Tujuh

Drama Series 807

Hira benar aku harus berterima kasih padanya.

"Indah bukan?" Aku menoleh, tersenyum dan mengangguk.

"Aku baru tahu jika di tengah kota ada tempat seperti ini Hira, ini keren sekali."

"Banyak gosip jelek yang tersebar di bukit ini, sama seperti rooftop sekolah. Tapi kabar baiknya karena itu, kita bisa menikmati tempat ini dengan nyaman dan tenang."

"Sekarang aku percaya bahwa semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Termasuk gosip-gosip itu. Kabar baiknya juga aku tidak suka mendengarkan gosip." Hira menatapku, aku serasa malu, akhirnya aku membuang pandanganku.

Angin berhembus menerbangkan ratusan butiran Dandelion, aku memejamkan mata, angin kembali berhembus menampar pipi serta hati. Wajah Mom tersenyum terlihat saat aku menutup mata, dia tersenyum manis, aku tak kuasa menahan tangis. "Aaaaaaaa." Aku berterik kencang.

Hira mengusap pungungku. "Lepaskan segalanya perlahan Sa, jangan biarkan dia kembali menguasai tubuhmu."

Aku membuka mataku, tak terasa setetes air mata telah jatuh membasahi pipi, aku memberanikan diri menatap Hira. "Maksud kamu apa Hira?"

"Terkadang saat emosi, kita sulit sekali menguasai diri kita sendiri. Aku melihatnya darimu. Rasa sedih, kecewa serta penyesalan ada di matamu, matamu yang memberitahukannya semuanya tergambar jelas di sana."

Hening seketika, Hira mengetahuinya.

"Itu yang membuatmu tak punya teman, menyukai sendiri, pendiam, dan galak jika diajak berkomunikasi." Hira menghentikan sejenak ucapannya. "Sedih, kecewa serta penyesalan kamu simpan sendiri, karena menurutmu itu adalah hal yang paling aman. Tetapi kamu keliru. Kamu butuh seseorang untuk mengisi harimu, jangan seperti ini Sa, kamu pantas bahagia, biarkan masa lalumu menjadi bagian dari hidupmu yang kelam, jangan jadikan masa depanmu kelam juga."

"Kamu tidak pernah tahu perasaanku Hira. Sejak awal kamu hanya bisa menghiburku dengan liontin dandelion itu, tetapi tidak pernah tahu perasaanku. Sedih tak bisa melihat Mom untuk yang terakhir kalinya, kecewa karena aku tak bisa apa-apa saat itu, serta menyesal mengapa aku begitu bodoh mempercayai cerita Dad, aku tahu Dad berbohong, aku mengetahuinya dari pancaran matanya."

"Sa dengarkan aku." Hira menatapku intens, membuatku aku menundukkan kepala, pipiku rasanya panas sekali, malu sekali di tatap seperti ini oleh Hira. "Jangan menunduk Sa, tatap wajahku."

Hira mengangkat kepalaku, membuatku bertatapan dengannya. "Hidup kamu masih panjang, jangan lihat kebelakang terus Sa, kebahagiaan sedang menunggu kamu untuk datang, come on Sa You can do it."

"I don't think I can. Aku takut suatu hari aku melupakan wajah Mom. Hanya Mom yang menyanyangiku."

"Selalu berpikir positif Sa, Daddymu juga menyanyangimu."

"Tidak mungkin."

"Kamu tidak membuka matamu Sa, kamu hanya melihat kebelakang. Lihat masa depanmu Sa, aku menyanyangimu. Jangan seperti ini."

Mendengar kata. 'Aku menyanyangimu' Membuat pungungku bergetar, aku kembali menangis. Hira benar. Aku harus membuka mataku.

Kamu anak yang kuat Saila, Mom bangga padamu.

Potongan masa lalu itu kembali berputar. Mom mengatakan kalimat itu saat aku jatuh dari sepeda, saat itu usiaku 5 tahun.

"Kakimu sepertinya terluka Sa, apa Mom membawa kamu ke rumah sakit saja?" Tanya Mom khawatir, aku menggeleng dengan cengiran terbaikku mengeleng.

"Tidak usah Mom, ini tidak sakit. Saila tidak mau merepotkan Mom."

"Kamu anak yang kuat Saila, Mom bangga padamu." Mom mengusap rambutku lembut.

Aku kembali menangis, potongan masa lalu indah bersama Mom selalu aku simpan dalam hati, aku sangat menyesal tidak dapat melihat Mom untuk yang terakhir kalinya, padahal Mom sangat menyanyangiku, maafkan anakmu ini Mom.

"Aku siap menjadi pendengar yang baik untukmu Sa. Aku harap kamu mau menceritakan semuanya padaku." Hira berkata pelan, aku mengangguk. Sudah saatnya aku membuka mata serta hati, saatnya aku bangkit.

Aku bersyukur 10 tahun yang lalu aku bertemu dengan Hira. Dia telah berhasil memecahkan hatiku yang membeku.

Saat itu matahari bersinar cerah sekali, aku bisa melihat semburat orange yang begitu indah, diantara hembusan angin yang menerbangkan ratusan butir dandelion aku bercerita pada Hira, beberapa kali ku serka air mataku, Hira menatapku tersenyum.

"Aku akan menjadi orang pertama yang mencium keningmu Sa. Aku berjanji itu."

Blush

Pipiku memerah mendengar ucapan Hira, aku menyandarkan kepalaku di bahunya, dia mengusap rambutku pelan.

"Aku merasa rapuh dan menjadi seorang pengecut." Aku berkata pelan, Hira terkekeh pelan.

"Kamu anak yang kuat Sa. Buktinya kamu tidak memutuskan bunuh diri saat itu. Tetapi kamu tidak usah khawatir lagi, sekarang ada aku, aku akan selalu ada di sampingmu." Aku memukul lengannya.

"Kamu mempunyai tingkat percaya diri yang tinggi sekali Hira."

***

Angin malam menerbangkan rambut, aku kembali merapatkan jaket yang Hira pinjamkan, menatap lalu lalang kendaraan, tempat ini terasa ramai sekali, berbeda dengan bukit tadi. Meskipun kedua tempat itu berada di kota yang sama tetapi perbedaannya jauh sekali, aku lebih menyukai bukit.

"Mampir dulu ke masjid ya Sa." Ujar Hira, aku menjawabnya dengan anggukkan kepala, Hira tersenyum pada spion motornya.

"Sa kamu sholat atau tidak?" Hira bertanya, pria itu duduk di lantai masjid, melepaskan sepatunya.

"Sholat."

"Yaudah, ayo Sa."

Setelah melaksanakan sholat magrib, kami memutuskan untuk makan di salah satu cafe dekat masjid, awalnya aku hendak menolak karena aku tidak lapar, tetapi saat melihat wajah lelah Hira aku menjadi kasian padanya, dia pasti lapar setelah mengajakku jalan-jalan serta mendengarkan curhatku, aku tidak mau egois, Hira sudah berbuat baik padaku, mungkin dengan menemaninya makan akan jauh lebih baik dari pada menolak permintaannya.

"Kamu mau makan apa Sa?" Hira bertanya, dia memberikan menunya padaku, aku menggaruk kepala, nama-nama makanan ini begitu asing di kepalaku.

"Aku mau nasi goreng sama coklas panas aja."

"Serius Sa?" Hira bertanya, satu alisnya terangkat.

"Memangnya kenapa Hira? Aku tidak memesan makanan yang aneh-aneh kok."

"Banyak sekali perempuan yang menjaga pola makannya, tapi kamu? Nasi goreng bisa membuat tubuhmu gemuk Sa, aku tak bisa membayangkannya." Hira terkekeh pelan, aku melotot kepadanya.

"Enak saja! Aku suka nasi goreng Hira. Jangan bicara kemana saja, aku tak mau seperti mereka, hidupnya tidak bebas, aku ingin lepas dari semua tek-tek bengek urusan dunia, mereka hanya sibuk mempercantik diri, hingga lupa menyiapkan apa yang akan kita bawa ke akhirat."

Hening mengisi waktu, Hira menatapku tanpa berkedip, sungguh aku malu sekali, mengapa Hira jadi menyebalkan seperti ini? Tidak bisakah dia melihat pipiku yang sudah merah seperti kepiting rebus ini?

"Pipimu merah, lucu sekali." Dia terkekeh pelan.

"Jangan menatapku seperti itu, aku malu."

***

Hira mengantarku ke rumah sampai selamat, aku merasa bahagia. Hari ini adalah hari terindah setelah kepergian Mom.

"Belajar bersikap baik pada Daddymu Sa." Hira berkata, ketika aku melepaskan jaketnya.

"Semuanya butuh proses, tidak sekarang. Mungkin suatu hari." Hira mengangguk.

"Sudah malam, aku pamit. Sampaikan salamku pada Daddymu."

Aku mengangguk. "Hati-hati."

Hira menyalakan mesin motornya. "Saila." Hira memanggil namaku, aku menoleh. Dia tersenyum manis sekali. Jantungku rasanya berdetak kencang. "Aku akan lebih menyukaimu jika kamu menggunakan hijab."

Bersambung.....

WiwitWidianti

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience