BAB 7

Action Completed 881

Aku dan adikku terus melaju. Ditemani angin malam yang menyayat. Ditemani embun malam yang menyengat. Ditemani cayaha temaram. Dalam kelam malam. Mengejar waktu.

Malam. Kau sangat kental denganku. Kau adalah hidupku. Kau penyelamatku. Kau tersenyum misteri padaku. Malam. Katakan pada Tuhan. Bisikkan pada-Nya. Kalau aku, sangat mencintai-Nya. Malam. Aku mencintaimu juga.

Dalam keadaan sakit aku terus menggendong Risa. Entah kemana yang penting aku harus membawanya pergi. Yang penting kami harus keluar dari kota ini. Hujan rintik-rintik membuatku ragu. Tapi aku harus tetap melaju. Risa menggigil. Aku merasakan tubuhnya panas. Aku khawatir demamnya semakin tinggi lagi. Kulepas kemejaku. Kusematkan membalut tubuh mungilnya.

Sudah belasan kilometer aku berjalan. Tapi tetap tanpa tujuan. Aku membuat Risa hangat dengan mengajaknya berbincang sekenanya. Semoga, dia baik-baik saja. Aku ingin mencari klinik terdekat. Aku harus membawanya berobat.

“Kak, kita mau kemana?” lirih Risa gemetar. Tanpa terasa air mataku meleleh. Aku diam.

“Kak, Risa takut…” lirihnya lagi.

“Jangan takut, Dik. Kakak kan ada didekatmu. Kamu harus kuat. Kita akan pergi ke tempat yang jauh.” Aku berlari-lari kecil mencari pertolongan. Hujan turun merintik-rintik. Semakin keras.

“Kak, kenapa Kakak menangis?” tanya Risa dengan tubuh yang semakin terasa getarannya. Dia sangat kedinginan. Aku semakin kuat menggendongnya.

“Kakak tak nangis, kok. Sekarang kan hujan. Jadi Kakak seperti menangis, yah?” Risa menyandarkan kepalanya di punggungku. Aku terus menangis.

“Kak…” lirih Risa lagi.

“Ya, Dik. Ada apa?” aku mengelap air mataku.

“Risa sayaaaaaang sekali sama Kak Fahri. Kakak jangan pernah tinggalin Risa lagi, yah. Nanti Risa tak punya teman. Nanti, tak yang ceritain Risa dongeng lagi. Tak ada yang belikan Risa es krim lagi. Tak ada yang kasih Risa boneka lagi. Kakak janji yah, jangan pernah tinggalin Risa lagi…”

“Ya, Insya Allah, Kakak janji. Tapi, Risa harus kuat yah. Risa juga tak boleh sakit lagi.”

“Ya, Kak,” sahutnya tenang, “Oh ya, Kak, kalau badan kita panas, kata Kakak itu sakit, kan?” tanya Risa menatapku. Aku tersenyum.

“Ya, Dik. Itu tandanya kita sakit..” sahutku datar.

“Berarti, sekarang Kak Fahri sakit. Badan kakak, panas…” lirih Risa setengah berbisik.

“Ahh, Kakak tak sakit kok. Kakak kan cowok. Kalau jadi cowok tak boleh sakit.”

“Tapi, badan Kakak panas.”

Aku diam.

“Besok, kalau Risa udah besar. Risa mau jadi dokter. Kalau Kak Fahri sakit. Nanti Risa yang obati. Kakak tak usah bayar…” Oh Tuhan. Tenggorokanku seakan tersedak. Sakit. Sakit sekali. Aku hanya mengangguk menanggapi celotehannya. Tak sanggup lagi aku berkata-kata. Tubuh Risa semakin terasa panasnya. Demikian pula denganku. Semakin cepat aku berjalan. Semakin terasa nyeri disetiap sendi tulangku. Badanku gemetar. Kaku. Perutku perih. Kepalaku pusing. Aku limbung.

Perlahan tubuhku melemah. Tak tahu lagi aku harus berbuat apa. Hujan semakin menyiksaku. Angin malam semakin menusuk tulangku. Dosa-dosa yang selama ini aku perbuat, seolah turut gugur bersamaan dengan panas yang kudera. Tuhan. Jika detik-detik kematian sudah mendekat. Aku titip agar Engkau menjaga adikku ini. Katakan padanya kelak, aku sangat mencintainya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience