BAB 5

Horror & Thriller Completed 98

Kerana menemui jalan buntu, kami hanya berlari-lari di koridor sekolah yang yang tidak tahu lagi kemana kami harus berlari. Untungnya Riska telah sadar. Jadi tidak terlalu merepotkan. Aku meminta agar mereka membantuku memikirkan cara agar boleh keluar dari sekolah ini. Semua tampak panik berfikir. Tiba-tiba kami di kejutkan lelaki berjubah hitam itu yang muncul dari tempat lain. Lelaki itu berhasil menangkap Randi. Aku dan Dimas mencuba melepas cengkraman itu dengan memukul anggota tubuh lelaki jangkung itu. Dia terus melawan. Kemudian memukul kepala Randi hingga Randi pingsan dan tak sadarkan diri. Riska menjerit, Ainara menangis. Aku shock, Dimas apalagi. Kerana tidak mungkin boleh menyelamatkan Randi, kami memutuskan mencari tempat yang lebih aman. Aku dan Ainara bersembunyi di balik rak-rak perpustakaan. Nafasku tersengal-sengal. Begitu juga Ainara. Kami berbisik tatkala saling memandang. Hening. Suara di ruang perpustakaan ini benar-benar hening.

“Kemana Riska dan Dimas?” tanya Ainara panik.

“Entahlah, tapi mereka sepertinya ke ruang komputer…”

“Apa kita aman disini?”

“Kita lihat saja…”

Lama aku dan Ainara termenung di ruang perpustakaan. Kami sama takut dan cemasnya. Di ruang komputer sana, kami sempat mendengar suara teriakan Riska dan Dimas, sepertinya mereka ketahuan. Kami juga mendengar suara Riska yang melawan lelaki berjubah hitam itu. Suara benturan dan pukulan meja terdengar kacau. Dimas berulang kali mengahantamkan kursi ke lelaki berjubah hitam itu. Mereka bertengkar hebat. Lalu selang beberapa saat hening. Tenang. Sepi dan mencekam.

“Apa orang itu membunuh Riska dan Dimas?” lirih Ainara dengan bibir bergetar. Sangat ketakutan. Aku mendekapnya agar dia tenang.

“Aku harap tidak. Semoga mereka baik-baik saja…”

Braaak! Upsss! Segera aku menutup mulut Ainara yang nyaris berteriak saat mendengar pintu perpustakaan di dobrak.

“Dia datang…” bisikku di telinga Ainara. Dia mengagguk mengerti.

“Dimana korang …?” tanya lelaki itu garang. Ainara tampak ketakutan, air matanya menetes. Aku memeluknya semakin erat. Mendekapnya hangat.

“Tenang, aku akan melindungimu…” bisikku di telinga Ainara. Suara langkah kaki lelaki itu terdengar jelas di atas lantai. Bayangan itu jelas terlihat saat petir sesekali menyambar. Dia tidak terlalu jauh dari posisi kami yang bersembunyi di balik rak nomor tiga.

“Kalau lelaki itu masuk di gang rak empat, kita lari dan langsung keluar, kau mengerti?” tanyaku pada Ainara. Dia mengangguk seiring menangis pelan. Sedangkan lelaki berjubah hitam itu mengobrak-abrik rak demi mencari keberadaan kami. Dia terus berteriak kasar. Entah apa yang di inginkannya dari kami.

“Hitungan ketiga, kita lari…” desisku.

“Satu….dua…tiga!” aku menarik tangan Ainara dan membawanya lari secepat mungkin, sedangkan lelaki itu melemparkan kapaknya dan tidak kusangka mengenai betis Ainara. Gadis itu terjatuh. Dia merintih kesakitan, aku melihat Ainara lemah dan tidak sanggup lagi berlari.

“Ayo, bangun. Kita harus keluar..” ujarku menyemangati Ainara.

“Kakiku sakiiit…” Ainara menangis. Lelaki berjubah hitam itu pun keluar dan berjalan mendekati kami. Langkahnya terseok-seok, tapi lumayan cepat. Tanpa pikir panjang aku meraih lengan Ainara dan memapahnya keluar dari tempat ini.

“Pelan, Alfi…kakiku sakit…”

“Akan lebih sakit, jika lelaki itu memotong-motong tubuhmu…” kataku gusar selagi memapah Ainara. Lelaki di belakang kami semakin cepat mengejar, dia berhasil meraih pundak Ainara. Aku melawan dan mencuba melepaskan cengkramannya itu.

“Lari, Alfi! Lari!” teriak Ainara.

“Heerggh, lepaskan Ainara, siapa kau? Bangsat!” kataku cemas seraya melakukan perlawanan. Aku berhasil membuat Ainara lepas. Gadis itu menangis dan terduduk di teras. Aku mengambil kayu dan batu. Kemudian memukulkannya pada lelaki itu. Lelaki itu masih boleh melawan. Aku memukul kepalanya. Berdarah. Aku menghantam perutnya. Dia merintih kesakitan. Lelaki yang semakin melemah kekuatannya itu aku manfaatkan dengan memukul bagian tubuhnya yang sudah terluka sebelumnya. Dia terjatuh, tapi sukses menarik kemejaku. Aku ikut terguling bersamanya. Dia mencekikku kuat. Aku sesak nafas. Tanganku meraba-raba batu yang tadi sempat aku genggam, setelah dapat, aku langsung menghantam kepalanya hingga memuncratkan darah. Lelaki itu terkapar. Aku terbaring lemah tak berdaya. Nafasku tersengal-sengal. Hujan turun deras dan membuat suasana kacau hingga hatiku serasa di iris sembilu. Aku mendekati Ainara dan membantunya lagi memapah, lalu kami segera meninggalkan sekolah malam itu juga.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience