BAB 3

Action Completed 881

Tepat pukul 21:00 wib. Aku duduk seorang diri di ujung sofa merah ini. Gelisah. Resah. Gundah. Takut. Kalut. Entahlah. Aku tidak kenal lagi siapa diriku. Inilah aku. Manusia setengah malaikat. Jika aku tidak keliru. Dan aku masih menunggu. Entah seperti apa wajah orang yang sedang aku tunggu. Tak penting bagiku.

Jam dinding tertawa sinis menatapku. Mereka terdengar saling berbisik-bisik menggunjingku. Jarum panjang menatap menghina dina diriku. Jarum yang pendek terus menangis melihatku. Angka satu menatapku ragu. Angka dua menatapku sayu. Angka tiga menatapku cemburu. Angka empat menatapku malu. Hingga angka lima mengejutkanku, saat seorang wanita telah duduk di depanku. Persis di depanku. Pandanganku beralih pada sosok hawa itu. Cantik sekali.

“Hai…” lirih wanita berparas oriental tersenyum padaku. Sontak hatiku berdesir. Ini syaitan. Bukan wanita. Itu bidadari. Bukan malaikat. Aku tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan sosoknya. Dia aneh bagiku –penampilannya yang sangat glamour.

“H-hai…” sahutku, masih ragu.

“Udah lama, nunggunya?” tanyanya sambil meletakkan tas di atas meja. Aku menggeleng.

“Mau minum apa?” matanya liar menatap dadaku. Jantungku pun langsung berdegup. Sakit. Seolah aku telah menginjakkan kaki di tepi jurang penuh api. Nyaris tergelincir.

“Kamu kenapa? Kok, kelihatan kaku gitu…?” tanyanya menatapku. Aku larut dalam angan-angan. Membayangkan sebuah cambuk yang telah lama siap melucuti punggungku. Duri-duri beracun siap bercokol ditelapak kakiku. Rasanya perih, namun harus aku lewati. Tuhan Maha Pengasih.

“It’s My first time…” jawabku pasti. Namun hatiku getir.

Semenit kami saling diam. Mata masing-masing tak jelas menatap apa. Aku melihat pengunjung kafe yang mulai ramai berdatangan. Gadis itu melihat diriku yang sepertinya nyaris mati ketakutan. Aku diam. Ketika aku sadar telah masuk kedalam lingkar markas syaitan, darahku meledak ingin keluar. Ini tempat yang mengerikan. Semua manusia tak mengenal Tuhan. Hanya sekedar senang-senang. Rakus bukan kepalang. Dan aku, mulai menggigil ketakutan. Semakin ketakutan. Apalagi saat perempuan itu mendekatiku. Duduk merapat denganku. Perlahan mencium pipiku. Sontak aku beringsut menjauh. Wajah perempuan itu merajuk. Alisnya menyatu. Heran melihat tingkahku.

Perlahan ia mendekatiku lagi. Kali ini jemari kami menyatu. Napasku menderu. Amarah dan benci menjadi satu. Kedua kalinya dia menciumku. Aku geram gregetan. Kalau tidak mengingat derita gadis yang sekarang benar-benar sekarat. Aku tidak akan nekat masuk ke dalam lembah terlaknat. Inilah aku. Manusia setelah malaikat. Kalau aku tidak keliru.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience