adik, Yana merasa senang, kakak telah sadar, pikirnya. Dan memilih memperjuangkan ketulusan cinta Zara untuknya. Dan ia juga berharap Daniel benar-benar melupakan gadis high class itu sepenuhnya. Menelisik ke arah jendela yang terbuka rupanya Daniel akan merealisasikan ucapannya.

Kak, Kak Zara adalah orang yang baik, lo harus merasa bersyukur karenanya. Jika lo lepas sekali lagi, makin sulit lo dihalangi oleh orang-orang yang sayang sama kak Zara untuk kembali, termasuk gue, adik lo sendiri.

Melirik waktu yang telah beranjak siang Yana bersiap menggendong tasnya pergi mengendarai motor matik yang biasa dipakai Daniel untuk pergi bekerja. Namun saat akan menuju pintu depan, telepon rumah terdengar.

Drrrt. Drrrrt. Drrrrt...

Hallo. Kata Yana memastikan diri. Siapa yang sudah menelepon rumah pagi-pagi seperti ini, padahal bel di sekolah akan lekas berbunyi dan ia menjadi telat di jam pelajaran ekonomi.

"Bisa bicara dengan Daniel?" suara di seberang sana perempuan, mencari Daniel yang hari ini absen kerja. Mungkin dari perusahaan, pikir Yana tak ambil pusing.

"Aku Yana, adiknya. Dia nggak ada di rumah sekarang."

"Dia kerja, begitu?" tanya gadis itu menerawang.
Absen kerja menemui kekasihnya. Ujar Yana dalam hati.

"Maaf, saya bicara dengan siapa?" begitu Yana memastikan namun dengan cepat suara di ujung sana menghilang. Telepon dimatikan.

Rasanya gue kenal suara itu, tapi di mana.

.
. .
. .
. .
. .
. .
. .
. .
Mau dikatakan apa lagi? ??
Kita tak akan pernah satu, yuhuuu ??

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience