Sedikit cerita tentang Darmawan.
Semua harta yang dimiliki beserta aset-aset nya semua atas nama istrinya, karena Darmawan sendiri hanyalah mengelola saja, semua harta yang dimiliki murni milik dari sang istri.
Darmawan memperistri Erika dulu dalam keadaan tidak memiliki apapun, Darmawan hanya bermodalkan tampang saja, Darmawan merupakan seorang lelaki miskin yang kebetulan memiliki nasib baik bisa memperistri majikannya.
Dulu dia bekerja sebagai sopir pribadi Erika, yang dimana selalu mengantarkan kemanapun Erika pergi.
Oleh karena interaksi yang sering terjadi di antara keduanya, menimbulkan benih ketertarikan di hati Erika, di Mata Erika Darmawan sangat baik dan begitu santun.
Ketertarikan Erika disampaikan kepada orang tuanya yang berniat untuk menjadikan darmawan sebagai suaminya. Orang tua Erika yang memang tidak pernah membeda-bedakan status pun tidak menentang keinginan Sang Putri.
Apalagi saat Darmawan pun tidak keberatan dengan keinginan Erika, akhirnya mereka pun menikah dengan semua biaya pernikahan ditanggung oleh keluarga Erika.
Meskipun Erika sangat Bucin kepada Darmawan, tak lantas membuat perempuan itu menjadi bodoh dan menyerahkan semua harta miliknya kepada Darmawan.
Saat laki-laki tersebut meminta untuk memindahkan aset atas namanya, dengan tegas Erika menolaknya, mereka hanya memberikan mandat untuk mengelola perusahaan saja dan tentunya atas bimbingan orang-orang yang sudah berpengalaman di bidangnya.
Erika sangat tahu jika aliran dana selalu mengalir deras kepada keluarga Darmawan, tapi sama sekali Erika tak pernah mempermasalahkannya, tak ada salahnya berbagi itulah pemikiran Erika.
Asal Semua masih dalam batas kewajaran, Erika akan tetap diam dan membiarkannya begitu saja.
Satu tahun terakhir, Erika mulai mencurigai jika sang suami mulai bermain serong darinya, bahkan aliran dana mulai keluar besar-besaran beberapa bulan terakhir, dan itu bukan untuk keperluan perusahaan.
Erika mulai menyelidiki dan ingin tahu kemana sebenarnya uang itu mengalir.
***
"Di jalan Muhammad Karim pas di Simpang tiga dekat dengan lampu merah, ada ruko di sewakan loh Din, kamu nggak ingin mencoba membuka toko kue di sana? langgananmu sudah lumayan banyak loh...!"kata Sari memberitahu.
"Harga disewa di sana lumayan mahal loh mbak, yang aku khawatirkan Tidak sesuai dengan pemasukan ku...!"jawab Nadin.
"Belum perang kok sudah takut kalah? Bukan Srikandi itu namanya...! Ayo sih, optimis dong orang berjalan itu ada ritmenya, masak mau jalan kaki terus? Harus ada peningkatannya dong? Naik motor, setelah itu naik mobil? Kan jangkauannya bisa jauh?"kata Sari menyemangati Nadine yang kurang percaya diri.
"Uang dari kantor masih mengalir kan? Juga uang 100 juta yang itu hari masih utuh juga kan? Tak ada salahnya loh Kamu pakai untuk investasi? Ayolah semangat, jangan pesimis! semangat Nadine semangat." Sari kembali mencoba membakar semangat Nadine untuk maju.
"Siapa tahu, nanti di sana kamu akan mendapatkan pelanggan yang lebih menjanjikan lagi...!"kata Sari.
Nadine terdiam memikirkan apa yang dikatakan oleh Sari, dia mencoba menimbang-nimbang apa yang seharusnya dilakukan.
Letak ruko yang dikatakan oleh Sari memang sangat strategis lokasinya, Dan itu menjadi daya tarik tersendiri Jika dia menyewanya nanti.
"Mbak Sari ada waktu kapan? kita lihat dulu lokasinya, kalau cocok aku ambil deh!"jawab Nadine.
"Ajak Mbak Ine sekalian dunk mbak, nanti Mbak ine nya ngambek pula Kalau ditinggal!" kata Nadine lagi.
"Tapi Ine kerja shift malam dia, mana ada waktu untuk kita ajak mengecek lokasi itu, yang ada nanti diembat orang duluan!" jawab Sari.
"Paling tidak kita kabari dulu mbak Ine nya, Jangan karena hal sepele malah membuat hubungan kita retak lo mbak!"Nadine memperingatkan sesuatu yang akan terjadi jika tak melibatkan Ine dalam masalah ini.
"Iya juga ya? Ya sudah kalau begitu, aku akan menghubungi ine dulu!"setelah berkata begitu Sari pun langsung menghubungi Ine dan menanyakan waktunya Apakah bisa atau tidak.
"Di jam makan siang saja sih Mbak, aku bisa kayaknya! lokasinya dekat dengan tempatku kerja kan? aku tunggu saja di sana!"jawab Ine yang kemudian mematikan sambungan teleponnya.
"Jam makan siang saja kata ine, Bagaimana kalau menurutmu?" tanya Sari kepada Nadine.
"Nggak papa sih, tapi Gibran nggak aku ajak lah Mbak, kasihan panas!" kata Nadine.
"Terus? Mau kamu titipkan lagi kepada Mbak Rahma?"tanya Sari.
"Ke mana lagi mbak? hanya sama Mbak Rahma aku tenang menitipkan Gibran selain kepada mbak Ine dan juga Mbak Sari...!"jawab Nadine.
"Iya juga sih, Mbak Rahma itu orangnya sangat penyayang, kalau yang tidak tahu mungkin akan menganggap Gibran itu anaknya Mbak Rahma saking dekatnya mereka...!"kata Sari menimpali perkataan Nadine.
"Mbak Rahma itu sebenarnya pengen punya anak loh, tapi sayang Mbak Rahma tidak ditakdirkan untuk itu, sampai kapanpun Mbak Rahma tidak akan memiliki anak!"Nadine bercerita.
"Kadang kalau kita lihat dari sisi itu kita akan berkata kalau Tuhan itu tidak adil, tidak memberikan kepercayaannya untuk wanita sepenyayang Mbak Rahma, tapi apalah kita sebagai makhluk, tentu Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk umatnya!"kata Sari.
"Nah itu Mbak, itu yang kumaksud! Aku pun tidak akan menghujat Tuhanku dengan garis takdir yang aku jalani, aku yakin akan ada pelangi setelah hujan!"jawab Nadine kemudian.
"Nanti kita berangkat jam 11.00 aja dari sini, Kita duluan lihat-lihat saja tidak apa-apa, toh Ine tempat kerjanya juga tidak jauh dari sana, nanti saat jam makan siang biar Ina langsung menyusul ke lokasi saja! bagaimana menurutmu Din?" tanya Sari.
"Oke... begitu juga boleh...!"jawab Nadine.
"Aku akan mempersiapkan keperluan Gibran dulu, apa ya Mbak Rahman nanti tidak terlalu kepayahan dalam mengurus Gibran...!"setelah berkata demikian Nadin langsung mempersiapkan apa yang diperlukan Gibran.
Mulai dari baju ganti Pampers serta mainan milik Gibran, tak lupa dia menakarkan susu formula untuk diberikan kepada Gibran jika haus, tak lupa disiapkannya juga bubur siap saji yang biasa dijadikan sebagai pendamping ASI oleh Nadine.
"Sudah siap mbak, kita ke rumahnya Mbak Rahma dulu yuk? kita ngobrol-ngobrol sebentar di sana, tak enak juga kalau langsung pergi!"kata Nadine.
Mereka pun langsung pergi menuju ke rumahnya Rahma katanya dengan maksud untuk menitipkan Gibran di sana.
Sesampainya di rumahnya Rahma, Rahma sangat antusias menyambut kedatangan Gibran, langsung diambilnya Gibran dari gendongan Nadine.
"Pasti si ganteng mau dititipkan di sini kan? dengan senang hati...! pergi agak lama juga nggak papa, Aku senang malahan lebih lama lagi bermain dengan si gembil ini...!"kata Rahma dengan menciumi pipi Gibran dengan gemas
"Mbak Rahma tau saja sih...!" jawab Nadine dengan tersenyum kepada Rahma.
Share this novel