BAB 4

Action Completed 881

Malam pertama bekerja, aku boleh mengelak. Mendadak asmaku kambuh. Perempuan berwajah oriental itu mengerti. Bahkan dia sangat mengerti. Memberiku fee tambahan untuk biaya berobatku tanpa kami harus melakukan penambat nafsu itu. Aku berterima kasih padanya. Besok, dia mau aku lagi –hanya bertemu. Jawabanku hanya insya Allah, itupun jika Tuhan mengehendaki. Perempuan berwajah oriental itu tidak lagi menciumku. Lima ratus tahun hukuman dalam neraka jika ia nekat menebar syahwat menciumku. Gadis itu pulang sambil menangis. Aku bertasbih.

Malam kedua aku di selamatkan seorang malaikat. Hampir saja ibuku di alam baka sana di siksa oleh galaknya mungkar dan nakir. Jika saja keperjakaan anaknya di renggut seorang gadis berambut pirang keturunan Finlandia. Tuhan masih menolongku. Aku tetap dapat uang tambahan. Kali ini bukan kerana alasan sakit asma. Tapi perempuan itu berlinang air mata ketika aku ceritakan history keluargaku yang sengsara. Malam itu, setengah malam suntuk kami curhat. Aku duduk di sudut ruangan. Gadis itu aku minta tetap tenang di atas ranjang. Aku menjaga pandangan. Agar tak ada kemaksiatan.

Malam ketiga, seorang wanita cantik tidak mau mengerti. Aku harus boleh mengkoordinirnya–wanita cantik yang ada di depanku malam itu–agar Makcik Hasmia tak marah padaku. Apa jadinya jika uang muka yang kuterima harus ditarik kembali olehnya. Mau kemana aku mencari uang sebanyak itu. Sedangkan sebagian, sudah aku gunakan. Untuk biaya berobat. Juga untuk makan. Dan malam ketiga itu. Ujian dari Tuhan tak terbantahkan. Wanita cantik itu begitu menggoda. Hatiku terus ingat untuk memuji Tuhan. Palingkan aku dari kebinasaan. Wanita itu liar. Dia nyaris menyentuh bagian yang seharusnya tidak boleh dia sentuh. Dan lagi-lagi malaikat menolongku. Wanita itu panik dan langsung pulang begitu mendapat kabar ibunya mendadak meninggal. Dan malam itu, kali pertama aku begitu senang mendengar kabar orang meninggal. Apa boleh buat.

Malam keempat. Aku tidak boleh bernapas. Dadaku sesak. Jiwaku seolah dikebiri dengan kepahitan hidup. Aku bertemu dengan gadis belia yang tak seharunya menjual harga dirinya. Aku lelaki. Dia wanita. Kami, sama-sama terjebak dalam keharusan mendapatkan uang secepat kilat. Bahkan kalau boleh lebih cepat lagi dari rambatan cahaya. Untuk orang yang kami sayangi. Aku butuh uang untuk adikku. Dia butuh uang untuk ayahnya. Malam itu. Separuh uang yang aku terima, aku hibahkan untuknya. Aku menangis. Dia menangis. Kami sama-sama bertasbih. Memuji Tuhan.

Malam kelima. Aku harus menambah malam lagi. Kerana uangku masih kurang. Tidak apa-apa. Semoga masih banyak wanita berhati malaikat yang sudi memberiku uang secara ikhlas tanpa kami harus saling melepas nikmat. Nikmat yang terlaknat. Yang membuatku menggigil. Yang membuat otakku penat. Yang membuatku nyaris mati dalam umpatan seribu ikan di samudera. Dan lagi-lagi, aku selamat.

Alhamdulillah. Uangku cukup. Malam itu, aku segera ke Rumah Sakit. Menjenguk adikku tercinta, Risa. Dia menyambutku. Menanyakan kabarku. Menanyakan tempat kerjaku yang ia tahu aku adalah seorang barista. Seandainya ia tahu aku bukan barista. Mungkin Risa akan menangis meronta dan mengumpatku. Melaknatku. Dan yang lebih parah. Dia tidak bersedia menerima sumbangsihku. Aku tidak mau dia tahu. Biarlah derita ini menjadi rahasiaku. Rahasia malaikat yang ada di kanan dan kiri pundakku. Dan tentu, rahasia Allah juga.

“Ya Tuhan. Jadikan dustaku ini sebagai suatu kebaikan. Andai aku harus masuk dalam jahanam, maka Jadikanlah tubuhku besar. Agar daging dan kulitku cukup menutupi bara api dalam jahanam kelak. Supaya takkan ada lagi manusia yang terseksa kerananya. Biar aku saja yang terseksa. Kerana sejak kecil, batinku sudah terbiasa. Aku ikhlas. Aku rela. Aku puas.”

“Kak…” lirih Risa mengejutkanku. Aku mengelap air mataku.

“Kakak kenapa menangis…?” tanya Risa mengiba. Agaknya ia ingin tahu kesedihan apa yang membuatku menangis. Aku diam. Menahan sisa kesedihan.

“Kak…?” lirih Risa ketiga kalinya. Ia nyaris beranjak. Aku mencegah.

“Risa belum sembuh. Jangan banyak bergerak. Kamu makan dulu, yah. Habis itu, minum obat.” Kataku tersenyum sambil membantunya rebahan. Risa mengangguk.

“Kakak, kalau Risa sudah sembuh. Kakak mau belikan Risa apa?” satu suapan belum membuat mulutnya diam. Dia memang nyinyir. Tapi itu membuatku terhibur.

“Risa, maunya Kakak belikan apa?” kataku basa basi.

“Hmmm, Risa mau dibelikan boneka. Tapi yang besar, Kak. Biar jadi teman Risa tidur. Boleh kan, Kak…?”

“Insya Allah…”

Aku menyuapi satu sendok lagi. Risa lahap dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Bibirku tersenyum. Tapi hatiku menjerit. Aku butuh keadilan. Aku ingin kebebasan. Aku ingin adikku boleh segera disembuhkan.

“Kak, tadi ada teman Kakak datang kemari. Dia nyariin Kakak…” lirih Risa membuat dahiku berkerut.

“Si-siapa?!” tanyaku agak takut. Aku takut kalau Makcik Hasmia nekat mendatangi Risa. Boleh kacau semuanya.

“Kalau tak salah, teman kuliah Kakak. Namanya Kak Ainnur .”

“Oh, Ainnur ? Memangnya, dia ngapain kesini…?” kataku sambil tetap menyuapinya. Mulut Risa penuh dengan bubur ayam, dia menjawab agak kurang jelas artikulasinya. Tapi kira-kira seperti ini, “Hmmm, dia mau bicara penting…” katanya sambil terus mengunyah.

“Bicara penting?” lirihku menatap lantai keramik Rumah Sakit ini. Tiba-tiba aku terpikirkan dengan tugas kuliah. Sepertinya aku tidak terlalu ketinggalan. Lalu, ada masalah apa dengan Ainnur ? Bukannya dia boleh menghubungiku lewat telefon?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience