Ya, hanya itu yang diharapkan Delia atau Nadia atau Marissa. Rasa aman untuk menjamin hari tuanya. Ia sudah gagal memperoleh kebahagiaan dalam merebut kembali Pak Yudha. Sekalipun segala cara sudah dilakukannya, ia tidak dapat meraih cinta yang dulu pernah membahagiakannya. Harga sebuah cinta sejati tidak dapat dinilai dari bentuk dan keindahan fisik yang diperjuangkannya habis-habisan. Hanya ketulusan yang dapat menjaga sebuah cinta menjadi abadi.
Seperti yang dilakukan Pak Yudha terhadap istrinya yang rapuh. Satya termenung dalam waktu yang lama. Mungkin ia sedang berpikir keras mencerna apa yang barusan kusampaikan. Berkas-berkas itu aku ambil kembali, lalu kumasukkan ke dalam ransel. Seorang perawat datang kepada kami dan mengatakan bahwa Delia kembali gelisah. Kami bergegas masuk untuk melihat keadaannya.
Wanita itu terbaring dengan kedua tangannya terikat pada tepi ranjang.
Mungkin ditujukan agar ia tidak mencakari wajahnya lagi seperti sebelumnya.
Ia memperhatikan kami tanpa ekspresi apa pun saat melihat kami masuk.
Padahal, aku berharap ia akan berteriak histeris melihat kedatangan Satya.
Kengerian menapaki diriku melihat bilur luka yang makin merah dan bengkak. Mungkin, karena ia menderita diabetes, membuat lukanya tak kunjung kering. Wajah Delia makin lama membulat seperti bola yang mau meletus. Sekalipun naif, aku khawatir kalau-kalau wajah Delia akan robek.
Robek? Apakah itu yang diinginkan Delia? Merobek wajahnya saat ini untuk memperoleh wajah lamanya kembali? Dengan keterbatasan kemampuan otaknya dalam menggali memori yang perlahan-lahan menghilang dari dalam benaknya, apakah ia ingin sekali saja melihat dirinya yang pernah dikenalinya dulu? Bukan sebagai siapa-siapa, tapi sebagai seorang Marissa saja. Satya bergeming, wajahnya datar tanpa ekspresi dan kelihatan menjaga jarak. Sekarang aku mengerti, aku tahu dari mana ia memperoleh sikap yang demikian tidak berperasaan.
Delia makin gelisah, ia meronta-ronta di atas ranjangnya sambil terus meminta cermin. Satya membisu. Kuhela napasku dalam-dalam. Aku memberanikan diri untuk menyapanya agar teoriku sejauh ini memberikan bukti yang nyata.
“Apa kabarmu, Marissa?” sapaku, hati-hati.
Delia tersentak. Kelihatan kalau ia terkejut mendengar panggilanku. Sesaat kemudian ia menoleh perlahan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Perutku mulas melihat caranya memandangku dengan aneh. Jantungku berdegup kencang. Bibirnya yang kering bergerak dengan sedikit gemetar.
“Kau menemukanku,” suaranya terbata, seperti sedang mengeja. Terdengar asing di telingaku, seperti bukan suara manusia biasa. Bola matanya berputar dengan sorot yang membuatku meradang oleh rasa takut yang mendadak datang.
Aku mengerti mengapa namaku tercantum dalam ponselnya. Itu bukanlah suatu kebetulan, tetapi memang telah direncanakannya! Aku adalah orang yang akan menggantikan kedudukannya sebagai sekretaris yang diharapkan Satya. Aku adalah TO berharga Rp15 juta itu, yang harus dieliminasi seperti Tere dan Luisa!
Aku terjajar ke belakang. Kakiku goyah oleh rasa ngeri. Wanita itu mulai tersenyum. Makin lama senyum itu makin melebar sehingga giginya kelihatan dan wajahnya makin mengerikan. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang membuat bulu kuduk meremang.
Satya menarik tanganku untuk segera berlalu dari situasi yang mencekam itu. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup rapat. Aku terseok-seok mengikutinya dari belakang. Tangannya terasa dingin dan gemetar dalam genggamanku.
Tamat
Share this novel