3. Awan Mendung di Langit Cerah

Fanfiction Series 177

Baek Hyun berlari dengan semangat menuju sekolah Hana. Kebetulan saat itu jam sekolah berakhir. Baek Hyun yang tidak sabar, menanti Hana dengan gelisah. Ketika gadis yang ia nantikan itu keluar dari gerbang sekolah, Baek Hyun langsung menghampiri dan menariknya keluar dari riuhnya anak-anak yang baru keluar dari sekolah itu.
“Hana, aku dan Suho lulus audisi khusus. Kami akan menjalani trainee tanpa biaya apa pun,” ujar Baek Hyun bersemangat.
“Benarkah?” Hana bersorak kegirangan.
Gadis itu melipat kedua tangannya sembari memejamkan matanya. Air matanya tumpah persis di ujung kelopak matanya. Baek Hyun menggenggam tangan itu lalu menciumnya.
“Kita akan jarang bertemu karena aku akan sangat sibuk dengan latihanku. Jadi, tunggulah aku.”
“Eum ...” gumam Hana sembari menganggukkan kepalanya.
“Akh, sudah kuduga kau pasti di sini.” Suho tiba-tiba datang dengan nafas yang tersengal-sengal. Pria itu berlarian sepanjang jalan hanya untuk menemui Baek Hyun yang pergi begitu saja meninggalkannya setelah pengumuman peserta yang lolos audisi khusus.
“Hei, orang yang merekrut kita itu baru saja menemuiku. Siang ini juga kita harus menemuinya untuk mengambil jadwal kelas kita. Katanya, ada hal yang ingin dia bicarakan juga,” ujar Suho di antara nafasnya yang memburu.
“Dia tidak meminta uang pada kita kan?”
Suho menjawab dengan melambaikan tangannya. Pria itu masih berusaha menetralkan nafasnya. “Tidak,” jawabnya.
Hana mengambil botol minuman dan memberikannya pada Suho.
“Terima kasih,” ucapnya lalu meneguk isinya hingga benar-benar tandas.
“Aku pergi dulu,” pamit Baek Hyun.
Suho mengembalikan botolnya lalu melambaikan tangannya pada Hana. Keduanya berlarian meninggalkan tempat itu.
***
“Apa orang tuamu tahu kau di sini?”
Hana mengangguk sembari menggantikan kompres di kening Baek Hyun. Untuk pertama kalinya pria itu jatuh sakit setelah latihan beberapa hari ini. Jadwal mereka sengaja dipadatkan karena ketika ada kesempatan, ia dan Suho juga mengambil beberapa kelas tambahan yang membuat keduanya hampir tak punya waktu untuk istirahat.
“Bagaimana latihanmu?” Hana mengalihkan pembicaraan.
“Lancar. Ternyata itu tak semudah yang kuduga.”
“Setidaknya kau bersyukur Tuhan menitipkan bekal berupa bakat di tubuhmu. Tidak semua orang memiliki itu.”
“Hana ... jika kelak aku berhasil, aku harap kau akan selalu percaya padaku. Apa pun yang terjadi, jangan sampai hubungan kita berakhir.”
Hana mengangguk.
“Aku serius,” tegas Baek Hyun yang merasa tak yakin dengan sikap Hana yang terlihat cuek saja menanggapi kata-katanya.
“Aku juga serius,” jawab Hana sembari menatap mata Baek Hyun.
Pintu terbuka. Suho baru saja datang dengan gitar di tangannya.
“Syukurlah kau datang. Aku khawatir meninggalkannya sendiri,” ujarnya pada Hana. “Bagaimana keadaanmu?” Tanyanya pada Baek Hyun.
“Sudah lebih baik.”
Baek Hyun bangun lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.
“Ibu memasakkan bubur dan beberapa makan malam. Sekarang makanlah.”
“Sampaikan ucapan terima kasih kami pada paman dan bibi. Oh ya ... esok kami akan pindah ke asrama.”
“Benarkah?” Tanya Baek Hyun dengan mata melebar.
Suho mengangguk.
“Syukurlah ... asrama tentu lebih baik dan nyaman untuk ditinggali. Kalian juga tak perlu jauh-jauh lagi berjalan menuju tempat latihan.”
“Kita harus berusaha keras selama 3 tahun ke depan. Bila kita masih gagal, mau tidak mau kita harus mengundurkan diri. Kita tidak akan punya uang untuk membayar semua biaya selama ikut pelatihan,” jelas Suho.
“Kita lihat saja nanti, entah seperti apa nasib kita 3 tahun mendatang,” kata Baek Hyun sembari tersenyum. Wajahnya menyiratkan sebuah pengharapan akan hari depan yang lebih baik.
***
“Taraaaaaaaa ...” Chanyoel merentangkan kedua tangannya menunjukkan kamar di asrama selama mereka menjalani trainee.
Suho dan Baek Hyun masuk sembari mengamati tempat itu. Keduanya duduk di atas ranjang bertingkat yang terasa empuk dan nyaman. Suho mencoba berbaring, sementara Baek Hyun meraba-raba permukaan tempat tidur mereka yang lembut juga bersih. Chanyoel tersenyum melihat ulah kedua sahabat barunya itu.
“Apakah itu nyaman?” Tanyanya.
Baek Hyun mengangguk.
“Ini jauh lebih baik dari tempat kita yang hanya beralaskan kardus bekas.” Suho menyahut sambil memejamkan matanya.
“Jadi selama ini kau sendirian di sini?” Tanyanya dengan mata terpejam.
“Iya ... tapi sekarang tidak lagi.”
“Ada banyak kasur di sini. Apa akan ada yang datang lagi?” Tanya Baek Hyun.
“Sepertinya begitu.”
Baru saja Chanyoel menyelesaikan kata-katanya, terdengar ketukan di pintu.
“Mungkin itu,” kata Chanyoel dengan mata yang melebar. Suho pun segera bangun.
“Masuklah,” jawab Chanyoel dari dalam.
Orang itu membuka pintu. Kepalanya lebih dahulu muncul mengamati keadaan di dalam. Tak lupa ia tersenyum ramah pada orang-orang di sana.
“Hai ...” sapanya, “Aku Chen. Aku akan sekamar dengan kalian.”
Ia masuk disusul pria lainnya. Seorang pria berkaca mata.
“Halo, Namaku D.O.” Pria itu memperkenalkan dirinya sembari membungkuk sopan.
Selanjut pria terakhir yang masuk begitu tak asing bagi Chanyoel, Suho dan Baek Hyun. Ketiganya terkejut, demikian pula pria bertubuh gemuk yang baru masuk itu.
“Kau?!” Chanyoel menunjuk pria itu. “Bagaimana kau tahu kami di sini?”
Pria itu memandang ketiganya berganti-ganti dengan ekspresi tak percaya.
“Huuuh ...” pria itu membuang nafasnya.
Ia ingat betul bagaimana lelah dan konyol dirinya saat mengejar ketiga orang yang kini dengan sendirinya berada dalam kamar yang sama dengannya itu.
“Waah ... Sepertinya kalian sudah saling kenal.” Chen berkata tanpa memahami suasana tegang di antara ke empat orang itu.
“Tidak ... kami tidak saling kenal. Mereka berlari saat aku ingin berkenalan dengan mereka.”
“Kenapa bisa begitu?” Tanya Chen bingung.
“Coba kalian bertiga jelaskan, kenapa?” Ujarnya pada ke ketiga orang itu, lalu melangkah menuju kasur kosong di sana.
“Apa kasur ini ada yang menempati?” Tanyanya sembari duduk di sana.
Chanyoel menggelengkan kepalanya sambil terus mengawasi pria yang terakhir masuk itu.
“Kau belum memperkenalkan dirimu, kalian juga.” Pria berkaca mata itu angkat bicara.
“Namaku Xiumin.”
“Kau?” D.O bertanya pada Chanyoel yang masih awas dengan teman barunya itu.
“Oh ... aku Chanyoel, ini Baek Hyun, dan yang satunya lagi Suho. Kami dulu berteman hingga sekarang.”
“Sepertinya hanya kita berenam yang lolos audisi khusus. Aku dengar kita sengaja ditempatkan bersama karena lolos audisi khusus,” kata Chen sembari menebarkan pandangan ke teman-teman barunya.
“Berarti kita berenam di sini adalah kumpulan orang-orang berbakat yang menyedihkan,” timpal Xiumin.
“Anggap saja begitu. Meski demikian, kita harus buktikan 3 tahun ke depan keadaan itu akan berubah,” ujar Chen penuh semangat.
“Aku harap begitu,” D.O menjawab sembari melangkah ke kasur yang masih kosong. Chen menyusulnya dan mengambil tempat di atas pada ranjang bertingkat itu.
“Hei Jangkung! Kau yang lebih dahulu di sini. Kasurmu yang atas atau yang bawah?”
“Aku di bawah! Ah tidak aku di atas saja,” Chanyoel seketika mengubah keputusannya. Terlintas dalam pikirannya tempat tidur itu bisa saja jebol karena tubuh besar Xiumin dan ia akan tertindih tanpa sempat menghindar.
Tanpa bicara Xiumin pun mengambil tempatnya di bawah.
***
Dua tahun berlalu ...
7 panggilan tak terjawab dari Hana.
Di sela-sela rasa bahagianya setelah pengumuman debut, dengan hati yang berdebar-debar Baek Hyun mencoba kembali menghubungi Hana. Hanya beberapa saat menunggu, terdengar suara lirih Hana yang tak disadari Baek Hyun.
“Hana, Hana, kau di mana? Ada kabar baik untuk kita. Aku dan Suho akan debut. Kami akhirnya debut. Kami akan benar-benar menjadi artis sekarang. Katakan kau di mana. Aku dan Suho akan menjemputmu sekarang. Ayo kira rayakan bersama.” Baek Hyun berkata penuh semangat.
“Oh ... iya ... kalau begitu selamat.” Suara Hana terdengar sendu diiringi isak tangisnya.
“Hana ... jangan menangis lagi. Katakan kau di mana. Aku dan Suho akan menjemputmu ke sana.”
“Maaf ... aku sepertinya tidak bisa ikut.”
“Oh iya, aku lupa. Kau bilang ibumu sakit bukan? Bagaimana keadaannya? Kalau begitu kami akan ke sana menjenguk. Tolong tanyakan pada mereka. Mereka mau makan apa? Aku akan membelikannya.”
Isak tangis Hana terdengar makin keras.
“Hana ...?”
“Mereka ... mereka tak bisa ...”
“Hana ... apa maksudmu?”
“Mereka sudah pergi. Mereka berdua ... mereka berdua ...” Hana terbata-bata. “Mereka pergi meninggalkanku. Aku tidak akan bersama mereka lagi selamanya. Aku sendirian ...” Hana menangis sejadinya.
Seketika tubuh Baek Hyun membeku. Tak terasa air matanya pun mengalir di pipinya.
“Ada apa?” Suho tiba-tiba muncul di belakang Baek Hyun.
Pria itu menoleh menatap Suho. “Orang tua itu. Ayah dan ibu angkat Hana ... mereka ... mereka meninggal.”
“Apa?! Kedua-duanya? Bagaimana mungkin?”
Tanpa menunggu lebih lama lagi Baek Hyun segera berlari dari sana disusul Suho yang juga hampir tak percaya mendengar kabar duka itu. Perlahan ... suasana di kota mulai meredup. Mendung tebal menggantung di seluruh langit kota itu dan tak lama hujan pun turun dengan amat derasnya.

Catatan : Orang tua angkat Hana meninggal hampir bersamaan. Ibu angkatnya meninggal setelah lama sakit, dan ayahnya meninggal setelahnya karena mendapat serangan jantung ketika mengetahui istrinya pergi untuk selamanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience