Rate

6

Romance Series 402

#Mengejar_Jodoh

Terimakasih untuk admin dan moderator yang sudah meloloskan tulisan sederhana saya.

Part sebelumnya

Part 6

Jika sudah putus, kenapa masih ada rindu?

.

Sudah jam 2 siang. Berkutik dengan handphone membuatku semakin bosan. Hampir ratusan sms dari nomor yang sama tak kubalas. Panggilan telepon juga tak angkat. Ya... Mas Herman Sepertinya sedang kebingungan mencariku. Biarkan saja. Hari ini aku akan buat perhitungan. Mereka anggap apa aku ini?

Aku bersembunyi dibalik rimbunya pohon bambu di belakang rumah. Hanya berjarak sekitar 300 meter saja. Sengaja aku tak pulang ke rumah orang tuaku. Jika di sana, Mas Herman pasti bisa menemukanku dengan mudah.

Angin sepoy-sepoy membuatku nyaman. Mampu mendinginkan isi kepalaku. Hanya saja lapar mengharuskanku untuk segera mengganjalkan makanan berat. Nasi.

Perut mulai melilit. Mual. Pening dalam satu waktu. Menyebalkan. Penderita magh sepertiku sepertinya tak bisa diajak mogok makan. Padahal tadi juga sebelum pergi mondok aku membawa seplastik kerupuk udang sebagai cemilan. Memang sudah hobi atau kebiasaan. Entahlah. Jika marah mekanan aku jadikan pelampiasan.

Krieett... kubuka perlahan pintu dapur. Rumah masih senyap. Mas Herman tidak di rumah. Untung saja. Aku segera bertindak cepat.

Segera kuambil piring lalu mengisinya sampai penuh. Nasi, sambal belut, dan sayur pare sisa tadi pagi. Meleleh air liurku. Kenapa tadi aku tak membawanya saja. Tenang, nyaman dan kenyang pasti kudapatkan.

Eeggggg... Alhamdulillah.

.

Perut sudah terisi penuh. Mual dan sakit kepala masih saja enggan pergi. Kurebahkan diri diranjang. Semoga saja bangun nanti sudah baikan. Tak perlu lama, perut kenyang kantukpun datang. Aku terlelap melupakan segala kesedihan.

"Yang, aku kira kamu pergi. Aku cari kemana-mana ga ketemu. Ternyata kamu di sini. Kepana aku tadi ga kepikiran ya?" Isakan mas Herman membangunkanku. Kali pertama aku mendengarnya menangis.

Aku masih terdiam. Tak ingin merespon. Masih sakit.

Lama, ia sesengukan. Lalu hening. Mas Herman tertidur. Tangan kanannya merangkul pinggangku. Memeluk dari belakang. Hangat menjalar keseluruh tubuhku. Menjalar hinga ke bongkahan darah dalam dada. Luluh sudah. Kerasnya hatiku sedari pagi meleleh seketika. Aku tahu, dia tak berniat menyakitiku.

.

Aku mengeliat. Terasa pegal. Hampir satu jam aku berdiam diri memetung. Menikmati hembusan nafas yang mengalir lembut. Lelaki yang pernah aku cintai masih terlelap. Kupandangi wajah datarnya. Wajah tanpa expresi. Terlihat begitu tenang.

Kulirik jam yang menempel di dinding. Pukul 5.20 sore. Kupijat pelan pelipis kepalaku, masih sakit.. Otot leher menegang. Aneh, biasanya jika sudah kenyang akan pulih seperti biasa lagi.

Aku bangkit dari pembaringan. Tiba-tiba rumah seakan berputar-putar. Perlahan aku merayap. Tangan kananku bersandar pada dinding. Berjalan perlahan , mencari pintu keluar. Tak bisa kutahan lagi. Aku berlari ke belakang rumah.

Uekkk... Uekkk... Ueekk....

Tubuhku bergetar hebat. Lemas. Keringat dingin saling berkejaran.

"Yang, kamu kenapa?" Tanya mas Herman. Dipijitnya leherku.

"Aku ga papa. Tadi kebanyakan makan angin," jawabku ngasal.

"Makan angin? dimana?"

"Udahlah mas ga usah sok perduli gitu. Tadi waktu ada mantan cewekmu kamu ga nyari aku kan? Ga tahu aku kemana kan? Dulu aja bilang nya putus. Tapi masih meluk meluk ga tau malu gitu. Maunya apa sih?"

"Yang, tadi kita ga ngapa ngapain. Dia dateng nangis-nangis. Terus meluk. Aku dah nolak tadi."

"Nolak!!! cara nolak Mas kalem banget ya. Tangannya bisa erat gitu."

"Yang, maaf," ucapnya lirih.

"Ah, sudahlah. Sepertinya nasibku memang sial. Semuanya sudah hancur dan tidak bisa diperbaiki." Kutinggalkan mas Herman yang sepertinya mengerti apa maksud ucapanku.

Bruakkk... Pintu bambu jadi sasaranku.
*

Hampir jam 12 malam. Mata masih enggan terlelap. Saat kupejamkan isi otakku kembali mereka ulang adegan yang kulihat pagi tadi. Membuatku semakin muak.

Koyok sudah menempel dimana-mana. Di pelipis, leher, perut dan pinggang. Minyak cak kapak juga sudah kusapu di sekujur tubuh belum mampu meredakan sakit yang kuderita.

Merasa kepanasan aku pergi berbaring dilantai tanpa alas. Lumayan dingin.

"Yang, nanti tambah sakit," ucap mas Herman. Kukira dia sudah tertidur.

"Panas Mas."

"Ya udah sini. Mas kipasin."

Benar juga. Jika tidur di lanti bisa jadi angin di perut semakin betah.

Aku berbaring disebelah kirinya. Dia menghapap kearahku. Tatapannya begitu sendu. Mungkin ia menyesal.

"Belum tidur?" Tanyaku.

Dia hanya tersenyum. Lalu menggeleng.

"Kenapa?"

"Karena kamu belum maafin aku Yang."

"Udah," jawabku singkat.

"Tapi masih jutek," godanya.

"Ih.. apaan si," aku mengerucutkan bibirku. Tersipu.

"Maaf, aku ga akan ngulangin lagi," bisiknya.

Aku hanya mengangguk.

"Mas, laper...."

"Jam segini?" Ia terkejut. Menunjuk jam dinding.

"Ya udah si, ga usah melotot gitu. Aku bisa masak sendiri.

Aku bangkit. Lalu pergi kedapur. Mencari sesuatu untuk bisa dimakan.

Di meja hanya ada pisang. Kalau sedang lapar, makan pisang perutku bisa tambah perih.

"Gimana kalau ini. Kasih cabe rawit kayaknya cocok nih," tawarnya. Tangan sebelah kanan ada dua bungkis mie sedap soto. Sebelah kiri menggengam cabe.

Aku mengangguk kegirangan.

"Sini," pintaku.

"Udah tuan putri duduk yang manis. Biarkan abdi yang masak," konyol. Gayanya bak pelayan kerajaan.

Aku terkekeh.

"Baiklah kalau begitu. Jangan lama-lama," ucapku memeritah.

"Baik tuan putri," dicubitnya pipi kananku lalu berlari menghindar refleks tanganku.

*
Tak sampai sepuluh menit. Semangkuk besar mie instan kuah sudah tersaji. Potongan cabe rawit hijau, irisan kubis dan seledri diatasnya menambah cantik penyajian. Aromanya, haahhhh... menggugah selera.

"Silahkan tuan putri."

Sepasang sendok dan garpu ia berikan. Ia juga memegang sepasang lagi.

"Ehh... mau juga?"

"Hiiiii..." ia meringis dua jari.

"Emmm... Mantap." Sendok demi sendok kuah menghangatkan perutku.

"Mas, besok suruh Etik kesini. Ada yang ingin aku bicarakan denganya," pintaku menyela makan kami.

Uhukkk... Uhukkk... Uhukkk... Mas Herman tiba-tiba tersedak. Kutepuk bahunya.

"Pelan-pelan. Nih...." Kuberikan segelas air putih yang ia tuang sendiri tadi sebelum makan.

"Mau bicara apa sih Yang," tanyanya curiga.

"Udah ini urusan cewek. Mas ga usah ikut campur,"

Hahahaha...

Kamipun menikmati makan dalam keheningan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku masih tak tahu apa yang ingin aku lakukan esok. Yang jelas, hanya ingin tahu isi hati mereka berdua. Jika mereka masih saling mencintai, biarkan aku yang mengalah.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience