Bab 5 [Bianglala dan Zaman Kelas 12 SMA]

Romance Completed 1670

Kerumunan orang tampak makin padat malam ini. Taburan bintang ikut meramaikan kehadiran bulan. Zara terpaksa menarik Daniel ikut dengannya ke pameran di taman kota dekat rumahnya. Yang ia tahu untuk refresing bukan berdebat. Sayangnya semua terlalu jauh dari rencana.

"Ayo, kita naik ke bianglala," mungkin ini sudah kesekian kali gadis manis itu menarik kemeja Daniel. Walau tak menyangkal sang pemuda tidak kesal. Saat ini mereka sudah di atas usai membeli tiket dan antre beberapa saat.

Pemandangan di atas memang mengagumkan menurut Zara hingga mengembangkan senyuman, jauh sekali jika dibandingkan dengan hidupnya. Mencoba mengabaikan pandangan menuntut Daniel, ditepisnya tatapan itu kali ini. Ia ingin egois sekarang.

"Jangan lihat aku seperti itu," tangan Zara terulur menggenggam tangan pemuda di hadapannya. "Kau tidak merindukanku ya?" Zara menunjuknya dengan tangan kanan yang tidak menggenggam. Lalu tersenyum kaku.

Zara mendapat jawaban dari gelengan Daniel. Sungguh itu sakit sekali. Bahkan ia berusaha menahan air mata yang ingin meledak. Karena baginya air mata ini tanda kelemahan yang tak pantas diperlihatkan.

Tampaknya Daniel begitu gelisah. Ia belum mandi saat diseret Zara. Bajunya pun belum ganti dan sekarang terjebak di situasi seperti ini. Zara benar-benar keterlaluan. Dan apa maksud genggamannya ini?

"Tatap aku Daniel," ia merajuk? Daniel lekas menatapnya.

Wajah Zara merah?

"Apa?" Balasnya sinis.

"Andai kata nanti kau kembali seperti dulu, mungkinkah kau akan berpaling padaku? Menatapku sebagai Zara yang culun, polos dan menerormu dengan surat seperti zaman SMA?"

Mata Daniel terbelalak memandang mata Zara. Perkataan Zara yang terakhir terdengar mengerikan. Apa ia tidak tahu jika hatinya tertusuk kasar.

Tautan tangan mereka terlepas begitu saja, "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kali ini Daniel berusaha membantah.

"Tenang aja. Aku tidak akan selemah dulu. Terisolasi karena takut menjalin pertemanan. Hubunganku dengan Chiko dan Yogi mulai membaik. Kau boleh meninggalkanku. Selamat tinggal," karena bianglala sudah berhenti maka Zara sudah putuskan untuk turun, namun Daniel menahannya untuk bertahan. Pemuda itu merangkulnya di keramaian?

"Maaf. Aku tidak bermaksud tak mengacuhkanmu. Semua kulakukan agar menjadi lebih baik." usapan kepala kini Zara rasakan dari belakang. Daniel memeluknya cukup erat.

Kini Zara membuat jarak di antara mereka. "Aku paham. Jadi fokuslah pada usahamu, jangan hiraukan aku," tarikan bibir melengkung rupanya membuat senyum. Zara meyakinkan Daniel sekarang.

"Kau memang yang terbaik Zara."

***

Ruang tengah masih terang di kediaman Zara dan Natasya. Pasangan suami istri di sana tampak asyik menonton drama. Sepertinya drama korea, buktinya pelukan mereka tidak kalah romantis dari pelukan Hwan dan Eun Seong pada film Brilliant Legacy. Hingga tersadar jika ada orang yang datang. Zara baru saja pulang.

"Pulang malam dan kau menangis?" Gertakan Natasya menyudutkan Zara di pintu tengah. Menunduk lesu menghapus air matanya.

"Siapa yang sudah menyakitimu, hn?" Ini suara Chiko. Ia ikut mengintruksi kemudian bangun agar bisa menenangkan adiknya.

Zara langsung memeluk tanpa maksud membuat Natasya cemburu. Dan Natasya mengerti itu.

"Aku tidak mau tinggal di sini. Aku mau pergi kak," panggilan kakak mulai ditujukan pada Chiko setelah resmi menjadi ipar. Gadis itu sangat terpuruk dalam pelukannya hingga Chiko memberi kode pada sang istri.

"Zara. Jelaskan dulu apa maksudmu? Biar kami bisa menyimpulkan," setuju dengan perkataan Natasya kemudian ia dituntun duduk di sofa.

Chiko mengambil air minum yang ada di atas meja mengabaikan kehadiran kacang polong di toples kaca. Mengulurkannya pada Zara. "Minumlah. Tenangkan hatimu".

***

Menatap langit, sekali lagi. Zara menemukan dua bintang di sana bersisian di dekat bulan. Cahaya memang tak seterang bulan namun menggemaskan. Berdiri di balkon kamar membuatnya harus mengeratkan jaket yang ia kenakan. Waktu tepat dini hari ia masih terjaga. Ditemani secangkir kopi cappucino yang begitu tenang di dalam cangkir.

"Banyak kisah yang tidak kamu ketahui, mungkin karena kau memang tidak peduli."

Pada dasarnya ia dan Daniel bersama hanya karena rasa kasihan pemuda itu yang melihat ia jatuh dari tangga, juga karena kasusnya dan Katrina, semua begitu saja ia maklumi dengan baik karena bermaksud membantu. Benar, pada dasarnya Daniel tidak memiliki perasaan lebih padanya.

"Ini sudah saatnya kita akhiri kepalsuan yang kita buat sendiri." Tanpa harus menyakiti perasaan lagi.

Entah mengapa rasa kantuk begitu saja datang mendadak. Membuat Zara tanpa sadar tertidur di kursi kayu menjelang fajar datang.

***

Bandara Soekarno-Hatta. Koper Zara berdiri menunggu jam terbangnya datang. Ia di sini bersama ibu hamil dan kakak iparnya. Ya, Natasya sedang mengandung anak pertamanya. Awalnya Zara sedih karena akan melewati momen langka saat persalinan kakaknya nanti. Tapi, hatinya begitu lemah untuk terluka lagi. Yogi pun rupanya menyusul, pakaian seorang bos tercetak pada dirinya. Hei, ia memang tampan!

"Jadi, kamu sungguh-sungguh?" Usai berlari nada bicara Yogi sedikit berantakan. Memandang lekat sahabat kecilnya.

Zara mengangguk menarik senyum cerah, "Tentu sobat. Jaga diri baik-baik," ia mendekat untuk menepuk bahu kiri Yogi.

"Pesawat akan segera take off. Aku pamit undur diri," ujarnya bersiap mendorong koper. Tapi Natasya menahan tangannya.

"Kalian baru saja berbaikan," melirik Yogi kemudian suaminya "tapi mengapa harus terpisah lagi seperti ini." tukasnya keras, menyayangkan waktu yang begitu singat meraka rasakan bersama-sama layaknya dulu. Ia tidak lagi kejam. Bagaimana pun juga persahabatan mereka terlalu erat dibangun, "Zara, semoga kau tidak menyesalinya."

Pelukan sayang pun terlukis di antara keduanya, saling melindungi walau sempat saling membenci. Tak mau ketinggalan, Yogi dan Chiko pun melebarkan kedua tangan mereka. Menarik Zara dalam pelukan. Dan tak menghiraukan pandangan orang yang berlalu lalang di sekitar.

"Kita akan selalu menjadi sabahat." Kata Yogi lantang.

"Walaupun terkadang posisi diri kita menjadi aku tanpa kalian," lanjut Zara.

"Tapi aku dan kalian akan selalu menjadi kita," Chiko mendapat giliran terakhir menandaskan kalimat. Diiringi senyum bangga dari istrinya.

Dan sekarang mereka akan kembali berperan dengan kata AKU tanpa Zara di samping mereka.

***

Pukul 7 malam Daniel baru saja pulang. Karena siang tadi ia diminta ikut rapat oleh ketua tim. Tugas proyek menumpuk, bersama anggota satu tim ia akan membangun cabang usaha yang baru.

Ini semua melelahkan sampai pada akhirnya ia mengambil hp untuk diaktifkan. Tidak ada pesan atau lainnya. Ingin menghubungi Zara tapi terlalu sungkan. Apa yang akan ia bicarakan nanti? Tidak mungkinkan omong kosong. Maka dari itu Daniel letakkan hp tersebut di atas meja dekat ranjang.

Saat ia keluar dari kamar mandi, Yana ada di ruang tengah sedang belajar. Mengingat adiknya sedang ujian, ia harus menanyakan kelanjutan pendidikannya di universitas. Mengingat betapa sulitnya ia dulu menimba ilmu untuk jadi sarjana, tapi gadis itu selalu mendukungnya.

"Apa kau sudah punya rencana untuk kuliah?" Datang sambil membawa kue kering dari meja makan di dekatnya.

Yana mengangguk pelan tanpa menghilangkan titik fokusnya pada soal ekonomi. "Aku akan ke Bali mungkin menyenangkan."

"Bali?" Yana mengangguk sekali lagi.

"Belajar sambil usaha sampingan akan memudahkanku di sana," sahutnya membuat penjelasan.

"Tapi dunia di sana begitu keras Yana, kau akan terjerumus jika tidak bisa menjaga diri dan lagi usahaku baru saja mulai membaik," pekikan Daniel tidak mematahkan semangat Yana untuk bersekolah ke pulau sejuta pesona. Maka anak itu menatap nyalang mata kakaknya.

"Itu baru kemungkinan. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak pasti di sini."

Yana kembali menambahkan ucapannya tajam, "Dan ingat, egomu bisa membuat orang yang mencintaimu pergi jauh."

"Tetap stay di sini Yana, atau kau tidak akan..." ucapan Daniel menggantung.

"Persetan dengan pendapatmu. Aku ingin bahagia tanpa dikte darimu."

Blug. Buku-buku tebal ditutup kasar oleh sang pemiliknya. Ditinggal begitu saja di bawah terpaan AC yang menghembuskan udara.

***

Zaman Kelas 12 SMA dulu...

"Semangat, semangat, semangat, semangat," Zara mengepalkan kedua tangannya ke atas. Dengan nada hentakan seperti anggota cheer. Jangan salah ia pernah ikut audisi walaupun gagal seleksi.

"Daniel, kau harus semangat!"

Mereka ada di lorong koridor kelas. Usai latihan untuk perpisahan nanti. Zara begitu antusias menyemangati temannya yang sedang galau menanti hasil seleksi dari universitas yang dituju. Harap-harap cemas menggarap beasiswa di sana.

"Hei, duduklah! Kau berisik sekali. Orang menatapmu heran," pinta Daniel menarik tangan Zara agar duduk manis di sampingnya.

"Aduh, kau ini kasar sekali. Cepat lihat papan informasi, aku yakin kau berhasil. Bangkitlah jangan putus asa." Zara hanya tersenyum lebar membalas perkataan lelaki itu.

"Iya. Tapi apa lo enggak takut gagal?" Suara Daniel mulai ragu diucapkan.

"No!" Tangan Zara melambai "gagal itu pengalaman. Ayo lari, lakukan!"

Dengan intruksi Zara akhirnya Daniel berlari ke arah papan informasi di depan ruang guru. Tapi, pemuda itu merasa aneh. Mengapa Zara tidak ikut lari untuk melihatnya? Ia putuskan berhenti dan berputar balik.

Nafas Daniel tersenggal hingga mengejutkan Zara yang sedang minum hingga tersendak. "Uhuk kenapa balik lagi?" Bentak adik Natasya kesal.

"Ayo, lo juga harus lari. Tidak mau lihat bersama, hah?"

"Untuk apa? Aku tidak ikut daftar," balas Zara ketus.

"Tidak daftar?"

Zara menunduk lesu memengang lututnya, "Aku tidak akan melanjutkan pendidikanku."

Dan dari sinilah kedekatan mereka makin erat. Ketika mata Daniel menatap Zara dengan iba.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience