“Aku bukan raksasa!” jelasnya.
“Aku bilang aku bukan raksasa! Kalian jangan membunuhku! Aku tak akan menyakiti kalian!” jelasnya lagi dengan suara besar parau.
“Bagaimana kau dapat menjelaskannya? Kau manusia serigala! Dirimu membahayakan! Kau pantas dibunuh!”
“Tidak! Aku tak akan menyakiti siapapun. Termasuk Joanna, tidak akan!” dia terus meyakinkan pada mereka. Namun mereka sangat keras kepala.
“Diam, biar kubunuh kau pada hari ini juga, raksasa jahat!”
“Tidakk!”
Sleeb! Bau anyir dari tubuhnya tercium. Panah itu telah menikam dadanya hingga menembus punggungnya. Satu tembakan saja membuat nafasnya tersendat-sendat. Dia sekarat!
“Tidakkk!” teriak seorang gadis berambut panjang sambil menerobos kumpulan orang yang memanah makhluk tadi.
Air matanya meleleh melihat seseorang yang amat dinantinya tergeletak lemah dalam keadaan sekarat dan berlumur darah di dadanya. Raksasa itu memegang batang panah sambil berdesah,
“Joanna,”
“Dalton, kau tahu arti kalimat ini?
‘Dunia bukan hanya untuk dilihat, namun dirasakan. Aku memang tak dapat melihat bagaimana dunia sebenarnya, namun aku dapat merasakan dunia itu lewat gelapnya pandangan mataku. Bukan hatiku.’ Kau tahu apa artinya Dalton? Artinya, aku tak akan merasakan dengan hatiku, rasa dihatiku sudah beku untukmu. Biarkan aku merasakan dunia dengan mataku. Mataku, mataku tak buta Dalton. Itu semua hanya bohong, Dalton. Aku dapat melihatmu, Dalton. Setiap hari. Bahkan wujudmu yang sebenarnya, Dalton. Dalton, mengapa kau tak datang ketika aku akan mengungkapkan seluruh rahasiaku, Dalton? Apakah kau tak cukup yakin? Mengapa jika aku tak dapat melihat kau mau bertemu diriku, Dalton? Apakah aku harus memusnahkan penglihatanku agar kau mau bersamaku, Dalton? Dalton? Dalton! Kau tahu, megapa aku dapat langsung membaca suratmu, Dalton? Itu kerana aku sudah dapat ! Aku tak buta! Aku tak buta! Dalton, Dalton! Aku mencintaimu! Jangan biarkan aku menunggu lagi! Jangan biarkan aku menunggu kematianku untuk bertemu denganmu! Dalton, Dalton!”
Gadis itu beteriak sambil memegang tubuh dan memeluknya – tubuh Dalton raksasa -. Dia menangis melihat seseorang yang amat dicintainya sudah tak pasti untuk dapat melanjutkan hidupnya.
“Hanya kau yang aku cintai, Dalton. Aku tak sanggup tanpamu. Aku tak sanggup. Di sinilah bersamaku, Dalton. Mari kita mulai dari awal lagi.” isak Joanna.
“Maafkan aku, Graci-a.”
Terhenti. Nafas itu telah terhenti. Buka terhenti untuk sementara. Namun terhenti sampai ada saatnya untuk terhembus kembali. Sampai terhembus kembali. Mungkin akan terhembus sampai mereka akan bertemu kembali. Kembali. Dan terhenti. Gerak darahnya terhenti. Tak ada aliran lagi. Terhenti. Detak jantung dan nadinya terhenti. Tak terdengar lagi suara pompaan jantung itu. Terhenti. Beku. Seonggok raksasa yang telah terkaku. Terkulai. Tak akan ada lagi waktu untuk kembali lagi. Kembali membuka mata dan tersenyum. Tak ada lagi buaian tangan besarnya yang akan menghangatkan. Tak akan. Tak akan kembali. Sudah terhenti.
“Dalton! Dalton! Kau meninggalkanku? Kau tega? Dalton, mengapa kau membiarkanku menunggumu lama lagi? Kau tak kasihan padaku? Tak kasihan? Dalton! Dalton!” isak tangisnya.
“Dalton, kau tak mati, kan? Kau masih hidup? Tersenyum! Buai aku! Peluk! Bangun! Ayo! Ayo, Dalton!” katanya sesenggukan.
Dia masih menggenggam erat baju berdarah raksasa itu. Dia masih sesenggukan sambil menahan kesakithatiannya.
Lolongan. Terdengar sebuah lolongan dari arah tebing di sana. Dia dapat melihatnya. Raksasa serigala tengah mengaung di sana di tengah bulan purnama yang besar. Raksasa itu melompat pergi ke arah bulan sampai hanya terlihat satu titik hitam kecil. Joanna menyeka bulir air matanya. Dia dapat melihat seorang lelaki tampan tertidur pulas di hadapannya.
“Aku tahu kau bukan raksasa. Maafkan aku, aku telah membohongimu selama ini. Aku dapat melihatmu, Dalton. Jangan pernah menipu lagi di antara kita, Dalton. Aku mencintaimu.”
Share this novel