Bab 6

Fantasy Completed 90

Lembing di Pantai Kelabu

Angin laut di Pantai Kelabu membawa bau garam dan duka, menyapa Si Siung yang berdiri di tebing bukit, memandang pos penjajah yang lemah selepas serangan awal mereka. Keris Jantung Naga di pinggangnya bergetar, dan kain kuning bersulam naga diikat di lengan, lambang tekadnya untuk mencari Perjanjian Tanah Darah. Pengkhianatan Rahim dan berita tentang pengkhianat istana membakar jiwanya, tetapi nasihat Tuan Guru Idris tentang iman membawanya ke sini, bukan sekadar untuk bertarung, tetapi untuk menyatukan rakyat. Malam ini, dia akan memimpin serangan besar, membuktikan Tanah Bara masih bernafas.Si Siung, bersama 30 pemberontak dari Gunung Merbah, merancang serangan: masuk melalui pantai, menyerang gudang, dan melarikan diri sebelum bala bantuan tiba. Paksu Adnan, dengan mata penuh kebanggaan, berkata, “Kau bukan lagi budak kampung, Siung. Kau pemimpin.” Si Siung, dengan hati penuh keraguan, memandang rakyat—petani, nelayan, wanita tua—yang kini memanggilnya “Bara Teluk.” Dia teringat mimpinya: Permaisuri Ratna Sari dengan lembing berkembar, berkata, “Berjuanglah untuk rakyat.” Firasat aneh mencengkam—adakah dia lebih dari pemberontak?Bawah sinar bulan, Si Siung memimpin pasukan, menggunakan gerakan silat kampung untuk menyusup senyap. Mereka menyerang pos, menumpaskan penjaga dengan parang dan keris. Di gudang, Si Siung menemui peti besi, dan di dalamnya, lembing berkembar Ratna Sari, berkilau bagaikan bintang. Dia memegangnya, dan penglihatan samar muncul: Ratna Sari bertarung di istana, lembingnya menebas musuh, suaranya bergema, “Anakku, lindungi Tanah Bara.” Si Siung tersentak, jantungannya laju. “Ini senjata Permaisuri,” bisiknya, mengikat lembing di belakang, tekadnya membara.Pertempuran meletus ketika askar penjajah bangun. Si Siung, dengan keris dan lembing, bertarung bagaikan naga, menebas musuh dengan kelincahan. Pemberontak, terinspirasi, bertarung mati-matian, dan gudang terbakar, menerangi pantai. Tetapi kapal-kapal penjajah muncul di ufuk, membawa bala bantuan. Si Siung memerintahkan pemberontak melarikan diri, membawa bekalan dan lembing. Mereka lenyap ke hutan, meninggalkan pos dalam api, kemenangan kecil yang menggema di hati rakyat.Di gua Gunung Merbah, Si Siung menunjukkan lembing kepada Paksu Adnan dan Tuan Guru Idris. “Ini milik Ratna Sari,” katanya, suaranya gemetar. Tuan Guru Idris mengangguk, matanya penuh rahsia. “Senjata ini membawa semangatnya. Simpan baik-baik, Siung.” Paksu Adnan menambah, “Kota Batu adalah kubu sebenar penjajah. Kita perlu lebih kuat.” Si Siung, dengan kain kuning di lengan, bersumpah untuk terus berjuang, tetapi kapal-kapal di laut menghantui fikirannya.Malam itu, Si Siung memandang lembing di bawah pelita, mimpinya kembali: istana terbakar, Ratna Sari berkata, “Kau adalah harapan.” Dia merasai hubungan aneh, tetapi ketakutan gagal mencengkam. Masjid Lama Al-Ruhul Huda, di tengah hutan, menanti untuk membentuk jiwanya. Tanah Bara, bumi yang luka, bergema dengan sorak rakyat, dan Si Siung, dengan keris dan lembing, melangkah sebagai bara yang akan menyala.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience