Enam

Drama Series 807

"Sa aku bantu ya." Aku menoleh kearah Hira, menggeleng.

"Enggak usah, aku bisa sendiri, kemarin kamu sendiri yang bilang bahwa  aku anak yang kuat, aku harus buktiin sama kamu bahwa aku anak yang kuat!"

Hira terlihat menghembuskan napasnya. "Kamu tak akan kuat Saila, harusnya kamu tidak sekolah hari ini." Tak mendengarkan ucapan Hira, aku terus menyeret langkahku dengan sabar, tangga menuju rooftop ini seperti tidak ada habis-habisnya meski setahun belakangan setiap hari aku selalu pergi ke rooftop ini, aku memilih untuk duduk sejenak.

5 menit yang melelahkan berlalu.

Hira benar aku tidak akan kuat, naik ke rooftop dengan kaki seperti ini. Aku menoleh ke belakang, Hira memang mengikutiku di belakang, hanya beberapa meter dari kediamanku sekarang.

"Sudah aku bilang-"

"Sudahlah Hira, aku sedang tak mau mendengarkan ceramahanmu itu." Aku langsung memotong ucapan Hira, sebelum nantinya dia berkata kemana-mana.

"Kamu yakin mau ke rooftop?" Tanya Hira, raut wajahnya terlihat serius.

Aku mengangguk. "Memangnya kenapa? Kamu tidak mau membantuku?"

"Bukan begitu, tubuhmu itu berat. Ini masih di lantai 2 rooftop ada di lantai 4. Aku takut tidak kuat menahan berat tubuhmu itu."

"Enak saja, aku tidak seberat apa yang kamu kira."

"Kemarin aku sudah membopong tubuhmu, jadi aku tahu sekali kalau tubuhmu ini berat sekali."

"Aku tidak seberat itu Hira!" Aku berseru tertahan, bel pulang telah berbunyi 30 menit yang lalu, jadi aku bebas berteriak sekencang apapun, tidak akan ada orang yang mendengarnya.

Hira tertawa. "Jika kamu mau ke rooftop, pergi sendiri. Aku tidak mau membantu orang yang keras kepala seperti dirimu."

Kambuh lagikan penyakit menyebalkannya. Aku mengembuskan napasku, tidak suka sekali dengan sikap Hira yang menyebalkan seperti itu, aku heran mengapa Hira bisa tiba-tiba berubah baik dan tiba-tiba berubah menyebalkan, aneh bukan?

"Hira, aku ingin sekali melihat sunset di rooftop." Aku memohon padanya berharap hatinya tersentuh untuk menbantuku, aku tidak akan seperti ini jika Hira tak mengajakku ke pasar malam, kemarin.

"Kamu bisa melihatnya di tempat lain Sa, masih banyak tempat yang belum kamu kunjungi, jangan hanya terpaut tentang rooftop sekolah saja, buka mata kamu Sa, dunia ini tak sesederhana kelihatnya, banyak sekali tempat indah yang perlu kamu kunjungi agar kamu lebih bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan padamu."

Aku terdiam mendengar kata-kata bijak yang keluar dari mulut Hira, Hira benar, tetapi jauh di dalam lubuk hatiku aku takut, takut melupakan wajah Mom, aku takut kebahagiaan itu membuatku lupa pada senyuman, serta wajah damai Mom.

"Aku tidak bisa Hira."

"Kenapa? Sa, aku berharap kamu bisa berubah menjadi anak perempuan yang selama seminggu itu aku perhatikan, senyumnya, tawakan, perilakunya, semuanya manis sekali. Aku hanya ingin kamu kembali menjadi dirimu sendiri, sebelum aku melihatmu menangis karena kepergian ibumu."

Hening setekita, angin terasa berhembus menampar pipi, andai saat itu Dad membiarkanku melihat wajah Mom pasti semua ini tak akan terjadi, aku suka sendiri, karena saat sendiri aku bisa lebih fokus pada bayangan masa lalu bersama Mom, sungguh kenangan bersama Mom masih teringat jelas di mataku, Mom aku merindukanmu.

"Hira, aku-"

"Apakah lututmu sudah di urut?" Tanya Hira mengalihkan topik, aku tahu persis bahwa Hira melihat setetes air mata yang turun dari mataku, aku segera menyerkanya.

"Belum Hira, aku-"

"Aku akan membawamu ke tukang urut Sa, aku takut kakimu terkilir."

"Aku takut Hira."

"Tidak akan apa-apa Sa, semuanya akan baik-baik saja."

"Itu pasti sakit sekali Hira."

"Aku akan selalu berada di sampingmu Sa, aku berjanji."

***

"Kamu serius tega membawaku kesini?" Aku bertanya, Hira dengan santai mengangguk, menurunkan tubuhku yang dia bopong, mengetuk pintu rumah seorang wanita paruh baya, Mak Inah. Tukang urut yang Hira ceritakan sangat hebat dalam masalah pijat memijat.

"Assalamualaikum Mak." Salam Hira pada wanita paruh baya itu, wanita itu tersenyum, sepertinya dia senang sekali melihat kedatangan Hira.

"Walaikumsalam, ayo masuk Nak Hira."

Kami berdua masuk kedalam rumah Mak Inah, rumah itu terlihat sederhana dari luar, tetapi saat aku masuk kedalamnya, aku terperangah, ribuan buku memenuhi setiap dinding rumah.

"Kamu tidak salah membawaku kan?" Aku bertanya dengan suara pelan pada Hira, Mak Inah sedang menyiapkan minuman untuk kami berdua. Hira menggeleng santai. "Ini lebih pantas di sebut perpustakaan dari pada rumah tukang urut."

Beberapa menit dalam keheningan, akhirnya Mak Inah datang dengan dua gelas teh manis dan beberapa cemilan, Mak Inah terlihat baik sekali pada kami, aku jadi malu, karena awalnya aku merasa takut.

"Jadi ada apa kau menemui wanita tua ini Hira? Mau pamer pacar cantikmu itu Nak?" Tanya Mak Inah mengoda, rasanya pipiku memanas mendengar kalimat Mak Inah.

Apakah kami terlihat seperti pacaran?

"Mak Inah bisa saja, Mak Inah tahu sendiri kalau Hira tak pernah mempunyai pacar. Ini Saila teman Hira, kemarin dia terjatuh, mungkin kakinya terkilir."

Mak Inah sedikit terkekeh pelan, dia dengan telaten melihat lututku, mengusapnya beberapa kali. "Ini memang sedikit sakit, tetapi kamu harus menahannya."

Aku mengangguk. "Ahh." Aku berteriak kaget saat lututku di urut oleh Mak Inah, Hira menatapku.

"Hanya sakit sedikit, sebentar lagi kamu pasti akan bisa berjalan seperti biasa."  Mak Inah tersenyum, tangannya masih mengusap-usap lututku, aku kembali meringis.

***

"Sepertinya kamu kenal sekali dengan Mak Inah." Aku bergumam, Hira tidak lagi membopong tubuhku, dia hanya menuntunku, takut-takut aku jatuh kembali, aku memang orang yang ceroboh.

"Dia tetanggaku, rumahku tepat di samping rumahnya, cat putih, dengan pohon beringin besar di depannya."

Aku menoleh, rumah itu mempunyai 2 lantai, rumah itu jauh lebih besar dari pada rumah Mah Inah. "Sungguh?"

Hira mengangguk. "Tapi hari ini bukan saatnya aku membawa kerumah itu, aku akan membawa kamu kesuatu tempat."

"Kemana?"

"Nanti kamu akan tahu sendiri, saat itu aku yakin kamu pasti akan berterima kasih padaku."

"Pede sekali, palingan kamu akan membawaku ke pasar malam lagi, kalo kesana aku tak mau Hira. Belum sembuh kakiku ini kamu sudah mau membuatnya sakit kembali."

"Jangan berpikiran negatif Saila, aku tidak akan mengulangi kesalahanku."

"Ucapan pria memang selalu begitu, manis di awal pahit di belakang."

"Hei, tidak bisakah kamu percaya padaku satu kali ini saja?"

"Tidak bisa Hira, aku tidak dapat percaya pada siapapun."

"Saila dengarkan aku."

"Ada apa Hira? Mengapa kamu menatapku begitu?"

"Kamu harus percaya padaku, bukankah dari awal aku sudah menganggap aku sebagai kakakmu?"

Kakak? Kembali kalimat itu membuat hatiku berdesir sakit, Hira hanya menganggapmu adik. Bangunlah Saila!

Harusnya aku tidak pernah mempunyai perasaan ini.

Bersambung.....

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience