Tiga

Drama Series 807

Brakk

Suara benda terjatuh terdengar membahana. Aku menoleh, melihat Hira menjatuhkan tasnya. Wajahnya dipenuhi peluh yang bercucuran, hening waktu terasa tak berputar sedetikpun, terpaan angin membasuh wajah. Dari kursi panjang yang aku dudukki, aku bisa melihat Hira terlihat kelelahan, deru napasnya memburu, itu adalah hal yang lumrah terjadi jika seseorang naik ke rooftop ini. Bangunan 4 lantai sekaligus bangunan tertinggi di sekolah.

"Ternyata gue nggak salah menduga bahwa lo berada di sini." Hira berucap memecah denting yang kian membeku, aku menghembuskan napas.

Ini baru hari pertama Hira masuk ke sekolah dan dia sukses merusak ketenangan hariku. Bel pulang sekolah sudah berbunyi 2 jam yang lalu, aku pikir setelah di hukum Pak Gun dan kegiatan belajar mengajar selesai, aku akan meneruskan hari-hari tenangku seperti biasa, tetapi sekali lagi Hira sukses merusaknya.

"Lo ngapain ke sini? Nggak ada satu orang pun yang di perbolehin naik ke rooftop!" Aku gatal tidak bisa menahan emosiku yang mengebu-gebu.

"Terserah gue mau pergi ke mana pun."

"Tapi di sini bahaya, lo bisa di ganggu setan!" Aku menatapnya, sorot mataku memancarkan kebencian.

Hira malah tertawa, menganggapku sedang bergurau. "Sayangnya gue susah percaya sama gosip murahan kayak gitu, lo justru sering ke sini, dan sekarang gue liat keadaan lo baik-baik aja kan? Nggak ada setan yang berani nakut-nakutin anak pemilik sekolah ini." Hira duduk di kursi panjang yang aku duduki. Aku masih sebal padanya, tak mau mengucapkan sepatah katapun lagi padanya, tak mau lagi Hira menganggu ketenanganku. "Saila Saluna. Nama yang bagus, bisa diarti kan nama lo itu ; Sinar Matahari pada saat Matahari terbit. Lo lahir 13 April 2002. Harusnya lo bisa bersinar kayak nama lo, bukan malah ngurung diri lo di rooftop ini."

Demi apapun, mengapa Hira mengetahui tentang diriku? Arti namaku, tanggal lahirku, serta kebiasanku. "Tanyain apapun yang pengen lo tahu tentang gue, karena gue tahu apapun tentang lo." Seperti tahu apa yang aku pikirkan Hira berujar, senyumannya tercetak indah, tetapi matanya tak berhenti mengamati pemandangan di depannya. "Sekarang gue tahu kenapa lo suka tempat ini." Dia bergumam.

Aku sedikit rindu mempunyai teman yang bisa menemaniku dalam keadaan senang dan susah, tetapi otakku terlalu egois, menganggap bahwa semua orang di dunia itu tak bisa di percaya, dan hanya kepada hatikulah aku menyimpan baik-baik suatu perasaan yang bisa kapan saja meledak.

"Kenapa?" Suaraku tercekat, aku cukup takjim berada di samping pria asing ini, aku merasa ada yang berbeda dengan Hira, aku tidak tahu apa itu, tapi aku merasa mengenalnya, sikap serba tahunya mengingatkanku pada satu orang di masa lalu.

"Karena hanya ada dua kemungkinan kenapa seseorang menyukai hidup sendiri dan membenci kehidupan berdampingan dengan orang lain." Aku mengamati Hira dari sudut mataku, dia menyisir rambutnya dengan tangan kirinya. "Pertama karena dia merasa nggak ada yang suka dengan keberadaannya dan kedua karena dia ngerasa nggak nyaman hidup bersama orang lain, tapi hal itu wajar-wajar saja, mungkin dia belum bisa menemukan orang-orang yang cocok untuk menemaninya."

"Kenapa lo tahu kehidupan gue?" Aku bertanya, harap-harap cemas menunggu jawaban. Boleh jadi esok lusa Hira akan membocorkan rahasiaku bahwa aku adalah anak dari pemilik sekolah ini.

"Saila Saluna orang itu adalah seorang anak yang suka bolak-balik pergi ke rumah sakit, menunggu ibunya yang jatuh sakit. Setiap hari anak itu selalu merengek jika tidak di belikan coklat oleh ayahnya. Dia sebenarnya bukan anak yang cengeng, hanya saja dia selalu bersikap seperti itu agar ayahnya peduli padanya. Ibunya mengidap penyakit yang tidakku ketahui, Ayahnya dengan sepenuh hati selalu merawat istrinya. Aku mengenal anak itu, saat itu usianya 6 tahun, ibunya meninggal, anak itu bersedih, seorang anak lelaki prihatin padanya, dia tentu tidak mempunyai coklat kesukaannya, tapi lelaki itu memberikan sebuah liontin, liontin indah dengan bandul butiran Dandelion."

Aku menggelengkan kepala, mulai panik, tiba-tiba bayangan masa lalu itu kembali lagi dalam otaknya, anak laki-laki itu, senyumannya. "Lo sebenernya siapa?!" Setengah berteriak, aku beranjak berdiri dari duduk, menunjuk wajahnya.

"Lo tentu tahu siapa anak laki-laki itu."

Aku mengatur derus napas yang tak beraturan, aku tak tahu harus senang atau sedih karena aku dapat bertemu dengan pria itu kembali, saat itu usiaku 6 tahun, mengetahui namanya tak penting untukku, yang terpenting adalah sebuah rasa yang tak bisa diratapi asa, pria itu adalah cinta pertamaku.

***

"Hari itu panjang sekali, rasanya amat lama menunggu, bertahun-tahun. Saat aku mulai cemas tidak akan pernah melihatmu lagi, Mama tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke Bandung. Akhirnya di sinilah aku menatap pancaran sinar Matahari yang mengilaukan mata, aku sempat berpikir mungkinkah aku tak akan bertemu dengannya lagi, tetapi aku keliru. Tuhan jelas mempunyai skenario yang indah di baliknya." Aku menganggukan kepala, kembali menyerka air mataku yang jatuh, bernostagia dengan masa lalu selalu membuatku bersedih.

Hira tertawa. "Kamu masih saja cengeng." Aku tersenyum, Hira merubah panggilan Lo-Gue dengan Aku-kamu. Bukankah itu salah satu perlakuan yang manis? Aku harap kehadiran Hira dalam hidupku adalah untuk memberikan warna dalam itu, itu hanya keinginanku, sebelum Hira mengakatakan bahwa aku hanya adik kecilnya.

"Bisa kamu jelasin kenapa kamu bisa tahu keberadaanku?"

Hira tertawa. "Mudah saja, Daddymu dengan senang hati memberi tahuku, tanggal lahirmu, statusmu, kebiasaanmu." Aku mendengus kesal, kecewa. Aku kira Hira mengawasiku, sebabnya dia mengetahui semuanya, aku hanya ingin berandai-andai menjadi orang yang spesial di matanya, sebentar saja. Biarkan aku menikmatinya.

"Itu saja?"

"Kamu harus tahu, aku selalu merindukan seorang perempuan berusia 6 tahun itu, rambutnya yang di kuncir dua, tangannya memegang buku serta coklat, manis sekali. Aku yakin dia akan menggunakan kaca mata setelah dewasa. Tetapi lagi-lagi aku keliru, perempuan itu tidak menggunakan kaca matanya, boleh jadi perempuan itu melupakan hobby membacanya itu, padahal aku suka jika dia melakukan hal yang positif." Hira memperbaiki posisi duduknya. "Pertemuan kita hanya satu kali, saat aku memberimu liontin Dandelion. Tetapi seminggu sebelumnya aku suka memperhatikanmu, saat itu aku menunggu Papa yang kecelakaan, melihatmu tersenyum menyembuhkan luka di hatiku, tetapi saat melihat senyumnya redup, hatiku berdesir sakit, aku memberanikan langkah mendekati perempuan itu, memberikan Liontin berbandul Dandelion itu padamu, esoknya Mama marah, itu liontin kesayang Mama." Hira menjeda ucapannya, menghela napasnya panjang. "Aku senang karena hari ini aku bisa kembali di pertemukan dengan seseorang yang sudah aku anggap sebagai adik kecilku sendiri." Hira mengacak-ngacak rambutku, aku hanya tersenyum tipis sekali.

Bersambung...

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience