Aku menimbang-nimbang litar yang Medina berikan padaku. Aku tidak yakin apakah bijak jika menggunakan teknologi yang, pada dasarnya, belum diciptakan di era sekarang.

“Kenapa tak kamu pasang di ponselmu?”

“Aku tak yakin kalau litar ini kompatibel dengan teknologi sekarang. Maksudku, litar ini didesain untuk digunakan pada alat-alat di masa depan.”

“Hmm, iya sih. Tapi kamu dapat menyimpannya untuk keturunanmu nanti.”

“Apa untungnya bagi keturunanku?”

“Litar ini harganya mahal, dan masih sedikit orang yang menggunakannya.”

“Lalu kenapa kamu dapat dapat litar semahal ini?”
“Itu salah satu keuntungan jadi asisten professor di universitas. Profesorku memberikan litar itu padaku sebagai ucapan terima kasih kerana mau jadi subyek dalam riset perjalanan lintas waktu ini.”

Aku terperangah mendengar kalimatnya yang barusan, “hah? jadi, perjalananmu ini cuma eksperimen?”

“Iya. Itulah alasannya aku tak pernah dapat lama bertemu denganmu.” Perkataannya membuatku ingat bahwa ada batas waktu dalam perjalanan lintas waktu yang dilakukan Medina . Bando silver itu, selain pengikat tubuh fisiknya, juga sebagai pengingat. Indikator lampu akan berkedip semakin cepat ketika waktunya hampir habis, ketika itu Medina sudah harus kembali ke portal di hutan.

“Lalu, kenapa kamu dapat terlempar ke tempat ini? Apa itu artinya taman ini akan menjadi universitas di masa depan?”

“Tak tahu juga, sih. Kata profesor, kami belum dapat mengendalikan destinasinya, tentang kenapa selalu di tempat yang sama, itu kerana profesor tak mau ambil resiko dengan mengutak-atik meta material yang menjadi jembatan portal antara masa ini dengan masa depan.”

“Oohh.” Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan Medina tentang alat perjalanan waktu ketika indikator lampu bandonya mulai berkedip. Waktunya Medina untuk pulang ke masa depan.

“Oh, sudah waktunya pulang.” Medina beranjak dari kursi dan memberiku sebuah pelukan hangat yang mengagetkanku kerana kami tak pernah berpelukan sebelumnya.