Satu : Misteri Rooftop Sekolah

Drama Series 807

Saila pulanglah, Daddy menunggumu di rumah.

Getaran yang bersumber dari handphoneku itu langsung menghancurkan lamunan. Sebuah pesan dari Daddy masuk, aku menghembuskan napas pelan.

Aku yang duduk dikursi panjang rooftop sekolah melemparkan handphone kedalam tas. Sinar matahari perlahan mulai meredup, aku mengamati hamparan langit sore dengan tenang, pesan dari Daddy tak berperanguh besar untukku. Semburat orange akhirnya muncul, aku sedikit mengunyingkan senyuman, aku suka sunset seperti ini, ketika semua keindahan langit terhampar sempurna di depan mataku, membuatku semakin bersyukur akan hidup.

Aku kembali tersenyum, suara adzan magrib mulai berkumandang diantara sinar matahari yang kian meredup, bulan menganti posisi matahari untuk menghias langit. Aku tahu, ini bukanlah pertama kalinya aku melihat sunset di rooftop ini, tetapi aku tidak pernah bosan, meski sunset tidak pernah alpa mengisi sore. Karena menurutku menatapnya adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Boleh jadi di luar sana banyak orang yang tidak bisa melihatnya, Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Asyik menatap sunset selalu membuatku lupa waktu, aku mulai beranjak dari dudukku, menyalakan lampu 5 watt guna menerangi rooftop, hendak mengambil wudhu di kamar mandi sekolah, melaksanakan sholat lima waktu sudah menjadi kewajiban semua umat islam, setiap hari jika sedang tidak datang bulan aku pasti sholat Magrib di sini, di bawah Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan.

Jika di perbolehkan oleh Daddy aku pasti akan tidur di rooftop ini, mendirikan tenda kecil, di bawah cahaya rembulan yang menyinari rooftop, pasti hal itu akan menyenangkan, tetapi kabar buruknya Daddy melarangku. Bukan karena gosip tentang 'misteri rooftop' sekolah yang menyebar di kalangan murid-murid SMA Mentari yang menyebutkan bahwa dulu ada seorang siswi yang bunuh diri karena putus cinta. Aku tidak tahu dari mana awal gosip itu menyebar, aku tidak pernah menemukan hal yang aneh di sini, tetapi kabar baiknya karena menyebarnya gosip itu tak ada satu orang siswa-siswi yang berani datang kesini, mereka semua termakan omong kosong seseorang yang tak bertanggung jawab.

Aku mengutuk semua omong kosong teman-temanku. Hei, Tidak bisakah mereka berpikiran positif saja? Bahkan Bi Ijah penjaga kantin yang hampir setengah umurnya di habiskan menjadi penjaga kantin sekolah ini saja tidak tahu menahu soal itu, tentu Bi Ijah tau seluk-beluk sekolah ini dari pada mereka semua yang so tahu.

Daddy-pemilik sekolah ini juga tidak pernah bercerita bahwa dulu ada seorang siswi yang bunuh diri di sini, banyak orang yang tak percaya pada ucapan Daddy, menganggap itu hanyalah pencitraan agar sekolah tak di cap buruk di kalangan masyarakat, tetapi Daddy tak peduli itu semua, baginya tidak ada yang lebih penting dari pada mencetak ribuan generasi penerus bangsa yang cerdas. Daddy pemilik sekolah ini tak ada yang mengetahui bahwa aku adalah anaknya, kecuali Bi Ijah yang selalu berbaik hati mengantarkan makanan ringan untukku ke rooftop ini dan Pak Toto penjaga gerbang sekolah, suami Bi Ijah.

Selesai melaksanakan sholat Magrib aku segera beranjak membereskan peralatan sholat dan melangkah pergi, sudah malam saatnya pulang, saatnya menahan amarah yang selalu bergejolak saat aku bertemu dengan Daddy.

Sekolah ini cukup besar, sehingga tak akan menutup kemungkinan bahwa akan banyak mahluk halus yang senang tinggal di sini, setahun sudah aku bersekolah di sini dan selama itu pula sudah ada tiga kali kejadian kesurupan di kelasku, tentu saja bukan aku yang kerusupan itu. Aku tidak mengerti mengapa bisa begitu. Mengapa mereka lebih senang menganggu teman-temanku, dari pada aku yang jelas-jelas selalu pulang malam dari sekolah.

Pak Toto penjaga gerbang tersenyum padaku, aku membalas senyumnya, dia juga mengetahui statusku sebagai anak dari pemilik sekolah ini.

"Pulang neng?" Pak Toto bertanya, wajah keriputnya tertarik kala dia tersenyum.

"Seperti biasa." Aku menjawabnya santun.

Pak Toto terdiam sebentar, nyengir. "Tak ada si manis yang teman-temanmu bicarakan?"

Aku terkekeh pelan. "Memangnya Bapak pikir saya orang yang mudah percaya dengan gosip murahan itu?"

Pak Toto mengusap rambutnya yang sudah memutih. "Pulanglah Saila, Daddymu pasti khawatir padamu."

Aku mengangguk. "Saya pulang sekarang Pak, selamat malam."

"Hati-hati Saila. Banyak orang yang menggunakan topeng agar terlihat baik di depan." Aku mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan sekolah. Kalimat Pak Toto itu sudah setahun terakhir aku dengar, aku bersyukur masih ada orang yang peduli padaku, Bi Ijah, Pak Toto dan Daddy. Ah mengingat nama 'Daddy' selalu membuatku semakin membencinya.

***

Aku melambatkan langkah saat aku sudah sampai di depan gerbang rumah, aku hanya perlu berjalan selama 5-10 menit untuk pergi ke sekolah, jadi tidak perlu naik angkotan umum atau di antar jemput, semua itu terlihat berlebihan untukku, aku lebih suka melakukan aktivitas apapun sendirian.

Tunggu, aku menemukan yang tidak beres, Daddy sedang mengobrol dengan seorang wanita, entah apa yang mereka obrolkan, mereka sesekali tertawa.

Aku membungkukkan badan, mengintip mereka berdua dari sela-sela gerbang rumah. Daddy kembali tertawa dengan seorang wanita yang usianya lebih muda darinya, puas mengamati mereka dalam diam, aku segera membuka gerbang rumah, Daddy dan wanita itu telihat terkejut, namun mereka berdua segera menyingkirkan jauh-jauh keterkejutannya, Mereka senyum melihat kedatanganku, senyuman itu sungguh membuatku muak.

"Akhirnya kamu pulang juga Saila, Daddy khawatir padamu." Daddy menatapku bahagia, senyumannya merekah.

"Ini siapa? Calon istri Daddy?" Aku bertanya, satu jariku menunjuk wanita itu, itu memang tidak sopan, tapi aku tidak peduli.

Wanita itu untuk kedua kalinya terkejut. "Saya-"

"Aku harap Tante bisa urus Daddy aku dengan baik." Aku melangkah pergi, membuka pintu mengabaikan teriakkan Daddy di ujung sana.

"Selalu berpikif positif Saila, jangan salah paham. Bukankah Daddy selalu mengajarkanmu untuk selalu berpikiran positif?"

Ya. Daddy memang selalu mengajarkanku untuk berpikiran positif, tapi karena itulah aku tertipu, aku memang tidak terlalu mengerti dengan ucapan Pak Toto yang selalu beliau ucapkan setiap kali aku pulang. "Hati-hati Saila. Banyak orang yang menggunakan topeng agar terlihat baik di depan." Tapi saat ini umurku 16 tahun, sudah saatnya aku mulai mengerti dengan sepenggal kalimat itu. Ada satu hal yang aku pelajari dari kalimat singkat itu, yaitu ; aku sudah tidak percaya lagi pada siapapun(termasuk Daddy) karena aku hanya percaya pada Allah. Aku ingin terhindar dari pahitnya kekecewaan.

Aku menutup pintu kamarku, menguncinya, bersenandung kecil, sudah pukul 19.30 aku harus segera mandi dan melaksanakan sholat.

Tok tok tok

"Saila bukalah, Tante Yuli sudah pulang, Daddy ingin berbicara padamu."

"I not have time for you Dad, I so tired, plesea dont disturb me."

"Kamu harus makan Saila."

"Aku nggak laper Dad, kalo Daddy laper makan aja, kasihan Bi Ratna." Bi Ratna adalah asisten rumah tangga di rumah ini, usianya sudah tak muda lagi, sekitar 50 tahun, lebih tua beberapa tahun dengan Daddy, aku kasihan padanya jika dia sudah masak capek-capek tapi tidak ada seorangpun yang menyentuh makanannya.

"Daddy tidak bisa makan, jika kamu tidak makan."

"Nanti Daddy sakit, Saila nggak mau tanggung jawab."

"Kamu harus makan, baru Daddy akan makan."

"Aku makan di kamar."

Daddy terdengar menghela napasnya. "Baiklah, Daddy akan bawakan makanan untukmu."

Bersambung...

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience