“Kita harus bisa segera kembali fokus ke pekerjaan. Dan pastikan Bu Nanik mencari penggantinya dalam minggu ini. Atau….”
“Atau apa?”
“Kau yang akan menggantikan Delia.”
Aku tak mau itu terjadi. Menjadi sekretaris Satya? Tidak. Terima kasih. Aku lebih baik mengundurkan diri. Aku beranjak ke tempat perawat untuk pamit dan mengharapkan mereka menghubungiku atau Bu Nanik, apabila terjadi sesuatu pada Delia. Setelah itu, aku menyusul Satya yang sudah berjalan lebih dulu. Itulah Satya, selalu bergerak cepat. Memberikan kesan terburu-buru. Kami diam sepanjang perjalanan. Aku memang selalu merasa kurang nyaman, bila berada di dekatnya. Mungkin karena ada tekanan dalam diriku. Sebab, di saat yang sama, ia adalah sepupu dan juga bosku. Dan Satya sama sekali tidak pernah menunjukkan perbedaan kapan menjadi saudara dan kapan menjadi bos. Bagiku, ia selalu menunjukkan dirinya bos di mana pun ia berada.
Sehingga, aku merasa ada jarak antara dirinya dengan kami semua.
“Pastikan kau mendapatkan sebuah nama untuk bisa didatangkan, Ran,” ia menatapku dengan pandangan menusuk.
“Tapi... saya harus mengurus gaji staf,” aku memberi alasan.
“Bu Nanik yang akan menanganinya.”
Sungguh keterlaluan. Ia sudah merencanakannya dengan baik sejak awal. Aku menjadi sebal sekali padanya. Aku hanya bisa memperhatikan bagaimana ia menyetir dengan cepat, seperti ingin segera keluar dari urusan Delia yang kini dibebankan padaku.
Kami tiba di depan rumahku pada pukul 21.30. Mbok Nah, pembantuku, segera berdiri dari duduknya di teras. Ia sedang menungguku. Hanya Mbok Nah yang tinggal bersamaku sekarang setelah Mama tiada. Sedang kedua abangku hidup dengan keluarganya masing-masing di Jakarta dan Makassar.
Satya menyapa Mbok Nah dengan ramah saat kami masuk membawakan pekerjaan rumahku ke dalam. Ia memang sudah akrab dengan wanita tua yang sudah seperti keluargaku sendiri sejak belasan tahun yang lalu. Mbok Nah rupanya sudah membuatkan jamu kunir asem untuknya. Menurut ibuku dulu, Satya kecil sempat sakit-sakitan. Ia bisa menjadi lebih baik setelah diberi jamu kunir asem buatan Mbok Nah.
“Sebaiknya kau tinggal dengan Mama saja, Ran. Jangan sendirian di sini,” Satya memandang berkeliling memperhatikan betapa sepinya rumah kami. Aku tidak membalas komentarnya itu. Mbok Nah sudah datang membawakan sebotol kunir asem di dalam kantong kresek. Masih kelihatan dingin karena baru keluar dari kulkas. Satya tersenyum kecil. Kelihatan bagus kalau dia sedang tersenyum, sekalipun sedikit aneh. Lebih baik begitu daripada tegang, dan kelihatan harus meledak saja kepada setiap orang.
Aku mulai mengisi ulang baterai ponsel Delia yang kudapat dari tasnya. Sementara menunggu, aku mulai menyalakan laptop-ku sendiri untuk mengecek e-mail. Karena tidak ada yang penting, aku kemudian mengeluarkan kertaskertas yang dijejalkan begitu saja ke dalam tas.
Kurapikan dan kususun kertas-kertas yang berjumlah sebelas lembar. Menarik sekali karena semua kertas itu sudah berumur lama. Aku segera memilahnya. Tiga lembar kuasumsikan berasal dari kelompok institusi, dua lembar dari kelompok medis, tiga lembar lainnya adalah billing statement kartu kredit, dua lembar foto, dan empat lembar tanda terima dari Bpk. Heriandi masing-masing antara Rp5 juta - Rp10 juta.
Dua lembar dari kelompok medis adalah hasil sebuah laboratorium terkenal di Surabaya, dan yang lainnya adalah fotokopi sebuah resep dari seorang dokter ahli saraf di kawasan Gubeng, Surabaya. Aku bisa membaca tulisan Exelon di situ, sama dengan bekas blister obat yang diberikan Pak Harso. Resep itu dibuat beberapa bulan yang lalu.
Aku beralih pada tiga lembar berkas lain yang sudah kusam kekuningan.
Semuanya adalah salinan ijazah dari Akademi Sekretaris dan Manajemen Dharma Jaya Yogyakarta dalam kurung ASMADJY. Menilik dari tanggal kelulusannya, sungguh luar biasa. Angkatan delapan puluhan! Yang lebih hebat lagi, dua dari tiga nama yang tercetak pada fotokopi salinan ijazah itu cukup kukenal, setidaknya dari nama depan mereka. Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti. Nama-nama mantan sekretaris Pak Yudha dulu.
Share this novel