Pena Siapa?

Romance Series 1531

Pukul setengah 7. Senin ini mama mengantarku ke sekolah karna motorku akan di bawa service oleh mang Udin, tukang kebun dirumah kami.
Mama menghentikan mobilnya tepat di gerbang sekolah. Sebelum turun mama mengambil sebuah pulpen dan menanyakan sesuatu.

"ini punya siapa?" tanya mama.

"gatau ma, Nanay juga baru liat" jawabku sambil mengambil pulpennya.

"kamu bawa aja, pake. siapa tau masih bisa" usul mama.

Langsung ku masukkan pulpen itu pada saku rok, lalu berpamitan pada mama, beranjak turun.

****

Upacara hari ini rasanya melelahkan, walaupun hanya berdiam diri di lapang. Beberapa siswa juga ada yang pingsan, mataharinya pagi ini memang sangat menyorot. Ditambah lagi amanat pembina upacara kali ini, bapak wakil kepala sekolah, mungkin lebih dari setengah jam beliau memberikan amanat. Aku berani bertaruh, satu sekolah pasti mendengar di menit-menit pertamanya saja, sisanya digunakan untuk melamun, sedikit mengobrol, dan aktivitas-aktivitas kecil lainnya.

Akhirnya, siksaan panas ini berakhir juga, setelah sampir 1 jam kami semua, 1 sekolah berdiri dilapangan. Mengikuti upacara sekhidmat yang kami sebagai siswa bisa. Rasanya lelah, dan gerah body. Untuk ketek ku tak terlihat basah dan bau.

Tak ingin membuang waktu, berleha-leha di tengah lapang, aku langsung bergegas masuk kelas, duduk di kursi ternyamanku. Mengambil sebuah buku dalam tas, mengibas-ngibaskannya pada wajah, berharap gerahnya berkurang. Beberapa menit berlalu, seorang guru masuk ke kelas untuk mengawali pelajaran. Pelajaran pertama, Kimia. Oh tuhan, kenapa harus ada kimia di awal hari, didampingi guru yang sudah sepuh, ibu Euis namanya. Menurutnya, pelajaran kimia di awal lebih baik daripada menjelang pulang, karna jika belajat kimia menjrlang pulang, takan ada yang berkonsentrasi pada pelajaran, yang ada berkonsentrasi pada waktu, detik-detik menuju alam bebas. Pulang kerumah.

Aku mengeluarkan buku kimia dari tas, untung hari ini taada tugas. Ingat, tadi pagi mama memberiku lulpen, aku merogohnya dari saku rok. Pulpennya masih ada. Aku akan menggunakannya. Ririn, teman sebangku ku tak sengaja melihat pulpen itu dan langsung mengambilnya.

"yaampun Nay, punya pulpen begini?" tanya Ririn berbisik.

"itu nemu di mobil tadi ah berisik". jawabku sambil merampasnya lagi dari Ririn.

Ririn malah mengambilnya lagi sambil memutar-mutar pulpennya. Melihat sesutu didalamnya.

"ada namanya" Ririn berbisik lagi.

Entah mengapa aku langsung penasaran saat Ririn memberi tahu ada namanya. Langsung ku rampas pulpen itu lagi. Aku dan Ririn sampai tak memperhatikan bu Euis mengajar saking karna membahas pulpen ini. Kami mulai melihat nama yang ditulis di kertas dan di selipkan diantara selang tinta dan cangkang pulpen di dalam.

'M Ali' dan disampingnya ada tanda Love juga tertulis huruf 'N'.

Melihat nama itu, aku malah melamun memikirkan perkataan adikku kemarin 'ada salam dari ustadz Ali'. Namanya sama. Sepertinya ini punya mas santri yang kemarin membantu memarkirkan mobil.
Ririn menyenggol tanganku, membuyarkan lamunan. Memintaku fokus melanjutkan pelajaran, mendengarkan bu Euis menjelaskan.

Jam pertama habis dengan penjelasan bu Euis. Di jam ke dua, bu Euis memberikan soal di papan tulis untuk dikerjakan. Aku merogoh tas, mencari-cari apakah ada pulpenku disana. Tapi taada, apa pulpenku hilang didalam tas, atau tertinggal di atas meja di kamar. Aku berbisik pada Ririn untuk meminjam pulpen, tapi Ririn menjawab "Aku cuma bawa satu, kamu pakai saja yang itu" menunjuk pulpen yang masih tergeletak di atas meja kami. Aku terpaksa menggunakannya karna taada pilihan lagi. Semoga mas santri itu tak marah pulpennya aku pakai.

Jam istirahat aku mengeluarkan semua isi tas. Mencari-cari, apakah pulpenku nyelip di salahsatu buku. Taada, padahal aku yakin tadi pagi memasukannya. Ririn yang sebal melihatku memenuhi meja dengan isi tas berkata "udah pake aja yang tadi, nanti beli lagi buat gantinya". Lalu melanjutkan bertanya
"Ohh iya, nama adekmu Ali Nay?"

"Raihan" jawabku singkat sambil merapihkan isi tasku yang ku hambur-hamburkan sebelumnya.

"Lho, ko ini namanya Ali, kirain punya adekmu" bingung Ririn.

"ini kayaknya punya mas santri yang kemaren" jawabku.

"kemaren?" tanya Riri makin bingung.

Aku duduk setelah selesai memasukkan semua isi tas ku tadi dan mulai menjelaskan. "Kemaren sore aku sama mama ngunjungin adekku ke pondok......." Aku menjelaskan panjang lebar kejadian kemarin sore, Ririn mengangguk ngangguk lalu mulai berbicara lagi.

"Aku punya sodara juga yang mondok. Nah ini pulpen sama persis sama pulpen yang suka dilake sodaraku itu. Katanya ini biasa dilapakai santri buat maknai kitab. Tapi bisa juga di pakai buat nulis biasa, dan harganya berlipat-lipat dari pulpen yang sering kita pakai. Mungkin sekitar 25ribu. Sedangkan yanh biasa kita kakai yang 3ribuan". jelas Ririn dengan tawa di akhir kalimatnya.

Aku terkejut Ririn menyebut harganya berlipat-lipat. Jika begitu ini pulpen memang barang berharga, harus ku kembalikan. Lebih tepatnya harus ku ganti dengan yang baru, karna isinya pasti akan berkurang banyak, dan aku akan memakainya sampai jam terakhir karna taada lagi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience