BAB 3

Horror & Thriller Completed 98

“Alfi, tunggu!” teriak seorang wanita saat aku berjalan di koridor. Aku membalikkan badan. Ainara?

“Eh, aku duluan yah.” lirih Dimas yang ada di sampingku.

“Aku juga Al, mamah udah nunggu di depan..” sela Riska kemudian.

“Oh, oke…” sahutku pada mereka berdua.

“Sampai ketemu besok, Al…” tukas Dimas lalu berjalan bersamaan dengan Riska menuju gerbang. Aku mengangguk pelan. Ku lihat lagi Ainara yang berjalan semakin mendekatiku. Ia berhenti beberapa langkah di depanku.

“Sory, ngganggu…” lirih Ainara rikuh.

“Tak apa-apa. Ada apa, Ai?” tanyaku kemudian.

“Begini…”

“Ciehhhh. Yang lagi PDKT…” tiba-tiba Randi dan dua orang temannya datang dari belakang menghampiri kami lalu kembali berlalu seraya tertawa. Kontan aku jengah dengan tatapan mereka. Kami pun berjalan berdua menuju halaman parkir. Ainara belum membuka pembicaraan. Dia masih malu sepertinya. Perlahan aku menatap wajahnya.

“Mau ngomong apa tadi…?” tanyaku pada gadis itu.

“Begini, Al. Kemaren pagi, tak aku sengaja lihat kamu sibuk berkutat di depan meja kelas. Kayaknya serius gitu, sampai-sampai aku penasaran. Terus, saat kamu istirahat dan pergi ke lapangan basket, aku iseng liatin apa yang kamu kerjain. Ternyata ada gambar anak cowok seusiamu, di ikat di atas tiang dekat sebuah batu dolmen gitu, memangnya dia siapa? Kok, sepertinya gambar itu kayak bermakna…”

“Maksudmu?”

“Yah, aku ngerasa gambar itu hidup aja. Seperti ungkapan perasaan hatimu yang paling dalam. Apa, gambar itu hanya terlintas begitu saja di dalam pikiranmu. Atau kami merasa pernah melihat sesuatu…?”

“Hmmm, aku juga kurang tahu, Ai…” lirihku sambil berjalan. Udara dingin serta merta mengelus kulit tanganku.

“Tapi, aku memang pernah mengalami mimpi itu. Cowok yang kamu maksud itu, seolah adalah aku. Soalnya, mimpi itu selalu datang berkali-kali dalam lelapku. Aku juga tak tahu itu hanya bunga tidur atau suatu isyarat untukku. Yang jelas aku selalu menggambar mimpi itu seperti ada yang memintaku untuk melukiskannya…”

“Ohh…” lirih Ainara mengimbangi langkahku.

“Eh iya, Ai. Ngomong-ngomong, aku jadi ingat sesuatu…” kataku padanya.

“Apa?” tanya Ainara ingin tahu.

“Kayaknya, waktu kamu memperkenalkan diri di depan kelas waktu itu, seolah aku sudah pernah melihatmu sebelumnya, kamu berdiri di sana, memakai pakaian SMA, menatapku tersenyum, lalu saat kita berpandangan. Terus, waktu kita di kantin siang tadi, aku kayak udah mengalami kejadian serupa. Nah, tadi waktu les pun, kayaknya aku pernah mengalami apa yang aku dan Randi lakukan. Kira-kira itu halusinasi atau…”

“Deja Vu!”

“Deja Vu?”

“Ya, itu namanya Deja Vu. Sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa yang baru sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Ya ‘kan?”

“Haa, iya. Bener. Aku sepertinya mengalami hal itu. Terus, kira-kira kenapa ya deja vu itu boleh datang kepada seseorang?”

“Hmm, aku tak tahu pasti jawabannya. Tapi yang jelas, semua makhluk yang pernah hidup di bumi pasti pernah merasakan deja vu. Bahkan aku juga pernah.” Kelakar Ainara bijak. Aku hanya bersungut-sungut mengiyakan apa yang di katakan gadis cantik di sebelahku ini. Beberapa teman sudah ada yang pulang, sebagian masih ada yang duduk-duduk di depan kantor guru, ada yang di depan koridor perpustakaan, ada yang di parkiran, ada yang masih duduk di depan tiang bendera sekolah. Yah, suasana di sekolah sekilas tampak seperti tempat nongkrong anak remaja di alun-alun kota pada umumnya. Hanya bedanya, sekolah kami agak terpencil. Jauh dari keramaian. Tapi ini salah satu sekolah favorite dan bagus.

“Oh ya, Al. Boleh tanya sedikit hal pribadi tak ?” tanya Ainara kemudian.

“Boleh, memang, mau tanya apa?”

“Tapi jangan marah, yah?”

“Insya Allah.”

“Hmmm…” Ainara tampak malu-malu. Wajahnya memerah saat menatap wajahku lekat. Aku jadi agak gerogi, apa dia mau bicara kalau suka sama aku? Ta-tapi, bukannya dia sudah tunangan? Ainara masih diam. Dia melihat wajahku lagi dengan tatapan agak salah tingkah. Di bawah pohon akasia aku dan Ainara berdiri saling memandang, dalam suasana remang-remang.

“Mau tanya apa, sih?” aku malah penasaran. Tiba-tiba wajah Ainara tampak tegang. Panik, atau gelisah. Lalu.

“Alfi! Aku duluan yah…” sambung Ainara kemudian berlalu cepat meninggalkanku begitu saja.

“Ainara?” aku memanggil seraya mengikuti langkahnya yang menuju ke arah gerbang sekolah. Sempat aku melihat dia menatap gedung perpustakaan di sudut sekolah ini. Agaknya Ainara memang melihat sesuatu. Tapi apa? Aku merinding saat melihat lelaki bertubuh hitam, besar dan tinggi tiba-tiba muncul di sudut perpustakaan itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience