Bab 17

Fantasy Completed 90

Malam Sebelum Bara

Malam menyelubungi Lembah Sumpah, di bawah bayang Gunung Gantang, dengan kabus tebal dan bintang yang kelihatan malu-malu. Syahdan, dengan Keris Jantung Naga, kain kuning bersulam naga, dan lembing Permaisuri Ratna Sari, duduk di bawah beringin purba, memandang tujuh pendekar—Awang Lintang, Jali Kedekut, Mat Salin, Tok Silat Lang, Nuar Tunggal, Pak Long Mael, dan Ikhwan Arif—yang berkumpul di tepi batu besar berukir Surah Al-Fath. Esok, mereka akan berangkat ke Kota Batu untuk pertempuran maha dahsyat melawan Dato’ Deris dan Kaum Bayang Berdarah. Malam ini, mereka merenung pengorbanan, mengenang sumpah, dan mempersiapkan jiwa.Paksu Adnan, dengan rambut putih dan parut perang, berdiri di tengah, suaranya penuh wibawa. “Malam ini, kita bukan pendekar atau rakyat. Kita keluarga Tanah Bara,” katanya, matanya berkaca. Dia menceritakan kisah keberanian Sultan Syahdan, yang bertarung hingga nafas terakhir di balairung istana, dan Permaisuri Ratna Sari, yang melindungi bayi Syahdan dengan nyawanya. “Kalian adalah warisan mereka,” katanya, menuding Syahdan. “Esok, kita tunaikan amanah itu.” Syahdan, dengan hati bergolak, merasai beban pewaris, tetapi cerita itu menyalakan apinya.Tuan Guru Idris, dengan jubah putih, memimpin doa di bawah bulan separuh, membaca Surah Al-Anfal: “Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia perkenankan.” Suaranya mengalir bagaikan sungai, menenangkan hati pendekar dan rakyat yang berkumpul dengan obor. Ikhwan Arif menambah Zikir Pelindung, dan Syahdan, dengan kain kuning di lengan, merasai perisai ghaib melindungi jiwanya. Tuan Guru Idris berkata, “Esok, kalian mungkin syahid. Tetapi syahid adalah kemenangan abadi. Berjuanglah dengan iman, bukan dendam.”Setiap pendekar berkongsi cerita. Awang Lintang menceritakan kehilangan keluarganya, tombaknya simbol dendam yang kini menjadi keadilan. Jali Kedekut, dengan isyarat, menunjukkan tanahnya yang dirampas, kekuatannya untuk rakyat. Mat Salin berkongsi pengembaraannya, senjata kembarnya bukti kesetiaan. Tok Silat Lang, dengan janggut putih, berkata, “Aku tua, tetapi jiwa mudaku untuk Tanah Bara.” Nuar Tunggal tersenyum, “Kebebasan adalah nyawa kami.” Pak Long Mael memegang kerambit, berkata, “Kebatinanku untuk kalian.” Ikhwan Arif menutup, “Doaku adalah perisai kalian.” Syahdan, terharu, berkata, “Kalian adalah saudaraku. Bersama, kita pulangkan maruah Tanah Bara.”Di bawah beringin, Syahdan memandang keris, kain, dan lembing. Mimpinya kembali: Ratna Sari berkata, “Pimpin dengan cinta.” Beban pewaris terasa berat, tetapi ikatan pendekar menguatkannya. Dia bangkit, mengangkat panji naga, bersumpah: “Esok, kita ke Kota Batu. Kita menang, atau kita syahid!” Pendekar dan rakyat bersorak, suara mereka mengguncang lembah, bagaikan raungan naga. Paksu Adnan tersenyum, “Kau anak Syahdan, tetapi kau juga anak Tanah Bara.”Fajar menyingsing, dan Lembah Sumpah bergema dengan azan yang dibaca Ikhwan Arif, panggilan suci yang menyatukan hati. Syahdan memandang pasukan dan rakyat, obor mereka menerangi kabus. Masjid Lama Al-Ruhul Huda menyaksikan sumpah terakhir, dan Gunung Gantang berdiri teguh sebagai saksi. Tanah Bara, bumi luka, merasai denyutan perjuangan, dan Syahdan, dengan iman dan silat, melangkah menuju Kota Batu, siap menghadapi Dato’ Deris dalam pertempuran yang akan mengubah takdir.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience