Hari ini Raihan ulang tahun. Dia adikku, panggilannya Re, karna aku lebih suka menyebut Rehan dibanding Raihan. Umurnya 12 tahun sekarang, kelas 1 SMP IT di pondoknya. Sebulan lalu saat mama mengunjunginya, Re meminta mama membuatkan nasi kuning untuk dibagikan ke teman-teman santri nya di hari ulang tahun.
Jam tanganku menampilkan angka 16:30. Mama memarkirkan mobilnya di parkiran khusus kunjungan wali santri. Keluar sebentar menghampiri meja tamu untuk mendaftar. Mama terlihat berbincang-bincang dengan petugas penjaga tamu disana. Setelah 5 menit, mama kembali menghampiri mobil ditemani 2 mas santri. Mereka berdua mengenakan koko biru, tapi berbeda warna satu sama lain, sarung hitam, peci hitam, dan mengenakan rompi hitam bertuliskan nama pondok mereka di belakangnya. Aku bergegas memasang pasminaku di kepala. Memasang jarum pentul di leher seperti perempuan-perempuan biasanya. Ini pondok pesantren, jadi sudah sepantasnya mengenakan pakaian yang menutup aurat. Mereka sampai di mobil dan mulai mengeluarkan 6 kantong keresek besar. 5 kantong kresek berisikan nasi kuning untuk dibagikan pada para santri dan 1 kantong kresek besar berisi kebutuhan Re juga kado ulang tahunnya. Ku ambil tas kecilku lalu beranjak turun untuk membuntuti mama. Saat aku sudah sempurna berdiri di luar dan akan menutup pintu, salah satu mas santri yang sudah menenteng 3 kresek besar tersenyum kearahku sambil berkata "mari masuk mbak". Aku yang tak biasa berbicara dengan santri hanya membalas senyum dan menjawab "iya" lalu melangkah mengikuti mama dan 2 mas santri itu dari belakang.
Kami masuk melewati pintu gerbang yang cukup lebar, mungkin 2 mobil kecil bisa masuk secara bersamaan, jaraknya mungkin sekitar 50 meter dari tempat parkir tadi. Setelah melewati gerbang, kami di sambut tatapan mas-mas santri yang lalu lalang. Sepertinya mereka baru selesai mengaji. Aku mempercepat langkah agar menyejajari mama.
5 menit berjalan, kami sampai di sebuah gazebo samping asrama. Mama meminta tolong agar 5 kresek itu dibagikan pada semua anak-anak santri sedangkan 1 lagi disimpan di gazebo saja, dan tak lupa meminta tolong untuk memanggilkan Re lalu berterimakasih.
"Baik-baik ya anak santri" celetuk mama.
"Iya, kan mereka dididik disini". jawabku ngasal sambil celingak celinguk melihat lihat apakah Re sudah muncul.
"Kamu mau ga nikah sama yang bantu kita tadi?".
Tak ku duga mama akan melontarkan pertanyaan itu.
"Nanay kan masih SMA ma, lagian mereka mana mau sama orang awam kayak Nanay" jawabku datar.
"Jodoh gaada yang tau sayang, siapa tau diantara mereka ada yang kepincut sama anak mama yang cantik ini" mama malah menggodaku.
"Apasi mama ahhh" elakku.
"Nah tu dia Re" aku menunjuk adikku yang turun dari lantai 2, masih membawa kitab. Sepertinya baru keluar kelas.
Penampilannya bringsut, pecinya miring, bajunya lecek, sandal jepitnya berbeda warna kiri dan kanan. Aku meringis menahan tawa saat Re mendekati kami. Sekitar 1 meter lagi Re berjalan, dia tau aku ingin menertawakanya.
"kalo mau ketawa ya ketawa aja, jangan ditahan" dia protes melihatku menahan tawa. Mengahampiri, meraih tangan mama sambil cengengesan karna tau mama akan ngomel. Lalu menyalamiku.
"Sendal kamu kemana? itu punya siapa? Baru juga mama belikan bulan lalu. Masa iya udah ga muat". Mama mengomel bahkan sebelum menanyakan kabar.
"hehehe, ilang ma. Ini pinjem punya temenenya Re" jawab Re dengan cengengesan.
"Mama udah bagiin nasi kuningnya ya, punya Re mana?" anak ini mengganti topik sekarang, mengalihkan pembicaraan agar omelan mama tak jadi panjang.
Mama mengeluarkan 1 kotak makan berisi nasi kuning dan lauk pauknya untuk dimakan bersama.
Kami mengakhiri pertemuan pukul setengah 6. Mama memberikan kado dan beberapa keperluannya, lalu mengambil 4 lembar uang 50ribuan untuk bekal Re selama 1 bulan. Sebelum pulang ke kamarnya, Re menyalami kami. Pada saat Re menyalami ku dia berjinjit mendekati telingaku membisikkan sesuatu "ada salam dari ustadz Ali".
"Hah siapa?" tanyaku heran.
Re tak menjawab apapun, balik kanan melambaikan tangan pada mama.
Aku lalu membereskan kotak bekas makan kami sambil berpikir, kata Re tadi siapa ya? Ali? Siapa Ali? Aku belum pernah berkenalan dengan siapapun disini. Sudahlah, untung mama tadi gak dengar. Kalo dengar, aku bisa digoda sampai rumah nanti.
Mama mengantarkanku ke parkiran dan menitipkan tasnya karna harus melunasi uang bulanan Re dulu. Mama hanya membawa dompetnya ke ruang bendahara.
Sudah mau maghrib, tapi parkiran ini malah semakin ramai, banyak wali santri yang mengunjungi anak-anaknya hari ini. Tidak heran, ini kan hari libur.
Aku menunggu mama di samping mobil, enggan masuk. Karna dalam bayanganku, sendirian dalam mobil akan terasa horor sekali, apalagi ini hampir maghrib. Maklumlah, terlalu banyak membaca novel horor. Aku menyukainya, tapi tak pernah ingin merasakan atau melihat hal-hal berbau horor itu meski hanya lewat depan mata. Aku tak akan pernah mau walau diberi 1 karung uang 100 rupiah an.
Parkiran ini penuh, dari jauh aku lihat ada satu mobil yang akan parkir, tapi sudah taada lagi tempat. Hanya tinggal jalanan yang cukup untuk dilewati 1 mobil.
Dari meja tamu, ada mas santri yang tadi datang menghampiriku. Aku tau karna tak ada lagi orang disini. "Maaf mbak, lagi nunggu ibu ya?" tanyanya.
"Ehh, iya mas lagi nunggu" jawabku.
"Maaf nih mbak, boleh ga mobilnya di parkir lebih dulu keluar, soalnya ada wali santri lain yang ingin masuk"
Gila, aku kan gabisa nyetir, apalagi parkirin mobil.
"Mmmh,, mama saya kayaknya masih lama deh mas, saya juga gabisa nyetir. Masnya bisa?" tanyaku.
"Bisa mbak, boleh saya saja?" usulnya.
Aku mengiyakan, lalu merogoh kunci mobil dalam tas mama. Memberikannya.
Aku berjalan menjauhi tempat parkir. Menunggu mas nya di luar.
****
Share this novel