BAB 2

Thriller Completed 238

Subuh ini, sebelum si jago keluar dari tempat tidurnya, kami berdua berangkat. Membawa perasaan Rindu yang tidak biasa, antara dimensi ketiga dan dimensi kelima. Sudah kubilang tadi bahwa aku dan kakek dulu dekat sekali. Kakek adalah seorang guru yang baru pensiun. Ia mengajar di sebuah sekolah dasar di kampungnya. Kakeku terkenal ramah dan selalu menebar senyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Tetapi sikap kakek yang pendiam, membuatnya kurang bergaul dengan orang-orang desa. Kakek lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mengurung diri membaca buku di depan perapian yang hangat. Yang aku suka adalah koleksi buku yang banyak sekali. Aku menerka-nerka kalau jumlahnya sampai 3000 buku. Sastra, seni, cerita, novel, semua jenis buku telah tinggal di rak bukunya yang sudah mulai rapuh itu. Kakek pernah bilang padaku, kalau ia sangat mencintai buku-bukunya. Bahkan sempat menjadi istri keduanya setelah nenek meninggal.

Rumah kakek sekarang dijaga oleh mang Paes, yang dulu bekerja sebagai tukang kebun di rumahnya. Mang Paes berbadan besar, berambut gondrong, kedipan matanya yang menantang, menyurutkan nyali setiap orang yang berbicara dengannya. Aku agak kurang suka dengannya. Sebagai pencinta keramahan, aku sangat anti kemarahan, kebengisan dan sejawatnya. Aku juga tidak sepenuhnya benar. Prinsipku meyakinkan untuk tidak menilai orang dari penampilannya.

Akhirnya kami sampai juga di rumah Kakek. Rumah berlantai kayu itu sangat kurindukan, imajinasiku memutar balik ke masa lampau ketika kakek dan nenek masih hidup di sini. Ketika mereka berdua duduk-duduk di teras setiap sore. Sangat tentram suasananya. Namun seiring waktu mereka menjadi semakin tua dan mulai lemah. Akhirnya berpulang di panggil Tuhan. Sungguh aku tak sempat menemani kakek di malam terakhirnya. Yang kurasakan hanya kegelisahan yang tak berujung hari itu. Seperti ada gelombang yang menerjang segala keresahan di dadaku.

Aku dan Bram bergegas keluar dari mobil menuju teras untuk sekedar duduk-duduk santai menunggu si penjaga rumah membukakan pintu. Matahari sebentar lagi turun ke pangkuannya. Senja semakin dekat. Angin gunung begitu dingin merasuk ke baju, badan kemudian tulang.

“Neng Jean sudah dari kapan disini?”. Tiba-tiba mang Paes muncul dari belakang rumah. Suaranya terdengar tidak seperti biasanya, ada sedikit kegugupan yang aku lihat darinya. Matanya yang nampak merah, dengan nafas yang tersengal-sengal. Keringatnya bercucuran, seraya berjalan gontai menuju kami.
“Baru saja. Oh iya, tolong bukakan pintunya mang”
“Baik neng” Mang Paes mengambil kunci dari sakunya, kemudian membuka pintu rumah kakek yang sudah rusak terkelupas lebar.

Aku dan Bram masuk ke dalam secara bersamaan. Mang Paes pergi ke arah dapur untuk membuatkan minuman. Kami berdua duduk di kursi tamu yang terbuat dari rotan. Mata kami saling mengawasi keadaan rumah ini. Sangat kotor, seperti gudang yang tidak terurus. Aku mendengus kesal, karena mang Paes tidak becus menjaga rumah kakek. Padahal uang bulanan selalu ku kirim dengan rutin. Kalau di suruh memilih, aku ingin tinggal di rumah ini, untuk merawatnya. Siapa yang tidak mau tinggal di kawasan daerah pegunungan yang masih asri ini. Masih terikat dengan dunia perkuliahan. itulah alasanku untuk tidak tinggal disini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience