Lima :Sinar Mentari

Drama Series 807

Brakk

Aku berusaha menahan tubuhku yang jatuh terbanting, rasanya sakit sekali, di depan sana Hira masih melanjutkan langkahnya, kita berdua memang tidak berjalan beriringan, Hira berjalan di depan sedangkan aku berjalan mengikuti dirinya, sungguh aku mengutuk Hira yang masih terus berjalan dan tidak menyadari bahwa di sini aku terjatuh, tersandung batu.

Aku meringis, lututku berdarah, kabar baiknya pasar malam sore ini sedang sepi, jadi aku tidak terlalu menjadi pusat perhatian, meski ada satu-dua orang yang melirikku tanpa menolongku sama sekali, aku berusaha bangkit, sekuat tenaga, pungung tegap Hira sudah tidak terlihat lagi, aku sudah tertinggal jauh. "Aww." Aku sedikit meringis, lututku sakit sekali, aku berjalan terbata-bata, Hira benar-benar keterluan.

Mungkin perkataan Pak Toto ada benarnya juga, banyak orang yang menggunakan topeng agar terlihat baik di depan. Itu seperti Hira! Tadi dia bersikap baik padaku sekarang? Dia meninggalkanku. Menyedihkan sekali.

"Sa apa yang kamu lakukan?" Aku menoleh, Hira berdiri di depanku, mengapa dia muncul tiba-tiba? Misterius sekali.

Aku menatapnya kesal, sungguh dia sangat  menyebalkan. "Ada apa Sa? Kenapa matamu melotot seperti itu? Jangan buat aku khawatir, aku takut matamu jatuh ke bawah."

"Aku sedang tidak becanda Hira! Kamu benar-benar menyebalkan!"

"Ada apa Sa? Apakah si manis yang Pak Toto ceritakan mendatangimu karena cemburu kamu jalan-jalan bersamaku?" Hira bertanya, jika saja keadaanya lebih baik, mungkin aku sudah tertawa terpingkal-pingkal, tetapi saat ini keadaannya buruk sekali.

"Jangan becanda Hira aku tak suka!"

"Aku hanya bertanya kamu kenapa Sa? Aneh sekali."

"Aku kesandung batu Hira! Aku jatuh! Kamu nggak liat lutut aku berdarah!" Aku menunjukkan lututku yang berdarah, Hira terlihat memperhatikan lututku.

Pasar malam lengang sejenak.

Suara jangkrik terdengar, mungkin karena aku baru mendengarkan kelengangan ini.

"Hahahaha, itu lucu sekali Saila." Hira tertawa terpingkal-pingkal, hingga dia memegang perutnya. "Bagaimana bisa kamu bisa terjatuh? Selain cengeng kamu juga ceroboh sekali, lucu sekali."

Aku menginjak kaki kanan Hira sekuat tenaga. "Kamu benar-benar menyebalkan!" Aku kembali berjalan terbata-bata, tak menghiraukan Hira yang berteriak memanggil namaku. "Jadi cowok nggak peka banget." Aku bergumam, berusaha menyeimbangkan langkah tak mau sampai aku jatuh lagi, jika itu terjadi maka Hira sudah pasti akan lebih puas menertawakan.

"Jangan marah Sa, aku hanya becanda." Teriak Hira, secepat apapun aku berjalan, Hira pasti akan tetap mengejarkan, kakiku sakit sekali, sebenarnya aku meninggalkannya karena aku ingin dia menawarkan bantuan, membantuku berjalan atau membopong tubuhku, seperti adegan di favorit di novel-novel yang sering aku baca.

"Kamu pergi saja sana." Aku berucap, dia malah menghalangi langkahku.

"Jangan memaksaku untuk pergi, keadaanmu sedang tidak baik, mau aku bopong?" Hira menawarkan tawarannya baik-baik, wajahnya tersenyum tulus, manis sekali senyumannya. Tetapi aku masih sebal padanya.

"Kamu pulang saja, aku tidak mau merepotkanmu."

"Jangan bodoh." Hira berkata pelan. "Meski kamu berusaha kuat untuk berjalan seperti itu, boleh jadi lututmu tak akan kuat, kamu bisa jatuh lagi. Lebih parah jika kamu tiba-tiba pingsan di jalan. Saat keadaan seperti ini kamu harus meminta bantuan orang lain, kamu mungkin tidak mau di tolong olehku karena kamu masih kesal padaku. Sebenarnya orang-orang bisa membantumu tapi boleh jadi mereka sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, sekarang banyak sekali orang-orang yang tak memperdulikan sekitarnya, yang mereka perhatikan hanyalah bagaimana caranya mereka mendapatkan kesenangan sebanyak-banyaknya. Bukankah kebanyakkan manusia seperti itu Saila?"

Kalimat bijak Hira terhenti sejenak, tetesan hujan turun tanpa dapat di prediksi, orang-orang yang awalnya asyik bercanda gurau, sekarang berlari mencari tempat teduh. "Kamu juga harus berteduh Saila, lututmu sudah sakit jangan sampai seluruh tubuhmu sakit juga." Tanpa aba-aba Hira membopong tubuhku, aku merasa kaget, namun aku menikmati setiap langkah saat Hira membopong tubuhku.

"Turunkan aku Hira, orang-orang memperhatikan kita." Aku bersuara pelan, Hira pasti mendengarnya namun dengan menyebalkannya dia sengaja pura-pura tidak mendengarkanku. "Hira!" Aku mendengus kesal, beberapa menit kemudian Hira telah berhasil membawaku keluar dari pasar malam itu, sekarang kami sedang berada di sebuah cafe yang tepat berhadapan dengan pasar malam.

"Kenapa wajahmu jelek sekali Saila?" Hira terkekeh pelan, setelah kami memesan coklat panas.

"Aku kesal padamu, jangan ajak aku bicara Hira!"

"Kamu kenapa emosian seperti ini?"

"Aku ingin ke toilet Hira, aku rasa aku perlu membersihkan luka di lututku ini." Kali ini Hira benar-benar melihat luka di lututku dengan baik.

"Aku akan membeli obat merah, kamu tunggu di sini jangan kemana-mana, jangan coba kabur!"

"Memangnya aku tak ada kerjaan lain selain kabur dari manusia menyebalkan seperti dirimu?" Hira tersenyum, mengacak-ngacak rambutku, sungguh manis sekali perlakuannya.

"Jangan kemana-mana, aku tidak mau lutut mah semakin parah."

5 menit berlalu, aku masih berada di posisi semula, aku mulai cemas. Mungkinkah Hira meninggalkanku di sini? Bodoh sekali aku percaya padanya, setelah kepergian Mom bukankah aku sudah tak percaya lagi pada siapapun? Lantas mengapa aku harus mempercayai Hira?

Lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini saja, tak ada gunanya mempercayai orang asing meskipun dia cinta pertamaku, aku berdiri dari dudukku, pintu cafe terbuka menampakkan Hira di sana.

"Mau kemana Sa? Sudah aku bilang kamu jangan coba-coba kabur." Hira menatapku penuh pertanyaan, aku mendengus kesal.

"Kamu lama sekali, aku kira kamu kabur meninggalkanku."

"Aku tidak akan sejahat itu Sa."

"Aku tidak percaya."

"Sudahlah, mana lututmu biar aku obatin." Hira mengobati lututku dengan telaten. "Ini emang sedikit perih, tapi kamu harus menahannya, jangan lebay." Hira berkata santai.

"Aku anak yang kuat-, Aww perih." Aku meringis kesakitan, Hira tertawa.

"Jangan teriak-teriak, nanti jadi fitnah."

"Ini beneran sakit Hira, kamu nggak bisa ngerasainnya."

"Jangan lebay."

Aku mendengus kesal, Hira telah selesai mengobati lukaku, tetapi tetap saja lukaku terasa sakit.

"Mau pulang sekarang Sa?" Tanya Hira, dia meminum coklat panasnya sedikit.

"Aku nggak mau hujan-hujanan." Hira menatap keluar cafe, Hujan masih turun dengan derasnya, dia tersenyum.

"Lagian siapa juga yang ngajak kamu pulang bareng, kamu pulang sendiri." Hira berkata santai, memasukkan handphone yang sebelumnya dia simpan di meja kedalam tasanya. "Aku pulang duluan Sa."

"Hira jangan tinggalin aku!" Aku berteriak tertahan, malu jika harus menjadi perhatian. Hira menoleh.

"Yaudah ayo."

"Tapi kaki aku sakit Hira!"

"Aku tahu kamu anak yang kuat Sa, jangan seperti itu."

Aku berusaha berdiri dari dudukku, menyeret kakiku yang sakit, Hira hanya menatapku tak berniat membantuku, aku menatapya tajam. "Kegiatan kamu nggak berfaedah banget, ngeliatin aku tanpa bantuin."

"Kamu harus kuat Saila."

Dengan langkah terbata-bata aku akhirnya sampai di depan pintu cafe, Hujan masih turun, yang benar saja Hira akan membawaku hujan-hujanan?

"Kamu yakin kita pulang sekarang?" Aku bertanya Hira mengangguk, tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depanku, aku mengernyitkan kening, siapa yang memesan taksi?

"Kamu naik taksi, aku udah pesen taksi itu tadi." Hira dengan santainya membawa motornya di parkiran pasar malam.

"Tapi kamu gimana? Ini masih hujan Hira." Aku berteriak, dia menoleh mengacungkan kedua jempolnya.

"Semuanya akan baik-baik saja Sa."

Bersembung....

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience