BAB 4

Drama Completed 215

Zulfekar berdiri di depan punggung seseorang. Wanita, dengan rambutnya yang tidak begitu tampak dengan jelas, kerana terbalut sesuatu yang berwarna putih. Dihadapnya tampak pula tarian-tarian api kecil lilin. Bayangan hitam di dinding membentuk suatu gambaran wajah. Dari bayangan yang tampak, wanita itu terlihat anggun, bulu matanya tampak lentik dan sedikit terangkat. Bukan salah, dia Lilian. Satu-satunya yang membuat Zulfekar masih enggan membenci malam, selain lilin.

“Hari ini telah masanya tiga, bukan?” tutur wanita itu.

“Tiga, dan belum masanya habis. Tersisa dua atau lebih untuk malam berikut.” ujar Zulfekar .

“Lantas, setelah semua habis?” tanya wanita itu.

“Seperti semula. Aku akan membenci malam. Kerana pekat tanpa nyala sama saja dengan sunyi. Dan itu satu langkah sebelum mati.” jawab Zulfekar dingin.

“Mati ?, bukankah itu hanya soal waktu?”

“Benar. Bukan salah siapa, hanya waktu. Dan dari semula aku memang tidak dapat menerima. Aku memang membenci malam.” Tutur Zulfekar .

Kemudian wanita itu membalikkan badan. Wajahnya sedikit gusar. Entah kerana perkataan lelaki itu yang mungkin baginya terasa tidak tepat.

“Bukankah seharusnya memang demikian, Zulfekar ? Tiada lain dan hanya malam yang melumat senja. Hanya langit yang menenggelamkan matahari. Dan hanya waktu yang menjemput ajal.” Tutur wanita itu.

“Ada masanya itu rahsia . Supaya ada yang tidak bersiap-siap. Untuk hal ini, aku memilih menjadi seseorang yang memang tidak tahu sama sekali, seharusnya. Kerana berpura-pura tidak mengerti namun sangat faham dengan keadaan adalah sia-sia. Menjadi benar-benar tidak mengerti lebih baik. Masih tersisa dua puluh sembilan mimpi lagi, bukan?” kata Zulfekar .

“Tiada guna menyesal sekarang. pilihanmu adalah harapanmu. Seandainya itu tidak terjadi atau terjadi sekalipun, aku khawatir tidak mengubah apapun”

“Entahlah. Memang bukan seharusnya berbicara soal harapan. Apapun itu jarang menyentuh kenyataan. Seperti yang kamu atau orang-orang di sini pilih. Bahawa satu dari tiga puluh mimpi itu terkait dengan waktu dan batas. Sebuah kepahitan yang mendera manis.” tutur Zulfekar .

Lantas kemudian wanita itu tersenyum. Tampak begitu hangat, ketika dipadu dengan remang-remang cahaya api kecil lilin yang kini telah susut setengah bagiannya. Bagi Zulfekar , Lilian adalah api kecil, namun nyalanya begitu besar. Lilian adalah sebahagian dari lilin yang menjadi nafas kehidupannya. Lilian adalah Lilian. Dengan senyum hangat yang terlihat bahagia, walaupun bagi Zulfekar tampak seperti tangis yang sedemikian beratnya.

Sejalan dengan matinya lilin, Zulfekar pergi melangkahkan kaki menjauh. Seperti yang memang ia benci. Matinya api kecil lilin. Berapapun itu. Seribu, seratus, atau satu sekalipun.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience