BAB 4

Horror & Thriller Completed 98

Dua bulan berlalu. Aku mengepak semua barang-barangku dan memasukkanya ke dalam koper. Selama seminggu aku dan teman-teman akan mengadakan kemping di puncak. Acara rehat sekaligus syukuran sebelum kami menghadapi ujian Nasional beberapa bulan lagi. Tradisi di sekolah kami sejak dahulu. Rencananya, kami akan mengadakan bakti sosial ke tempat penduduk setempat, menanam bibit pohon-pohon akasia, jati, dan beberapa jenis tanaman lain di lahan kosong. Dan beberapa kegiatan lain yang telah di rencanakan.

“Perlengkapan mandimu sudah di bawa semua, Al?” tanya ibu dari ruang makan.

“Udah, Buk..” sahutku seraya memasukkan beberapa kaos kasual ke dalam koper. Setelah semua di rasa cukup, aku pun berpamitan pada ayah dan ibu. Berangkat ke sekolah dan menunggu bus di sana.

Jam lima sore aku, Riska, Dimas, Ainara dan Randi masih duduk di depan gedung sekolah, sementara Angga dan Mariska telah pulang kerumah mereka sejak pukul tiga sore tadi. Entah apa rencana kami selanjutnya aku tidak tahu. Yang jelas, kami telah gagal kamping di puncak. Gagal mengikuti kompetisi bergengsi. Gagal merebut gelar juara. Dan gagal semuanya. Semua gara-gara aku datang telat hampir sejam lebih. Tampaknya, mereka semua masih marah padaku. Huhh, bagaimana ini?

Hujan masih deras mengguyur kota Bandung. Ku lihat wajah kesal mereka membuatku merasa tidak nyaman. Kecuali Ainara, mereka semua terus menyudutkanku. Mengumpat. Dan meminta aku bertanggung jawab. Memangnya kalau sudah begini apa yang boleh aku pertanggung jawabkan?

“Aku mau pulang…” lirih Riska bersedih.

“Aku juga, memang kamu pikir aku betah bengong di sini tak jelas nasibnya?” sambung Randi membuatku semakin merasa bersalah.

“Kalau hujan yang deras ini tak berhenti, gimana?” tukas Dimas membuat suasana seolah memburuk.

Okay macam ni , korang semua tenang. Tak usah menyalahi nasib. Toh, rumah korang juga dekat dari sekolah.” Ucapan Ainara agaknya membuatku tenang dan lega. Aku menatapnya tersenyum. Makasih, ya, Ai. Kau membelaku. Pikirku dalam hati. Hampir beberapa jam kami di sini, hujan malah semakin deras. Tidak ada tanda-tanda akan mereda. Mereka semua terlihat lemas, letih, dan kesal. Tidak ada angkutan umum, tidak ada ojek, sepertinya kami akan terisolasi di sekolah.

“Aku bawa bekal, ada yang mau makan malam bersamaku?” tanyaku kepada mereka semua.

“Aku juga bawa, kok..” Ainara menimpali, kemudian mengeluarkan kotak bekalnya. Yang lain tidak banyak bercakap selain meratapi hujan yang semakin menderu biru.

“Cuba , boleh bawa HP, tinggal telfon mamah, di jemput deh…” lirih Riska bergetar. Agaknya dia yang paling kecewa dan kesal terhadapku.

“Di depan ‘kan ada wartel?” sambung Ainara.

“Aku tak bawa payung atau mantel. Kalau kesana, aku boleh sakit flu atau bahkan demam kena hujan sederas ini…” Riska menyahut kasar. Ainara menatapku malu. Aku diam dan mengisyaratkan agar Ainara bersabar. Mereka semua emosi. Dan aku masih belum mendapat kata maaf dari Randi, Dimas dan Riska sejauh ini.

Malam ini, kerana hujan tidak juga kunjung reda. Kami memutuskan untuk ke ruang UKS sekolah, beristirahat di sana. Perlu di ketahui, seperti yang aku katakan, sekolah kami bukan berada di tengah-tengah kota pada umumnya, yang ramai dan berdekatan dengan gedung-gedung lainnya. Sekolah kami ada di tengah-tengah lahan kosong milik seorang Haji. Dan ada di dekat perkebunan. Di depan sekolah hanya ada sebuah kedai kecil, wartel, dan halte. Jadi kami memang tidak boleh kemana-mana. Akses keluar cukup jauh.

“Aku mau tidur…” ujar Dimas menuju kursi sofa. Ia merebahkan badannya disana. Di susul Randi. Sedang Siska dan Ainara ada di ranjang UKS. Aku? Aku duduk di depan UKS sendirian. Entah mengapa, aku pun berfikir pernah merasakan hal ini sebelumnya. Terisolasi di sekolah dan di musuhi teman-teman baikku. Lalu…

Whussss!

Sontak aku terkejut. Sepintas aku melihat sekelebat cahaya hitam melintas di depan ruang komputer. Aku merinding. Banyak ruang kelas yang lampunya tidak menyala tiba-tiba. Sedang Pak Armin, satpam yang biasa menjaga sekolah di malam hari juga belum kelihatan. Janjinya mau datang dan membawa tukang ojek untuk kami berlima. Aku masuk ke UKS kerana cemas. Sepertinya aku memang melihat sosok menyeramkan itu. Persis seperti apa yang pernah Ainara lihat juga di sudut perpustakaan.

“Mas, Dimas…” lirihku menggoyang badannya.

“Apaan sih?” sahutnya terganggu.

“Ayo, kita keluar dari sekolah, aku merasa tak enak. Ada yang akan menimpa kita kayaknya..”

“Tahayul!” jawabnya lalu kembali tidur. Aku berjalan mendekati Randi. Melakukan hal yang sama.

“Aku ngantuk, Al. Besok aja kita pulangnya. Lagian mau jalan ke lintas terlalu jauh. Hujan juga belum reda…” sahut Randi sambil membaringkan badannya malas. Aku mendecak. Suara petir sambar menyambar dan membuat suasan semakin menceka. Suara derap langkah kaki terdengar ke arah ruang UKS. Di depan pintu, aku melihat lelaki berbaju hitam memegang sebilah kapak mengarahkan ke pintu. Matanya memandang tajam ke arahku. Bahkan tatapan itu sungguh membuatku takut. Aku membangunkan Ainara setengah berbisik,

“Ai. Ainara. Ba-bangun, Ai. Ada orang di luar sana.” bisikku cemas. Mungkin tidak meresponnya Ainara kerana dia sudah terlelap.

“Riska. Bangun Ris…” aku cuba membangunkan gadis berkaca mata itu. Semua diam. Tidak ada yang merespon. Lelaki di luar sana masih menatapku garang. Wajahnya pucat pasi. Menyeramkan.

Braaaak!

Lelaki itu mencuba membuka pintu ini dengan paksa. Sontak mereka semua terkejut. Ainara dan Riska segera keluar, Randi dan Dimas sontak bangkit dan bertanya-tanya padaku. Siapa orang yang menggedor pintu itu?

Braaak! Dubraaaak! Greppak! Suara hantaman itu terus terdengar hingga pintu ruang UKS terbuka.

“Hwaaaa!” kami semua berteriak saat melihat lelaki berjubah hitam yang tubuhnya di timpa cahaya kilat terkesan menakutkan. Wajahnya memang pasi, bahkan terlihat remuk dan hancur. Aroma tubuhnya angker. Tinggi, besar, dan matanya tajam. Persis seperti lelaki yang ada dalam mimpiku. Aku terbayang dengan kejadian yang akan menimpa kami. Serta merta ku ambil kursi kayu dan ku lemparkan pada lelaki itu. Dia mengelak. Berjalan perlahan lalu mendekatiku. Aku berjalan mundur menghindarinya. Tatapan mata lelaki itu membuatku cemas, takut.

“Si-siapa kamu?!” tanyaku menggertak. Lelaki itu mengangkat kapaknya dan mengarahkan padaku.

“Hwaaa! Toloooonggg!” teriak Riska dan Ainara bergantian. Mereka terus berteriak meminta tolong. Randi dan Dimas ketakutan luar biasa, mereka bersembunyi di balik meja. Aku menarik tangan Ainara dan Riska lalu membawa mereka lari menuju ke ruang BP yang ada di sebelah ruang ini. Lelaki itu menghadang. Aku menancapkan gunting di lengannya saat lelaki itu hendak memukulku dengan kapak. Blesss! Aku menusuknya kuat.

“Arrrgghh!” teriak lelaki itu kesakitan. Aku menendang lututnya hingga itu bertekuk kesakitan. Ku tendang sekali perutnya. Ia pun limbung merintih.

“Randi, Dimas! Ayo cepat keluar.” Pekikku pada mereka. Serta merta kedua temanku itu keluar dari balik meja dan menghampiri kami. Lalu kami semua berlari di terpa hujan menuju pintu gerbang sekolah.

“Aaaaaaaaa!” jerit Ainara saat melihat mayat Pak Armin tanpa kepala tersangkut di teralis pagar gerbang. Sontak kami semua terkejut. Pakaian satpamnya tercabik-cabik. Riska pingsan di tempat. Aku panik. Pintu gerbang terkunci. Apa kami boleh jika harus melompati pagar setinggi sepuluh meter ini tanpa menggunakan tangga? Kalau aku boleh saja melakukannya, tapi bagaimana dengan Riska dan Ainara, Randi dan Dimas?

“Mau kemana, korang ?” suara aneh terdengar dari arah lobi sekolah. Kami melihat sosok berjubah hitam berjalan terseok-seok mengejar kami. Dimas dan Randi menggotong Riska atas perintahku dan kami mencuba mencari jalan keluar lewat pagar di belakang sekolah. Ainara ada di belakangku, aku menggenggam tangannya erat. Dia begitu tampak ketakutan.

“Kita keluar lewat mana? Semua pintu terkunci?” tanya Dimas panik. Aku juga jadi ikut panik. Percuma berteriak minta tolong, tidak ada yang akan mendengar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience