Bogem mentah

Romance Series 5632

"Maaf tidak bisa, uang itu untuk tabungan sekolah Gibran kelak!" tolak Nadine masih dengan nada yang sangat tegas.

"Jangan serakah kah kamu Nadine, uang itu adalah milikku, aku yang bekerja aku yang memeras keringat aku yang membanting tulang! kenapa kamu malah ingin menguasainya sendiri?"Kata Damar dengan sedikit menahan amarahnya.

"Itu adalah uang dari perusahaan di luar uang gajimu, terkhusus untuk kami para istri!" Nadine menekan kata terkhusus dalam penjelasannya berharap Damar sadar dari rasa tamaknya.

"Tapi kalau aku tidak bekerja di sana, kamu juga tidak akan mendapatkan uang itu, lagian setiap bulannya aku juga sudah memberikannya kepadamu!" bantah Damar.

"Kamu masih mengungkit uang tak layak yang kamu berikan kepadaku? Uang yang kamu berikan kepadaku Bahkan tak ada separuh dari jatah perusahaan! tak ada 10% dari uang yang setiap bulannya kamu terima dari perusahaan! mau membahasnya lagi? Waras kamu?"Tanya Nadine.

"Sudah, nggak usah banyak cincong! intinya aku tidak akan memberikan apa yang kamu mau! pergilah! Apa kamu masih mau menunggu bogem mentah? Dengan senang hati aku akan memberikannya! kebetulan juga, sudah lama tanganku ini tidak melakukannya!"lanjutnya lagi.

Seketika Damar teringat dengan masa lalu mereka berdua, di mana saat itu dengan sangat lincah Nadine menghajar beberapa preman yang memalak Damar di sebuah jalan sepi, kelima preman yang menghadang Damar saat itu dibuatnya tumbang hanya dengan tangan kosong.

Damar meneguk salivanya dengan sangat susah payah karena mengingat kejadian tersebut, dirinya sedikit takut dengan Nadine jika mengingat hal itu.

"Bagaimana? Siap jadi samsak ku? Dengan senang hati!" kata Nadine.

Setelah berkata demikian Nadine pun berfokus menimang Sang putra, ia tahu jika mantan suami yang ada di hadapannya itu kini telah pucat pasi.
Dalam hati dia tertawa cekikikan karena ternyata sang suami Tak memiliki nyali yang lebih untuk melawannya.

"Mas mas! kalau masih belum punya taring jangan coba-coba untuk memangsa! keok kan?" Batin Nadine penuh senyuman.

Tak bisa meminta dengan cara kasar, kini Damar mencoba menghiba dan meminta secara halus, dalam hati Damar benar-benar Tak rela jika uang itu dikuasai oleh Nadine sendiri, apalagi jika dia mengingat nanti setiap bulannya Nadine masih menerima uang dari kantor tempatnya bekerja.

"Kasihanilah aku dek, sekarang gajiku tak sebanyak dulu lagi, mungkin setiap bulannya aku hanya akan menerima separuh dari apa yang aku hasilkan selama ini!" kata Damar mencoba mencari simpati mantan istrinya.

"Setiap bulan nanti kamu masih akan menerima uang dari kantor Dek, tak kan kamu tidak cukup dengan uang itu? Selama ini Bahkan kamu cukup dengan 300.000 saja setiap bulannya setelah Gibran lahir!'' lanjut Damar lagi yang semakin membuat Nadine merasa geram dibuatnya.

"Mending kamu pergi deh Mas, aku takut aku tak bisa mengontrol emosiku! kecuali kamu siap untuk babak belur di tanganku, silakan saja kamu di sini menunggu aku melayangkan gamparan kepadamu!" kata Nadine secara terang -terangan mengusir laki-laki yang masih berstatus suaminya di catatan negara.

"Deek...!"Kata Damar.

"Oke...!"kata Nadine singkat, tapi jawaban Nadine berhasil membuat Damar salah sangka, jawaban apa yang diberikan oleh Nadin dikira Damar menyetujui permintaannya.

"Terima kasih ya Dek..!"ucapan terima kasih Damar membuat Nadin bingung kemudian bertanya.

"Untuk...?"Tanya Nadine.

"Tadi kamu bilang oke, Bukankah itu berarti kamu menyetujui permintaanku?"Jelas Damar.

"Rupanya kamu salah paham, biar aku jelaskan sekali lagi! uang deposito yang aku rencanakan untuk tabungan pendidikan Gibran, akan tetap seperti itu! untuk masalah mu, itu bukan urusanku lagi!"kata Nadine.

"Tapi dek...!"Damar hendak protes.

"Tak paham bahasa manusia rupanya, baiklah,,, tunggu sebentar!" kata Nadine berlalu dari rumahnya menuju ke rumah tetangganya untuk menitipkan Gibran sebentar.

Tak lama Nadine pun kembali, lalu menghampiri Damar.

Nadine menyingsingkan lengan kaosnya sampai lengan atas, hal tersebut sukses membuat Damar bingung dan memicingkan matanya.

"Kamu mau duel atau siap jadi samsak untukku saja?" Tanya Nadine menghampiri Damar.

Damar yang mulai sadar dengan apa yang diucapkan oleh Nadine pun beringsut mundur, ia sadar jika kini Mantan istrinya tersebut masih dalam mode marah dan hendak menghajarnya.

Selangkah demi selangkah Damar pun mundur, sampai pada akhirnya dia mentok di sebuah pohon yang ada di depan rumah Nadin. Wajah Damar cukup pucat pasi karena sudah tidak bisa bergerak.

Nadine memukul-mukul kan tangan satu ke tangan yang lainnya dengan satu kepalan tertinju, senyum menyeringai terlihat di wajahnya, "Bagaimana?"Tanya Nadine.

"A...ampun dek!"Damar tergagap.

"Tapi sayangnya Ampun untukmu sudah hilang waktunya, aku sudah memberimu kesempatan untuk pergi agar tak merasakan bogem mentah ku! tapi rupanya kamu lebih menginginkan pelajaran sebagai pengingat mu!"jawab Nadine yang masih ingin bermain-main dengan ketakutan Damar.

"Jangan dek, ampun...!"sekali lagi Damar meminta ampunan Nadine.

"Tenang saja mas, tidak sakit kok..!"kata Nadine yang langsung melayangkan kepalan tangannya ke perut Damar.

Damar langsung meringis kesakitan saat pukulan itu mendarat di perutnya, tapi Damar cukup merasa lega karena Nadine tak melayangkan pukulannya kembali.

Tanpa menunggu pukulan untuk kedua kalinya, Damar lari terbirit-birit dengan memegangi perutnya yang sakit.

"Dasar wanita barbar! sinting...!"umpat Damar saat tempatnya berdiri sudah agak jauh dari Nadine.

"Terima kasih...! pujianmu akan selalu kuingat, kalau kangen dengan rasanya! kamu boleh datang kembali kepadaku! dengan senang hati aku akan memberikannya, gratis dan tak perlu dipungut biaya!"kata Nadine dengan tersenyum manis ke arah Damar.

Senyum manis yang diberikan oleh Nadine semakin membuat Damar ngeri di buatnya.

Setelah Damar sudah tak terlihat dari pandangannya, Nadine pun berlalu ke rumah tetangganya yang tadi dititipi oleh Nadine tadi untuk mengambil Gibran.

"Terima kasih ya Mbak Rahma, Maaf sudah merepotkan Mbak Rahma!"kata Nadine dengan mengambil Gibran dari gendongannya.

"Nggak apa-apa Din, Gibran tidak merepotkan kok, Kalau kamu masih repot, biar di sini dulu saja gibran nya!" jawab Rahmat yang merasa tidak keberatan dititipi Gibran.

"Mbak Rahma ini memang baik banget, Sebenarnya aku sedang ada pesanan yang mau diambil nanti jam 03.00 sore, beneran nih Mbak Rahma tidak keberatan menjaga Damar?"Tanya Nadine sekali lagi memastikan.

"Lha wong sudah seringkali aku bilang loh Din, Kalau kamu sibuk Gibran nya bawa ke sini saja! Kamu kan tahu sendiri kalau aku tidak memiliki anak, dan aku sudah menganggap Gibran sebagai anakku sendiri, dia tidak pernah merepotkan aku kok, justru aku bahagia karena tidak merasa kesepian karenanya!"dengan penuh bahagia Rahma menjelaskan.

"Ya udah deh kalau begitu, Gibran baru saja sudah aku suapin Mbak, mungkin nanti kalau dia rewel minta susu saja, nanti aku antarkan susunya ke sini, biar minum susu formula saja!"kata Nadine pamit undur diri.

"Nggak usah Kamu anterin ke sini Din, nanti biar Mbak Susi saja yang ke tempatmu untuk mengambil susunya!"jawab Mbak Rahma.

Susi adalah art yang dipekerjakan oleh Mbak Rahma di rumahnya, tapi kata Mbak Rahma lebih tepat dijadikan teman bukan Art.

Nadine pun pulang ke kontrakannya, untuk membuatkan kue kering pesanan pelanggannya, sore ini Nadin mendapatkan pesanan 3 loyang brownies, dan juga 3 toples kue kastengel.

Sedikit demi sedikit usahanya cukup dikenal oleh banyak orang, apalagi harga yang ditawarkan oleh Nadine tidak terlalu tinggi, dan itu cukup menarik minat pembeli.

Pukul 02.00 siang kue-kue yang dibuat oleh Nadine sudah selesai, tak lupa ia memberikan sedikit kue yang dibuatnya kepada Rahma sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah menjaga Gibran.

Rahma sendiri memiliki seorang suami yang selalu bekerja di luar kota, pekerjaannya apa Nadine sendiri tidak begitu paham, yang jelas suami Rahma akan pulang setiap 2 minggu sekali kadang 1 bulan sekali.

Rahma pernah bercerita bahwa dirinya tidak akan memiliki anak sampai kapanpun, saat dirinya memeriksakan diri ke dokter dirinya dinyatakan mandul dan tidak bisa dibuahi sel telurnya.

Sejujurnya Rahma lebih memilih untuk ditinggalkan saja oleh suaminya, karena permintaan keluarga sang suami yang menginginkan untuk Rahma mengikhlaskan suaminya poligami membuat Rahma tak sanggup untuk bertahan. tapi saat sang suami lebih memilih mempertahankannya, maka dengan sukarela Rahma mengabdikan diri sebagai istri dari suaminya tersebut.

"Aku lebih baik hidup sendiri Din daripada harus berbagi suami, aku tidak menentang poligami asalkan yang menjadi pelakunya itu bukan suamiku! aku bukanlah wanita di zaman Rasulullah yang bisa dengan legowo menerima sebuah poligami, aku hanya seorang wanita akhir zaman yang tak mampu melepaskan suaminya untuk wanita lain!"kata Rahma saat bercerita kepada Nadine.

Tapi entah mengapa feeling Nadin mengatakan Jika suami Rahma sudah memiliki istri lain selain Rahma.

"Bagaimana jika ternyata suami Mbak Rahma sudah memiliki istri yang lain?" Tanya Nadine saat itu memancing.

"Aku tidak akan marah, dengan sukarela bukan mengundurkan diri, aku lebih memilih jalan surga yang lain!"kata Rahma.

Lamunan Nadine kembali saat ponsel miliknya berbunyi, rupanya pemesan sudah menghubunginya dan hendak menjemput kue pesanannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience