BAB 12

Others Completed 8365

“Ia agak aneh orangnya. Pendiam, tapi sering gonta-ganti pacar. Waktu Nadia wafat, ia datang sambil membawa bayi laki-laki yang baru berumur 40 hari. Kami sempat menegurnya karena tidak baik membawa bayi ke tempat orang mati. Kabarnya, ia menyusul kekasihnya ke Surabaya. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana kabarnya.”

Aku merasakan peningkatan adrenalin dalam tubuhku.

“Maaf, Bu. Apakah Ibu mengetahui seperti apa kekasih Marissa itu?”

“Wah, saya tidak tahu, Mbak. Kabarnya lelaki itu sudah berkeluarga.”

“Oh, begitu. Maaf, Bu, barangkali Ibu masih ingat, apakah Marissa, Nadia dan

Adelia lahir pada tanggal 5 Juni?”

“Saya nggak yakin benar, tapi rasanya mereka tidak lahir di tanggal yang sama. Karena, kalau ada yang ulang tahun bersamaan, pasti traktirannya besarbesaran. Nah, pas di gudeg itu kami sedang merayakan ulang tahunnya

Marissa.”

Cukup sudah bagiku keterangannya dan aku sangat berterima kasih pada Bu Maryam. Suara Ardi kembali berada di ujung telepon.

“Bagaimana, Ran? Kamu sudah puas kan sekarang?”

“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Ar. Sungguh-sungguh membantu.” Ardi tertawa di ujung sana.

“Kau utang padaku, bebek goreng kayu tangan dan rawon setan.”

“Anything, Bos. Anything,” kukutip kata-katanya dulu.

Aku menjadi lemas. Punggungku terasa basah oleh keringat, dan kedua tungkai kakiku gemetaran. Kuperhatikan dengan seksama wajah kesepuluh gadis yang ada di dalam foto itu. Tiga di antaranya sudah pasti menjadi sekretaris perusahaan ini. Tapi, bagaimana Nadia dan Delia bisa melamar pada posisi itu dalam usia yang lebih muda dengan menggunakan ijazah palsu? Siapa yang tidak jujur di sini? Tadinya aku ingin mengonfrontasi Adelia dengan Delia. Tetapi, jelas tidak mungkin, karena yang satu sudah mati, sedangkan yang satunya mulai pikun! Seandainya aku bisa menemukan Marissa. Tetapi, ia tidak jelas ke mana setelah keluar dari sini belasan tahun yang lalu.

Aku mencoba mengurut melalui billing statement dari kartu kredit yang digunakan oleh Delia. Billing statement itu keluaran dua tahun lalu. Dari merchant yang terbaca di sana adalah ada dari sebuah klinik kecantikan dan pelangsingan ternama di Surabaya. Imago Derma. Transaksi yang dikeluarkan juga cukup besar, hampir Rp11 juta.

Aku mencoba mencari nomor klinik itu melalui operator 108. Setelah mendapatkannya, aku segera menelepon melalui ponsel Delia dengan harapan aku tidak akan ditolak saat aku menanyakan beberapa hal. Seorang pelanggan loyal seperti Delia tidak akan ditolak oleh merchant sebesar itu.

“Selamat siang, Mbak Delia? Aduh... lama nggak ke sini, ya....” Seperti dugaanku, operatornya langsung kedengaran ramah begitu nomor ponsel Delia muncul di ID-record mereka.

“Siang juga, Mbak... siapa ini?”

“Sisil, Mbak.”

“Eh, Sisil... apa kabar?”

“Baik, suaranya, kok, beda, Mbak? Sakit?”

Aku berdehem, mengiyakan. Lalu aku berlagak menjadi Delia yang sedang kena flu. Menyatakan kehilangan kartu anggota sehingga tidak bisa mengontak terapisku. Perempuan bernama Sisil itu percaya saja, mungkin karena Delia adalah seorang klien besar sehingga harus dilayani dengan baik. Jadi, aku mendapat nomor Dokter Frans Siwabessy darinya. Aku juga menanyakan info terkini seputar perawatan kulit.

“Banyak, sih. Botox, dermabrasi, laser-laser sama chemical, gitu. Cuma yang tindakan bedah, seperti biasa dipegang Dokter Frans di rumahnya.”

“Oh, gitu....Sil, kamu tahu nggak kalau yang bedah sekarang sampai berapa, ya?” iseng-iseng aku bertanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience