Dua

Drama Series 807

Beberapa menit setelah bel masuk berbunyi, Pak Gun. Guru Matematika sekaligus Wali kelasku masuk ke dalam kelas, ada yang berbeda hari ini. Seorang pria dengan seragam lengkap mengikuti langkah lebar Pak Gun, bisa aku tebak bahwa itu adalah murid baru di sini, aku menatapnya dari ujung rambut hingga ujung sepatu, bajunya rapih tak lupa gaya rambutnya  menunjukkan identitas pelajar, bukan rambut seperti Rafka dan kawan-kawan dan terlihat jarang di sisir dan selalu berantakkan.

Astaga! Aku berseru dalam hati, jika dia benar murid baru maka dia akan sebangku denganku, murid di kelas ini hanya 31 orang, hanya mejaku yang kosong, dan kabar buruknya Pak Gun pasti akan menyuruh murid baru itu untuk duduk di mejaku, aku tak mau, itu tidak boleh terjadi, bisa-bisa pria itu akan menghancurkan ketenanganku.

“Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru dari Jakarta, perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu Nak.” Pak Gun berkata ramah pada anak baru itu, belum tahu saja bagaimana kejamnya Pak Gun pada anak yang tidak mengerjakan tugasnya.

Anak baru itu mengangguk sopan. “Perkenalkan nama saya Aadhira Adi Chandra, kalian semua bisa panggil saya Hira.”

Kelas yang awalnya lengan kini menjadi ramai, para perempuan kecentilan sigap menyisir rambutnya, tak lupa memoleskan sedikit make up agar terlihat lebih fresh. Sedangkan para lelaki hanya bisa menghembuskan napasnya pelan, mereka punya saingan yang berat, boleh jadi pria bernama Aadhira Adi Chandra itu akan menjadi pria paling tampan di kelas.

“Sekarang kamu boleh duduk bersama Saila dan yang lain silahkan kumpulkan tugas kalian.” Pak Gun menunjuk meja kosong di sebelahku, benarkan dugaanku.

“Saya tidak terima duduk dengan orang asing Pak!” Aku berseru protes, Pak Gun terlihat menghela napasnya, aku menunggu jawabannya harap-harap cemas.

“Tidak ada meja kosong lagi di kelas ini Saila, sudahlah sekarang kamu akhiri saja kesendirianmu.” Pak Gun menjawab seadannya, tapi itu membuat tawa para lelaki pecah di kelas, aku menghela napas, menahan amarah. Para perempuan di kelas memberengut kesal, mereka menatapku sinis. Andai mereka tahu siapa aku sebenarnya. pasti mereka akan memasang topeng baik di depan wajahku.

Saat semua orang sibuk membawa dan menyerahkan buku tugasnya pada Pak Gun, aku berpikir cara apa yang tepat untuk mengusir pria di sampingku ini.

“Nama gue Aadhira Adi Chandra, lo bisa panggil nama gue Hira.” Pria itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman, aku menatap tangannya, menatapnya sinis.

“Gue udah tau!”

Hira tersenyum, aku kembali menatapnya beberapa detik, senyumannya terlihat berbeda. “Tapi gue belum tahu nama lo,”

“Jangan pura-pura bego. Lo denger sendiri Pak Gun nyebut nama gue.”

Hira mengangguk-anggukkan kepalanya seolah berpikir. “Nama lo Saila, Saila artinya sinar Matahari dan nama gue Aadhira artinya Bulan. Kayaknya kita diciptain buat saling melengkapi  deh.” Pria itu tersenyum, seolah asyik dengan khayalannya.

“Berisik! Jangan sampai omong kosong lo itu buat lo menyesal. Gue bisa lakuin satu hal yang bisa buat lo menyesal seumur hidup!” Aku menekan kata-kataku, berharap pria itu akan berhenti bicara dan merusak ketenanganku, namun pria itu malah terkekeh pelan, dia kira aku bergurau?

“Gimana caranya?” Pria itu bertanya, sekarang aku sudah siap dengan keadaan terburuk, jika emosiku sudah naik ke ubun-ubun, aku ingin sekali mencakar wajahnya. “Jangan emosian kayak gitu, siapa juga yang mau musuhan sama anak dari pemilik sekolah ini.”

Deg!

Andai saja aku sedang memakan mie instan buatan Bi Ijah pasti aku sudah akan tersedak, atau andai saja aku sedang berada di rooftop sekolah pasti aku sudah mendorong Hira kuat-kuat agar jatuh. Itu adalah rahasia yang aku simpan setahun terakhir, bagaimana Hira mengetahui? “Wajahnya biasa aja jangan di kaget-kegetin kayak gitu.” Hira berbisik, suaranya sudah persis seperti suara Iblis yang selalu membuatku emosi.

Benar saja, emosiku tak bisa lagi aku tahan, aku berdiri dari dudukku. Reflek aku memukul meja dengan keras. Lengang seketika. Semua orang yang ada di kelas menatap kearah mejaku. “Gila lo!” Aku berteriak, tak peduli pada semua orang yang menatapku bingung.

“Ada apa Saila? Kamu tidak menakut-nakuti anak baru itu kan?” Pak Gun bertanya, wajahnya kebingungan, aku menghela napas.

“Saya nggak sudi duduk sama cowok nggak waras kayak dia.” Aku menunjuk Hira yang tengah menatapku santai.

“Sudahlah Saila, jangan membuat masalah pada anak baru. Sekarang kamu kumpulkan buku tugasmu, Bapak belum melihatnya.”

Meski kesal, tetapi aku segera membawa buku tugasku yang aku simpan di dalam tas, Eh? Mengapa buku tugasku tak ada? Saat itu aku mulai panik, aku sangat yakin tadi pagi aku memasukannya kedalam tas.

“Cari yang bener.” Seperti tahu apa yang aku cari, Hira berbicara, nada suaranya memerintah bak Raja yang harus dituruti, tetapi aku tak punya waktu untuk protes pada Hira, ada yang lebih penting, buku tugas Matematika.

“Lo udah cek kolong meja?” Hira bertanya, aku sedikit lega Hira tak lagi membahas siapa aku lagi seperti tadi.

“Gue udah cek berkali-kali.”

“Ayolah Saila, tugas saya di sini bukan hanya untuk menunggumu saja, masih ada banyak hal yang harus Bapak kerjakan, memperbaiki nilaimu yang hancur itu misalnya.” Pak Gun berseru, aku semakin panik.

“Maaf Pak, sepertinya bukunya teringgal di rumah.”

Pak Gun terlihat menghela napasnya.

“Kamu tahu kenapa Bapak selalu memberikan banyak tugas untuk kalian?” Aku mengangguk, Pak Gun sering sekali membicarakan ini membuat satu kelas hatam dengan kata-katanya. “Karena Bapak ingin memperbaiki nilai Matematika kalian, sadar atau tidak nilai kalian itu selalu di bawah rata-rata, dan sekarang kamu Saila, kamu tahu kan hukuman apa yang akan Bapak berikan padamu.” Aku mengangguk, lari sampai jam pelajaran Pak Gun selesai adalah hukumannya. “Setidaknya hukuman Bapak sangat baik untuk kesehatanmu.”

Aku menghela napas itu adalah hukuman yang lumrah yang harus aku dapatkan selama sekolah di sini.

“Sebentar Pak, bukan hanya Saila yang tidak mengerjakan tugas Matematika.”
Aku menghentikan langkah, Hira berdiri dan berbicara lantang. “Maksud kamu apa Hira? Masih ada orang yang tidak mengerjakan tugas saya? Siapa orangnya. Katakan pada saya agar saya berikan hukuman yang setimpal, atas waktu yang dia sia-siakan karena tidak mengerjakan tugas matematika.”

Hira terlihat menghela napasnya beberapa detik, Pak Gun menatap Hira menunggu jawaban. “Orangnya adalah saya sendiri.” Lengang seketika, suara gelak tawa terdengar memenuhi ruangan kelas.

“Mana mungkin saya akan sejahat itu pada murid baru.”

Hira masih protes. “Tapi yang saya ingin adalah keadilan Pak, biarkan saya menjalani hukuman saya.”

Pak Gun menghela napasnya tak mengerti dengan pola pikir murid baru di depannya ini. “Baikalah saya akan memberikan hukuman untuk kamu Karena kamu sudah membuang-buang waktu saya dengan pertanyaan bodoh kamu, sekarang kalian berdua, silahkan keluar kelas. Selamat mengerjakan hukuman.” Pak Gun melambaikan tangannya, tersenyum, bahagia sekali dia melihat kedua muridnya menderita.

“Lo tau, gue ngelakuin ini karena lo.” Hira berbicara saat kami sudah beberapa menit berlari, aku tak terlalu menghiraukannya, ucapannya tak jauh berbeda dengan angin lalu.

Aku menghentikan langkah saat handphone di saku kemejaku berbunyi, Daddy.

Daddy lihat kamu di hukum Pak Gun. Masuklah ke ruangan Daddy, Daddy tahu kamu tidak akan kuat lari terlalu lama, ajak sekalian teman barumu itu.

Tanpa menghiraukan pesan dari Daddy, aku langsung mematikan handphoneku. Daddy keliru. Aku tidak lemah, aku lebih kuat dari apapun yang Daddy ketahui.

Bersambung....

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience