Aku berpaling dari Bram. Fokusku hanya kepada kotak itu sekarang. Dengan degup jantung berdebar-debar, kubuka kotak itu dengan hati-hati.
Mataku masih memperhatikan benda itu secara seksama. Bukan keris, mata tombak ataupun badik, melainkan hanya timbunan kertas-kertas catatan seperti jurnal yang bertumpuk-tumpuk layu. Kuperiksa lembar demi lembar, dan di kertas paling besar, tertulis sebuah tulisan dengan tinta merah:
Aku sudah berpuluh tahun hidup di dunia, beribu buku dari seantero dunia sudah kukecap di dalam sekat-sekat otaku. mungkin kali ini saatnya untuk puasa membaca, sudah banyak ide yang terbuang sia-sia. Bukannya sudah tugasnya para pembaca pembelajar seluk beluk dunia untuk menulis memberitahukan kepada para pembaca penerima ilmu. Tentu semuanya tidak akan sia-sia. Waktu terus berputar, matahari masih setia bergiingsir bulan. Aku tentu tidak selamanya di dunia. Hanya tulisan-tulisan inilah yang menjadi sejarah bagi diriku dimasa muda yang selalu menunda-nunda untuk menulis.
-Bastian Sutedjo-
Udara sekelilingku seakan berhenti berhembus sesaat. Aku terdiam merenung semakin dalam. Kertas demi kertas yang berisi tulisan kakek aku kumpulkan. Agar kubaca untuk mengenal kakek yang hidup kembali di sebuah kotak yang terbuat dari kayu cemara bertuah ini, iya aku tahu bahwa tidak ada unsur klenik yang ada dalam kotak ini. Setidaknya kotak ini tetap bertuah bagiku, terlebih sudah melindungi kumpulan jurnal-jurnal kakek yang amat berharga ini.
Tiba-tiba Bram meraih pundakku dan berbisik.
“Jean, kotak itu memang menyimpan ilmu ghaib. Seakan berbicara sesuatu.”
“Hah?”
“Dia berkata bahwa mempunyai majikan baru sekarang.”
Share this novel