BAB 14

Others Completed 8365

Mungkin ia merasa marah.”

“Saya bisa mengerti. Kata Bu Nanik, Luisa dan Tere adalah sekretaris yang hebat,” kupancing ia dengan nama Luisa.

“Bukan hanya hebat, Mbak, tapi juga baik hati. Apalagi Mbak Luisa. Dia itu dermawan dan ringan tangan. Dia sering liburan ke luar kota. Kalau pulang, kami semua diberi hadiah. Para pesuruh kantor senang padanya, karena sering diberi tip. Apalagi kalau dia lembur sampai malam-malam.”

Pak Amran menggelengkan kepala dan menghela napasnya dalam-dalam.

“Karena lembur itu juga, kami terlambat menyelamatkan nyawanya.”

Luisa saat itu bekerja keras menyelesaikan laporan akhir bulan karena Pak Yudha sedang ke Singapura untuk menemani istrinya yang menjalani operasi pengangkatan rahim. Petugas keamanan malam itu merasa curiga karena sampai pukul sepuluh malam Luisa belum juga keluar dari kantor, padahal lampu ruangannya sudah padam.

Dua orang petugas keamanan kemudian berkeliling untuk memastikan keberadaannya. Saat tiba di parkir basement, mereka menemukan mesin mobil Luisa masih menyala. Saat mereka melongok lewat kaca jendela, mereka terperanjat. Luisa terkulai di kursinya masih dengan mengenakan sabuk pengaman. Kedua petugas keamanan itu memecahkan kaca untuk mengeluarkan Luisa dari dalam mobil. Bau gas karbon monoksida begitu menyengat. Luisa sudah demikian lemas. Ia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Aku terdiam lama mendengar tragedi malang yang menimpa kedua sekretaris terbaik yang pernah dimiliki oleh kantor ini. Pak Amran juga tidak berkata apaapa lagi sampai kami tiba di kantor.

“Capek, ya, Ran?” Bu Nanik menoleh ke arahku saat aku masuk.

Aku tersenyum. Serius, capek sekali badanku. Kuletakkan ranselku di atas meja. Ada selembar post it warna merah yang dilekatkan di teleponku. Dari Pak Harso, aku diminta datang ke apartemen sebelum magrib. Kulirik jam mejaku, hampir setengah lima.

Aku minta izin Bu Nanik untuk pulang lebih awal. Yang menyenangkan, ternyata Satya tidak berada di tempat karena sedang mengantarkan ibunya untuk kontrol ke dokter internis. Kebetulan sekali. Aku bisa langsung kabur. Maka, aku bergegas menuju Apartemen Satelite. Aku mengira-ngira apa yang akan diberikan Pak Harso padaku kali ini. Mengingat sikapnya yang helpful itu, aku yakin ia memiliki sesuatu untuk dibagi padaku.

Dan memang, keyakinanku menjadi kenyataan. Lelaki itu sudah berada di meja resepsionis, seperti sedang menungguku. Dengan ramah ia menyapaku, menanyakan kabarku dan perkembangan Delia sebelum akhirnya ia menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuran folio padaku. Dari alamat yang tertera jelas amplop itu ditujukan pada Delia. Dan pengirimnya adalah Heriandi, Surabaya. Mungkinkah ini paket yang dimaksud dalam SMS itu?

“Barangkali Ibu memerlukan,” kembali kata-kata itu memberikan sugesti besar padaku karena aku yakin, ada sesuatu yang penting di dalam sini. Sekali lagi, aku berterima kasih sekali pada lelaki itu.

Dengan tidak sabar kubuka amplop itu di dalam taksi. Saat isinya kukeluarkan, aku terkesiap. Karena aku mendapatkan sepasang buku nikah yang sudah usang, serta sebuah salinan akta kelahiran atas nama Satya Harjo Prayudha. Tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah baik pada salinan akta kelahiran maupun pada buku nikah itu, nama kedua orang tuanya adalah Harjo Prayudha dan Marissa Subyastuti!

Tiga berkas dokumen itu jatuh ke atas pangkuanku. Tubuhku terasa dingin karena pikiranku menjadi terang sekarang. Aku telah menemukan orang yang kucari selama ini. Sosok yang bersembunyi di balik wajah Delia saat ini juga kemungkinan besar pernah menjadi Nadia. Sesungguhnya, mereka adalah orang yang sama. Marissa.

Itu pula yang mampu menjelaskan mengapa ketiga sekretaris itu memiliki hak istimewa karena mereka adalah orang yang sama. Bagaikan seekor ular yang berganti kulit apabila masanya tiba, maka ular itu akan melepas kulit yang lama dan menjadi ular baru dengan kulit baru yang lebih cerah dan indah. Tapi sejatinya, ular itu tetaplah menjadi ular yang lama dan tua. Analogi ular itu adalah Marissa adanya, dan hanya Pak Yudha saja yang mengetahui rahasianya. Taksi itu kuminta memutar balik ke rumah sakit. Aku ingat pada foto lama Stasiun Yogya yang tergantung di ruang kerja Pak Yudha, sama dengan foto yang berada di dalam ranselku. Foto itu mengambil fokus pada nama stasiun dan jam di atasnya. Seolah-olah ada sebuah pesan yang ingin disampaikan dengan cukup membaca nama Yogyakarta dan waktu yang ditunjukkannya. Pesan yang harus diingat dengan baik oleh seseorang. Dan aku yakin, orang yang dimaksud itu pastilah Pak Yudha.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience