Empat

Drama Series 807

10 tahun yang lalu.

Sudah seminggu aku berada di sini, bolos sekolah, tidak mandi seminggu terakhir, menunggu Mom yang jatuh sakit, aku tidak tahu Mom sakit apa Dad tidak pernah memberi tahuku, saat itu usiaku 6 tahun, aku tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di sekitarku, yang aku pikirkan hanya coklat kesukaanku juga buku dongeng kesayanganku, aku tidak bisa tidur jika Mom tidak membacakan dongeng itu sebelum tidur.

Seminggu terakhir setiap harinya dari pagi hari hingga sore hari, aku selalu duduk di kursi panjang depan kamar rawat inap Mom, aku suka membaca dongeng juga suka coklat yang Dad berikan padaku setiap hari.

"Mom menyanyangimu Sa." Mom mengusap rambutku halus, dia mengkucir rambutku dua, mencium pucuk kepalaku. "Berjanjilah pada Mom bahwa kamu akan selalu menjadi anak yang baik, berbakti pada Dad, kamu harus menjadi anak yang shalehah, agar Mom tidak menyesal melahirkanmu."

Saat itu aku hanya mengangguk saja, aku tidak tahu bahwa itu adalah kalimat terakhir yang Mom ucapkan.

Keesokan harinya saat matahari terbit, Dad mengantarkanku pulang ke rumah, aku harus mandi, agar aku tidak sakit. Aku menuruti ucapan Dad, saat kami kembali ke rumah sakit kamar Mom sudah kosong, Mom tidak bisa di selamatkan lagi. Jatuhlah sebuket bunga mawar yang hendak Dad berikan pada Mom, Dad berlari menuju kamar mayat, salah satu dokter menjelaskan sesuatu pada Dad, Dad tampak hancur, dia masuk ke kamar mayat, aku mengikutinya meski suster di sana melarangku.

Aku menatap Dad dari depan pintu, suster itu menahanku, aku merengek ingin masuk, saat itu aku barulah sadar jika Mom sudah tiada. Lima menit berlalu aku hanya bisa memandang keadaan Mom dari depan pintu, Dad menghampiriku, matanya sembab.

"Mom telah tiada, dia kecelakaan. Itu sebabnya kamu tidak bisa melihatnya, keadaannya sangat memprihatinkan." Ucap Dad, saat itu hatiku sakit sekali, sesak sekali, rasanya sulit sekali untuk bernafas, rasanya hidupku ini berhenti sampai di sini.

"Bagaimana bisa Dad? Mom sedang di rawat dokter, bagaimana bisa Mom kecelakaan?" Aku bertanya.

"Saat kita pergi Mom juga pergi diam-diam, dia teringat hari ulang tahunmu yang ke enam esok hari. Mom hendak membelikanmu buku dongeng di toko buku sebrang rumah sakit, tetapi Mom tertabrak truk."

Aku langsung menangis, aku tidak bisa melihat Mom lagi, tak akan ada orang yang akan membacakan dongeng untukku, aku memaksa Dad agar aku bisa melihat wajah damai Mom untuk yang terakhir kalinya.

"Kamu tidak akan sanggup melihatnya Sa." Dad memelukku, aku semakin menangis di buatnya, memukul-mukul punggung kekar Dad.

"Aku ingin bertemu dengan Mom, Dad."

"Jangan Sa, kamu tidak akan sanggup, kamu masih terlalu kecil-"

"Izinkan Saila bertemu dengan Mom untuk yang terakhir kalinya atau Saila akan menemani Mom selama-lamanya!" Aku membentak Dad saat itu, Dad tahu aku tidak akan melakukan bunuh diri agar bertemu dengan Mom, Dad membiarkanku menangis di depan ruangan Mom, tanpa sempat melihat wajah Mom untuk yang terakhir kalinya.

Saat itu aku duduk di lantai, menangis, Dad masuk kembali, aku mengira Dad cukup egois, dia bisa melihat Mom sepuasnya untuk yang terakhir kalinya, sedangkan aku tidak.

"Kenapa kamu menangis?" Aku menoleh mendengar suara itu, seorang anak laki-laki seumuranku bertanya, wajahnya terlihat bingung.

"Mom meninggal." Aku bergumam, anak laki-laki itu ikut duduk di sampingku.

"Ini buat kamu." Anak laki-laki itu memberikan sebuah liontin berbandul Dandelion, aku menatapnya beberapa menit, indah sekali. "Ambillah." Lanjutnya, aku mengangguk segera mengambil liontin itu.

"Terima kasih."

"Jangan bersedih lagi." Anak laki-laki itu senyum, aku balas tersenyum kecut.

"Kamu bisa berbicara seperti itu karena kamu tidak merasakannya." Aku menyerka air mataku yang kembali turun.

"Maaf."

"Kamu tidak salah jangan meminta maaf, Terima kasih untuk liontinnya. Aku menyukainya."

"Ada tiga butir dandelion di dalam bandulnya, jika kamu mengingikan sesuatu, tiup salah satu butirnya, berdoalah."

"Jika kita mengingkan sesuatu. Seharusnya kita berdoa pada Allah, bukan meniup butir dandelion itu."

"Ketika kamu meniup salah satu butir dandelion, artinya kamu telah memberikan satu kebaikan, kamu mungkin tidak menyadarinya, tetapi kamu benar-benar melakukan sebuah kebaikan saat itu. Kamu memberikan kehidupan untuk butir dandelion itu, bayangkan jika butir dandelion itu berubah menjadi bunga dandelion utuh, butir dandelionnya tertiup angin, menjadi bunga dandelion lagi, begitu seterusnya." Aku tersenyum mendengar penjelasannya, tak lama Dad menemuiku, untuk memakamkan Mom, saat itu perasaanku membaik, tapi tidak dengan perasaanku pada Dad, aku membencinya karena dia tak membiarkanku melihat wajah Mom.

"Sampai jumpa." Anak laki-laki itu melambaikan tangannya, aku melakukan hal yang sama.

***

Kami terdiam dengan pikiran masing-masing, kenangan masa lalu itu selalu sukses membuatku menangis, aku menyerka air mataku, Hira memperhatikannya, tersenyum.

"Kamu masih saja cengeng."

"Itu karena kamu tidak merasakannya."

"Suatu hari mungkin aku akan merasakannya." Hira terkekeh pela, aku memukul lengannya.

"Jangan berbicara yang tidak-tidak."

"Baru jam setengah lima, kamu tidak tertarik untuk berjalan-jalan bersama teman barumu ini?" Hira menyeringai.

"Aku lebih suka duduk di sini, menikmati sunset."

"Kamu tidak ingin mengenang masa lalumu sepuluh tahun lalu? Kamu banyak berubah, sekarang rambutmu tidak dikucir dua lagi, kamu tidak suka makan coklat lagi dan kamu tidak membawa buku lagi." Aku terdiam seketika, memang apa yang Hira katakan itu semuanya benar. "Jangan melamun, aku takut kamu kesurupan." Hira mencoba bergurau, aku sedikit tertawa.

"Jadi kamu mau kan menemaniku jalan-jalan di kota ini?" Hira bertanya, tatapan matanya berharap, aku mengangguk, mungkin melewati sunset sehari di sini bukan masalah besar, sebab Hira datang menawarkan kebahagiaan.

***

"Pulang neng?" Pak Toto bertanya, raut wajahnya sedikit bingung, apa lagi melihatku pulang dengan seorang pria.

"Tak ada salahnya aku pergi keliling kota, rasanya aku tidak mengenal kota ini dengan baik, selain sekolah dan rooftop sekolah."

Pak Toto terlihat tersenyum. "Baiklah. Hati-hati Saila. Banyak orang yang menggunakan topeng agar terlihat baik di depan." Ucap Toto menoleh kearah Hira, Hira terlihat kebingungan, aku terkekeh pelan, kalimat itu lagi.

"Dia Aadhira Adi Chandra, arti namanya adalah Rembulan yang indah, tapi beginilah wujud orangnya berbanding terbalik dengan arti namanya, wajahnya memang kurang indah untuk di pandang." Aku bergurau, kami semua tertawa, termasuk Hira, dia tidak sedikitpun tersingung.

"Bapak kira temanmu hanya si manis saja." Kami semua kembali tertawa, sudah lama sekali aku tidak tertawa lepas seperti ini, ini semua berkat Hira. Aku tidak tahu harus mengucapkan apa padanya, aku bersyukur lelaki itu kembali mengisi hari.

"Kami harus segera pergi Pak, terima kasih atas gurauannya, besok-besok saya akan menginap di rootop."

"Bapak berani bertaruh jika itu terjadi kamu pasti tidak akan terlihat lagi di sekolah ini."

"Kenapa Pak?" Aku bertanya penasaran, curiga Pak Toto berpikir bahwa aku akan loncat dari gedung 4 lantai itu, seperti perempuan yang gosipnya menyebar di seluruh penjuru sekolah.

"Karena Daddymu tidak akan membiarkan kamu melihat tempat ini lagi Saila." Apa yang di bicarakan Pak Toto memang benar, Daddy tidak akan membiarkan itu terjadi, sekalipun itu adalah salah satu mimpi dalam hidupku. "Sudahlah Saila, sebaiknya kamu segera pergi, ingat baik-baik ucapan pria tua ini." Aku mengangguk, tersenyum, pergi bersama Hira, berdua.

Bersambung...

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience