---
[Scene: Di luar kafe, malam hari. Nana baru aja nutup rolling door sambil nyeret tas selempangnya. Rayan nunggu di pinggir jalan sambil sok cool, tangan kanan di kantong.]
Rayan:
Yuk, jalan.
Nana: (jalan pelan ke arah dia, curiga)
Lah, kamu kesini naik apa?
Rayan: (nyengir)
Naik taksi.
Nana: (berdiri, silang tangan)
Terus... kamu mau aku jalan-jalan naik taksi gitu? Habis kerja, capek, terus duduk di kursi belakang kayak bos, bayar mahal-mahal?
Rayan: (angkat alis, gaya usil)
Ya… kan bisa sekalian ke OYO, hehe.
Nana: (diam sejenak. Lalu—)
KU GAMPAARRR NI ANAK.
Rayan: (ketawa sambil mundur dikit)
Woy woy! Bercanda! Bercanda! Maksud gue tuh... jalan aja. Ambil angin, biar lo gak stres. Gue juga butuh healing, tahu nggak?
Nana: (memandang dia dengan tatapan skeptis)
Oke. Tapi syaratnya satu.
Rayan: (nunduk dikit)
Apa tuh?
Nana:
Kita naik motorku. Taksi mahal. Lagian, aku gak yakin kamu tahu jalan ke mana selain ke tempat ribut.
Rayan: (mata berbinar)
Naik motor kamu? Yang warna merah itu? Wah... gue dibonceng dong?
Nana:
Ya iya lah. Mau nyetir gimana? Tangan lu aja dibalut kayak sosis.
Rayan: (senyum nakal)
Wah... gue dibonceng Nana. Rasanya kayak menang undian.
Nana: (buka helm, lempar pelan ke Rayan)
Ssst. Naik. Ngegas duluan baru bisa nyombong.
[Rayan pakai helm dengan satu tangan sambil nyengir. Mereka naik motor, lalu jalan pelan menyusuri jalan kota yang mulai sepi.]
Rayan: (dari belakang, pelan)
Na...
Nana:
Hm?
Rayan:
Gue suka cara lo marah. Bikin jantung gue nggak bisa diem.
Nana: (senyum kecil, tapi jawab ketus)
Gue suka cara lo lebay. Bikin gue pengen ngerem mendadak.
---
Share this novel