Bab 6 [Serangan Rindu]

Romance Completed 1670

Setelah bernostalgia semalaman Daniel pun merubah keputusannya agar tetap mendukung apa pun keinginan sang adik. Ia begitu mengharapkan kesuksesan Yana di masa depan. Tentu untuk jauh lebih sukses darinya.
Yana sedang memakai tas kemudian dipanggilnya tegas.

"Apa?" Ujar Yana ketus.

"Hei kenapa ketus begitu hah. Duduklah dulu, ayo sarapan. Aku tidak akan mengekangmu," jelasnya menyenangkan hati adiknya yang marah.

"Huh, jadi otakmu geser semalam? Atau kena serangan rindu," seringaian licik muncul di wajah Yana saat mengambil posisi duduk di hadapannya. Ia berniat menggoda kakaknya yang lama tak menjumpai Zara.

"Serangan rindu?" Yana balas mengangguk.

"Iya. Gara-gara lo enggak berkencan dengan kak Zara kan akhir-akhir ini," tuturnya lagi.

"Ah apaan lo ini. Kita enggak pacaran," dengan kesal Daniel menggigit rotinya kesal. Mengapa semua orang menganggapnya berpacaran dengan Zara?

"Yakin?" Yana mengintrogasi dan Daniel mengangguk "kalau begitu, aku kencan dengannya pun tidak masalah."

Bruussss...

Semburan air terbuncah begitu saja di atas meja.

"Kakaaaak"

Ah, Daniel! Baru saja kau berbaikan dengan adikmu sekarang sudah mengibarkan perang lagi. Kurang sial apa kau pagi ini.

Yana pergi sejak sepuluh menit yang lalu, tapi dirinya tetap bertahan di meja makan. Zara? Apa kabar gadis itu ya? Pikirnya sambil mengetuk meja dengan telunjuk. Sudah lama sekali tidak jalan bersamanya, bercerita, dan berbagi keluh kesah. Semua ini hanya karena ambisi yang tak pasti.

***

Malam ini keindahan langit terpampang nyata, rembulan sabit ditemani kumpulan bintang yang membentuk rasi. Ada scorpio yang menantang begitu pula planet saturnus tampak nyata ditelisik dengan teleskop. Daniel sengaja menyaksikannya malam ini walau lelah menghinggapi tubuhnya namun mata termanjakan hingga menghilangkan beban pikirannya. Teleskop itu digesernya sedikit, mencari titik yang pas dan entah mengapa bayangan Zara mengganggunya cukup jelas.

Dibanding melihat ribuan bintang yang satu pun tak bisa kau miliki, lirik saja aku, kala itu Daniel tersenyum miring dan menggelengkan kepala sejenak. Lalu memalingkan wajahnya yang sempat melihat raut wajah Zara. Ia hanya berpikir bahwa gadis itu bicara omong kosong tanpa mengatakan sesuatu yang tersirat.

Dan intinya seorang Daniel adalah sosok yang tidak peka.
Hei, udaranya makin dingin, ayo turun! Perintah Zara kesal karena diabaikan. Namun detik berikutnya pemuda itu memeluknya protektif.

Hah. Sahabat Chiko satu ini memang beda dari yang lain.

"Zara, aku sangat menyesali semua ini."

BRAKK. Suara pintu yang didobrak pun terdengar merdu di telinga Daniel sampai menoleh terkejut.

"KAU" geramnya resah. Mendapati adiknya terduduk kacau. "BICARALAH BAIK-BAIK!" lanjutnya menatap tajam ke arah Yana. Sang adik berdiri membenarkan situasi. Harusnya ia yang marah di sini.

"Oke" Yana dengan cepat ambil napas dan membuangnya kasar. "Dengar! Kapan terakhir kali lo menghubungi Zara, tidak adakah sedikit rasa khawatir lo pada gadis itu?" Tuturnya tak habis pikir pada sang kakak.

"Apa pedulimu Yan, aku terlalu sibuk mengurusinya. Lagi pula dia tidak mempermasalahkannya," balas Daniel tidak mau kalah.

"Oh begitu?" Kata Yana lagi. "Bagus, bagus sekali. Lo bahkan lupa jika hari ini ulang tahunnya, ah baru ingat. Kau kan tidak peduli."

"Apa maksudmu Yana."

Bug. Baku hantam tak lagi terelakkan di sini. Sampai pada akhirnya mereka memahami jika tanpa perkelahian pun Zara tetap pergi.

***

Sebelum Yana mengetahui kebenarannya, ia sengaja merencanakan semuanya untuk kelangsungan hubungan Zara dan Daniel. Memesan restoran dengan setting romantis hingga mencari tahu alamat rumah calon kakak iparnya itu.

"Permisi" ia mengetuk pintu lalu terlihat ibu hamil yang berdiri dihadapannya. Awalnya ia terkejut jika Zara-lah yang ada dihadapannya dalam keadaan hamil tapi wanita itu memberitahu jika ia adalah kakak Zara. Mereka sangat mirip.

"Apa kak Zara ada di rumah tante?" Kala itu Yana memanggilnya tante.

"Dia tidak ada di sini. Dan jangan panggil aku tante itu terlalu tua," keduanya tertawa keras di teras depan.

"Aku adik Daniel. Maksudku ke sini untuk memberinya kejutan makan malam bersama kakakku. Kurasa dia pasti akan senang." Yana menjelaskan langsung pada pokok permasalahan.

Namun Natasya nampak murung, "Mungkin saja omonganmu benar tapi..." ibu hamil itu mendengus sekilas "dia pergi untuk mengembangkan bakatnya," ujarnya menahan hasrat rindu.

"Apa? Kapan? Mengapa aku tidak tahu, ya Tuhan jahatnya aku," ucap Yana penuh sesal.

"Itu keputusannya kita tidak bisa berbuat apa-apa,"
Segenap emosi tengah melanda adik Daniel, sebelum ia pergi pertanyaan pun lolos dari mulutnya.

Bagus. Ia akan menyusulnya ke sana. Dan semua terjadi sangat kebetulan sekali. Yana pamit undur diri dan pergi.

***

Sejak lima belas menit yang lalu Chiko, Natasya, dan Yogi sengaja berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang menatap layar tablet untuk video call dengan Zara untuk merayakan hari kelahirannya yang ke-23. Mereka tertawa melihat ekspresi wajah yang aneh dari Zara.

"Hah, dasar pemalas. Kau baru mandi malam ini?" kikikan tawa terdengar dari mulut Natasya diikuti yang lainnya.

Suara di seberang sana kembali terdengar "hoho. kau pikir aku kurang kerjaan sampai malas mandi. Aku sibuk menjahit kak, pesanan tuan mada lumayan banyak." Jelasnya menggosok rambut pakai handuk kecil.

"Benarkah?" Ini suara Yogi "aku membelikanmu hadiah. Tapi jika kamu menginginkannya maka cepatlah pulang,"lanjutnya tersenyum sengit. Chiko hanya mengangguk memeluk istrinya. Tangannya asyik mengusap perut Natasya yang makin membesar. Usianya sudah masuk 7 bulan.

"Hah, jangan mengancamku bapak direktur. Akan ada 36 bulan lagi tahu."

Zara tertawa memandang ekspresi aneh sahabatnya. "Sudah umpanmu enggak akan mempan," lanjutnya tersenyum menang.

"Tapi lihat ini," ujar Yogi mulai menjauh dan Chiko mengambil alih tablet untuk diarahkan pada pemuda yang mundur ke balik sofa.

"TARAAAA" Yogi menarik kain merah yang menghalangi pandangan Zara di sana.

Zara terkejut mengetahui bahwa Yogi sejauh itu untuk memperingati hari lahirnya. Memang tahun ini ulang tahunnya kembali hangat, mengingat sejak berteman dengan Daniel ia tidak pernah diberi ucapan dan doa apalagi hadiah. Ckck.

"Haaaah itu mesin jahit idamanku Yogi. Sialan, itu bagus sekali," teriaknya tak terima karena tidak bisa langsung memeluk benda istimewa di sana.

Kakaknya hanya mendengus sebal pada adiknya yang mulai aneh. "Hei, kami juga punya hadiah jadi jangan lupakan kami," Zara yang mendengarnya hanya tersenyum mahal. Ulang tahun kali ini sangat mengagumkan.

"Iya, iya. Kakakku cuyung sini aku peluk," terlihat di layar Zara sedang merentangkan kedua tangannya, seolah ingin mendekap erat.

Chiko mendelik menatap sang istri bingung, "Sayang, kamu sudah siapkan kado untuk Zara? Kenapa aku tidak tahu?" bahkan Natasya pun menggeleng pelan.

"HAH KAKAK PHP" Kikikan bahagia terasa menghangatkan suasana hati mereka malam ini. Walaupun jauh mereka akan saling menghubungi meski tak sering.

"Ets, Kamu enggak lihat Zara, hadiahnya kan kamu akan menjadi tante sebentar lagi."

"Aaaah walau aku tidak ultah aku tetap akan mendapatkannya kakakku sayang."

***

Zaman SMA dulu...

Gadis manis berambut sebahu itu berlari sambil tersenyum membawa kemeja, kaki kirinya terbalut luka parit usai seleksi cheers yang gagal ia ikuti. Tanpa pantang menyerah gadis itu menyeret Daniel ke belakang toilet. Di sana ia meminta teman lelakinya tersebut berganti pakaian. Mengingat bahwa Daniel terkena banyak sekali kotoran.

"Buat apa lo bawa gue ke sini?" Pandangan bingung Daniel terjawab akan pakaian kotor yang bau akibat bully-an itu. Tapi lelaki itu tetap keras kepala, "Cukup. Jangan ganggu gue lagi, lo tahu kan kalau gue enggak suka sama lo," lanjutnya tanpa perasaan.

Reaksi yang diberikan Zara tidak berubah. Biasa saja. "Bukan atas dasar apapun aku membantumu, jadi pakailah," Zara memaksa tangan Daniel untuk menengadah rendah sebelum ia pergi menjauhinya.

"Aku pergi."

Akhirnya gadis bernasib malang itu pergi tanpa menoleh sedikit pun pada pemuda yang baru saja ia beri bantuan. Kejadian singkat itu membuat Daniel termenung sendiri.

***

Di balkon kamar. Daniel menatap hamparan bintang dengan mata telanjang. Giginya gemeletuk keras, tangannya ia kepal, napasnya juga memburu kaku. Sekarang ia sadar bahwa dirinya membutuhkan gadis itu.
Gadis yang selama ini tak ia acuhkan.

"Kapan kamu akan kembali?" ucapnya seorang diri. Kemudian genggaman tangannya beralih pada pagar di dekatnya.

"Aku merindukanmu..."

"Aku merindukanmu..."

"Zara," kini badannya turut lemah tak berdaya. Meratapi semua penyesalan bertumpah ruah. Apalah daya kini tinggal rasa sesal yang ada.

Sampai dirinya tidak sadar jika Yana masuk ke kamarnya. Bersandar pada tembok pucat berhiaskan foto koleksi dari hobi sang kakak.

"Sudahlah. Dia enggak akan dengar di sana," celetuk Yana membuka album yang tergeletak di atas meja kerja di dekatnya. Senyumnya miris melihat foto Zara semua. "Ya kalau mau serius harus berjuang," kembali meletakkan album itu.

Mendekat dan menepuk bahu Daniel pelan. Berharap kata-katanya ampuh didengar.

"Semua terlalu lambat disadari, tapi aku yakin Zara akan tetap ada di sini," jari telunjuk kanannya ia tunjuk begitu jelas di depan Yana. Sebagai bukti bahwa dirinya tidak hanya bisa membual saja.

Yana mengangguk setuju, "Persiapkan semuanya dengan mantap," ujarnya tegas "dan ingat, jika Zara tidak bisa jadi iparku maka ia harus jadi istriku," lanjutnya tanpa beban melihat wajah Daniel yang menggeram.

"Enak aja, belajar yang fokus."

Drrrt drrrrt drrtttt...

Getaran di saku terasa kuat untuk memberi tanda bahwa ada panggilan masuk. Lekas merogoh dan mengangkatnya cepat.

"Hallo," Daniel tidak mengenal nomor yang tertera di kontak telepon. Dan suara itu terasa tidak asing di telinganya.

"Siapa kak?"

Yana dibuat penasaran oleh penelepon misterius itu. Sebenarnya apa maksud dan tujuannya, jangan sampai coba-coba mengusik hidup Daniel.

"Dia.." bahkan Daniel dibuat kaku oleh orang itu. Dan Yana merasa kesal sekarang.

"Katrina. Ya Katrina, ia kembali menyambut perasaanku," hp yang di genggaman ia letakkan kembali di tempat semula.

Hanya mengangguk. Mengurut pelipisnya, Yana mulai pasrah sekarang. Soal itu biar Daniel yang menyelesaikan.
"Aku enggak mau ikut campur. Selesaikan sendiri masalahmu," kemudian Yana keluar dari persinggahannya.

"Aku keluar".

Menutup pintu kamar Daniel rapat-rapat. Menyisakan kebuntuan yang kini pemilik kamar itu rasakan.

"Zara aku harus bagaimana?" desisnya menjatuhkan diri ke atas ranjang. Seakan-akan ia bisa merasakan bila Zara ada di dekatnya. Pemuda malang yang dirundung pilu dan bimbang.

***

Mobil mewah terparkir tepat di depan pelataran rumah Zara, rumah yang ia sewa untuk dua tahun ke depan. Rupanya Yogi tengah singgah di kediaman Zara.

Ada rasa rindu di sana terlukis jelas pada raut keduanya.

"Apa kabarmu?" itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Yogi dari sekian ribu kalimat yang ada. Matanya berbinar terang penuh kasih sayang.

"Kamu ini masuk dulu duduk, jangan menyerangku dengan kalimatmu yang menumpuk itu tuan," keduanya terkekeh saat jalan beriringan masuk.

Ruang tamu yang sederhana pikir Yogi, tapi selalu berkesan di matanya karena gadis itu.

"Kamu mau minum apa? Biar kubuatkan spesial untukmu, hehe,"

"Apa aja asal spesial pakai cinta."

"Direktur muda bisa gombal juga ya," gelak tawa pun terdengar nyaring di kediaman Zara yang ia tempati bersama teman satu profesi. Jangan lupakan mesin jahit yang Yogi kirim beberapa bulan lalu. Zara bahkan pergi hampir ada satu tahun lamanya.

Segera gadis itu masuk dapur mengambil minuman untuk tamunya. Tak disangka Raquel pulang di saat ada tamu di rumahnya.

"Zara, mobil siapa lagi yang numpang parkir di depan hah," tak tahu jika ada tamu, seenaknya saja ia masuk dan berteriak kencang.

"Ah, maaf. Ada tamu rupanya," gadis itu tersenyum kecut karena malu. Dan Yogi pun dibuat salah tingkah akan kedatangannya.

Bagaimana tidak salah tingkah jika ada gadis berbadan porposional berkulit putih dan berambut panjang, tepatnya itu idaman. Berdiri di hadapan matanya.

"Maaf aku teman Zara" katanya grogi kemudian mengulurkan tangan, "aku Yogi, sahabat Zara," dan disambut Raquel riang.

"Ah, sahabat kecil Zara. Kau iparnya?" tanya Raquel penasaran hingga Zara muncul membawa minuman.

"Sejak kapan kau pulang?" Zara menyorot Raquel dan memandang keduanya curiga. "Dan dia bukan iparku cantik. Kau tertarik?" ujar gadis itu to the point.
Yogi hanya merengut dan Raquel tersenyum miring mendelikkan bahu dan berlalu. Zara ambil posisi duduk paling nyaman. Yogi mulai geram dengan sikap Zara yang satu ini, sembarangan.

"Kau ngomong apa tadi?"

"Yang mana?" pura-pura tidak tahu.

"Oh, yang bagian kau tertarik?" Yogi pun mengangguk.

"Jadi, kamu beneran suka dia tuan muda?" hanya delikan bahu yang Zara lihat dari tanggapan sahabat suksesnya itu. Hah lucu sekali. Melihat wajah Yogi kembali serius, gadis itu berdehem sedikit ragu.

"Apa tujuanmu ke sini Yogi?" tanya Zara, kali ini tidak main-main.

"Sebenarnya maksud kedatanganku ke mari untuk...." ah rasanya ini sulit dikatakan. Tak semudah zaman SMA mengajak Katrina pacaran, ah gadis itu.

"Melamarmu."

"HAH" Shit, reaksi yang buruk Zara. Mengapa responmu harus membuat Yogi patah hati walau sebenarnya semua ini terlalu tiba-tiba.

Namun wajar bila Zara terperanjat atas penuturan dari Yogi. Apa ia sedang tidak sadar berbicara seperti itu.
Zara memang menyebalkan, Yogi tahu itu. tapi tidak menjerit juga bukan reaksinya. Itu menyebalkan dan ia benar-benar kesal.

"Oops sorry, Yogi. Kamu lagi demam?" dahi menjadi sasaran Zara sekarang. Namun tidak didapatinya sang sahabat demam. "Sehat" ia mencoba memasang raut bingung.

"Dasar bodoh. Aku sehat dan aku sadar."

Jujur, perasaan Zara jadi dilema sekarang. Memikirkan status, ia paling tidak bisa untuk merajut. Takut gagal!
Ya gagal. Seperti saat itu, saat cintanya untuk Chiko justru tersandung di hati kakaknya, Natasya.

Gadis itu menunduk meremas tangan lalu menatap lekat sahabatnya. "Aku takut." Takut? Pikir Yogi, apa yang ditakutinya selama ini. Apa karena insiden masa lalu?

Atau...

Ah, ia tahu jawabannya sekarang. Si pecundang itu, hatinya tertunjuk pada Daniel.

Sedangkan Zara sudah mencurahkan isi hatinya melalui air mata sendu. "Rasanya, aku merasa tak pantas dimiliki siapapun. Semua mengabaikanku." keluhnya mencurahkan segala isi hati.

"Andai ayah tak jadi penjahat, mungkin aku bisa memeluk ibu. Tapi nyatanya, kini ia mendekam di penjara."

Reflek Yogi memeluk Zara tulus. Pelukan yang diberikan oleh seorang sahabat. Mengelus punggungnya penuh perasaan dan kasih sayang.

Memang, berdamai dengan perasaan itu sulit. "Sebisa mungkin, aku akan di sampingmu, Ra."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience