“Bram, Kita tinggal di dunia dimensi tiga, Aku, kamu, binatang, tumbuhan dan masih banyak lagi. Alam semesta kita terdiri dari berbagai macam dimensi. Empat, lima atau enam, entahlah..” Aku sejenak merebahkan badan di atas rumput, lalu menarik ranselku untuk dijadikan bantal. Suasana di taman belakang rumahku menjadi hening. Hanya sepoi angin malam yang berlalu lalang di depan kami berdua. Sepi tapi tenang.
Bram diam saja, dirinya lebih memilih untuk berpikir dahulu, daripada mengucapkan pendapat asal.” Hmm.. Jangan kau cerita padaku soal begituan. Aku bukan dukun atau ahli agama, lagian itu kan urusan sang pencipta, gak usahlah diperdebatkan. Gak akan nyampe logika kita.”
“Bukan maksudku untuk lancang membahas hal yang tidak pantas kita ketahui, tapi..” Air mataku mulai beranjak bangun dari matras kecilnya.
“Tapi kenapa?”
“Aku merindukan pria itu.”
“kakekmu?” Bram memandangku.
Aku mengangguk,” Baru setahun kakek pergi, dunia terasa berbeda. Aku rindu ketika dia bercerita tentang banyak hal, impian, juga harapan. Aku memang paling dekat dengannya, bahkan bisa dikatakan, kami berdua seperti ayah dan anak saja.” Aku menyeka air mataku.
“Sudahlah Jean, manusia tidak ada yang abadi, semua pasti mati. Sekarang, tinggal usaha kita untuk mempersiapkan amalan yang cukup sebelum menghadap-NYA.”
“Aku tahu itu.”. Senyumku mengembang.
“Kalau kamu mau, besok akan kuantar kau ke Bogor, ke rumah kakekmu, kita ziarah membawa oleh-oleh untuknya”
“Maksudmu?”
“Kakekmu tidak ingin dilupakan Jean. Kita oleh-olehnya”. Bram tersenyum memandangku, sekilas mataku dan matanya berpandangan. Dapat kulihat bola matanya yang coklat terang, memancarkan rasa kemisteriusan yang amat dalam. Tetapi melegakan bagiku.
Share this novel