Bab 7

Fantasy Completed 90

Masjid Lama Al-Ruhul Huda

Hutan di tengah Tanah Bara, jauh dari mata penjajah, menyembunyikan Masjid Lama Al-Ruhul Huda, sebuah bangunan kayu tua yang berdiri teguh walau dimamah usia. Dindingnya penuh lumut, diukir ayat-ayat Al-Quran, dan telaga sucinya berkilau bagaikan mutiara. Si Siung, dengan Keris Jantung Naga, kain kuning, dan lembing Permaisuri Ratna Sari, dibawa ke sini oleh Paksu Adnan selepas kemenangan di Pantai Kelabu. “Kau perlu lebih dari pedang untuk lawan Kota Batu,” kata Paksu Adnan, matanya penuh harapan. Si Siung, dengan hati penuh soalan, melangkah ke serambi masjid, di mana Tuan Guru Idris menanti, jubah putihnya berkibar, tongkat bidara di tangan.“Selamat datang, Siung,” sapa Tuan Guru Idris, suaranya lembut tetapi menggetar jiwa. “Di sini, kau akan belajar erti perjuangan sejati—bukan dengan darah, tetapi dengan iman.” Si Siung, masih berdendam terhadap penjajah, meragui. “Iman takkan hentikan pedang mereka,” katanya. Tuan Guru Idris tersenyum, mengajaknya solat Subuh berjemaah. Dalam sujud, Si Siung merasai ketenangan aneh, seolah masjid ini adalah tungku yang akan membentuk jiwanya.Hari pertama, Tuan Guru Idris mengajar latihan rohani: puasa tiga hari, solat tahajud setiap malam, dan membaca Surah Al-Baqarah dari awal hingga akhir. Si Siung, dengan tubuh lemah tetapi semangat kuat, menjalaninya. Kelaparan menggigit, tetapi setiap ayat Al-Baqarah bagaikan air menyiram jiwanya. Malam tahajud, di bawah pelita masjid, dia sujud, memohon kekuatan. Mimpinya kembali: istana terbakar, Ratna Sari berkata, “Anakku, iman adalah pedangmu.” Dia tersentak, peluh membasahi dahi, tetapi doa menenangkannya.Hari kedua, Tuan Guru Idris membawa Si Siung ke telaga suci masjid. “Wuduk bukan sekadar basuhan tubuh, tetapi hati,” katanya. Si Siung, dengan kain kuning di lengan, berwuduk, air sejuk itu bagaikan membasuh dendamnya. Tuan Guru Idris menceritakan kisah para sahabat di Badar, yang menang dengan iman walau kecil bilangan. “Kau bukan sekadar pemberontak, Siung. Kau adalah harapan Tanah Bara,” katanya. Si Siung, terharu, merasai beban baru, tetapi juga kekuatan.Malam ketiga, Si Siung duduk di serambi masjid, memandang keris dan lembing di bawah bulan purnama. Mimpinya semakin jelas: Sultan Syahdan dengan pedang, berkata, “Tuntut kebenaran.” Si Siung merasai hubungan aneh, tetapi Paksu Adnan, yang menyertai, hanya berkata, “Sabar, Siung. Masjid ini akan tunjukkan jalannya.” Si Siung mengangguk, memegang kain kuning, naga itu bagaikan lambang takdirnya.Fajar menyingsing, dan Tuan Guru Idris memanggil Si Siung. “Puasa telah bersihkan jiwamu. Sekarang, kita asah tubuh dan hati,” katanya, menuding ke hutan. Si Siung, dengan iman baru, melangkah, tidak tahu bahawa masjid ini hanya permulaan. Lembah Sumpah, medan keramat, menanti untuk membentuknya menjadi pemimpin. Tanah Bara, bumi yang luka, merasai denyutan perjuangan, dan Masjid Lama Al-Ruhul Huda, dengan telaga dan dinding sucinya, menjadi saksi kelahiran seorang pahlawan yang akan mengguncang Kota Batu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience