BAB 4

Others Completed 8365

Bu Nanik bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Bu?” tanyaku tidak enak melihatnya seperti mau kabur begitu. Wanita berusia lima puluh tahun itu tertawa. Ia mengatakan harus kembali ke kantor karena Satya mendesak dibuatkan ini dan itu. Bu Nanik juga mengatakan, Satya akan menyusul ke rumah sakit, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya. Oh, sempurna sekali.

Lalu aku ditinggal sendirian. Aku mulai menyibukkan diri dengan menyelesaikan beberapa masalah Delia. Mengatur bajunya di loker kecil di bawah mejanya, menebus beberapa obat di apotek dan beberapa administrasi lainnya yang cukup melelahkan. Aku harus mondar-mandir ke sana-sini sampai akhirnya semuanya selesai selepas magrib. Aku baru bisa duduk beristirahat pada sebuah kursi di depan kamar Delia.

Kuangkat wajahku saat aku mencium aroma parfum yang amat kukenal menebar harum di sekitarku. Satya berjalan mendekat dengan gayanya yang khas. Tegak, lurus, dan tanpa suara. Jika saja ia tidak mengenakan parfum Bvlgari-nya, pasti aku tidak akan menyadari kehadirannya. Tanpa bicara, diletakkannya sekotak makanan yang dari etiketnya aku tahu itu makanan Jepang kesukaanku. Kemudian ia berjalan menuju ruang perawat. Memberikan kesempatan padaku untuk makan.

Ya, ampun... aku baru sadar betapa perihnya perutku. Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan aku hanya berbuka dengan air mineral untuk membatalkan puasaku. Beef teriyaki ini rasanya benar-benar super. Ebi katsu, tepanyaki dan ekado-nya juga spicy serta crunchy... oh, yummy... yummy!

Saat aku tengah asyik makan, Satya sudah balik lagi dan membuatku buru-buru menyesap jus stroberi dengan float es krim vanilla. Enak, sih. Tapi, akan lebih enak lagi kalau tidak ada Satya berdiri di sana. Dia seakan memberikan tekanan mental manakala berada di sekitarku. Rasanya aku dituntut untuk selalu benar dan beres di hadapannya.

Ia memandangku dengan ekspresi datar saja.

“Makanlah. Jangan berhenti karena aku ada di sini,” katanya, sambil duduk kembali di sisiku. Aku merasa tidak nyaman memperhatikan beef teriyaki di pangkuanku yang masih separuh itu. Aroma minyak wijen dan saus kikkoman yang bergelimang di antara irisan daging dan bawang bombay.... Oh, tidak!

“Aku membuatmu kehilangan selera, ya?”

Makin tidak menyenangkan saja. Separuh menyesal, kututup kotak untuk menghindari aroma yang menggoda.

“Tidak juga... perutku masih beradaptasi setelah sekian lama kosong,” jawabku. Betapa munafiknya!

“Puasa?”

Aku mengangguk.

“Kau persis Tante Dian,” ia menyebut almarhumah ibuku tanpa ekspresi.

Rasanya acara makanku memang harus selesai. Seleraku lenyap seketika.

“Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Delia bisa lupa akan segala sesuatu mengenai dirinya?” Satya bersandar pada bangku, lalu menoleh padaku,

“Kau percaya itu?”

Mengapa tidak? Aku membatin. Seseorang yang berada dalam tekanan seperti yang dialami Delia, tidak hanya bisa menjadi histeris karena stres. Mungkin ia bisa juga nekat bunuh diri.

“Keluarganya sudah diberi tahu?” Satya kembali bertanya. Aku menggeleng. Kuceritakan pengalamanku tadi siang bersama Pak Harso dan menjelaskan keadaan Delia selama bermukim di apartemen itu. Satya mengerutkan alisnya.

“Kau harus kerja keras mencarinya. Aku tidak mau diganggu oleh wanita itu lagi.”

Aku menatapnya takjub. Betapa tidak berperasaan! Celakanya lagi, dia adalah sepupuku!

“Delia sedang sakit…,” aku hanya berusaha menyindirnya karena Delia bisa seperti sekarang mungkin juga akibat dari kekejaman sikapnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience