Rate

4

Romance Series 402

#Mengejar_Jodoh
==============
Part 4

Part sebelumnya

Merasa tak di anggap aku pamit pada tembok untuk pulang.

"Mbok, pamitnya. Jangan nakal," bisikku lirih. Takut jika ada yang mendengar.

Si bapak dan ibu mertua asyik cekakak-cekikik di dalam kamar yang tertutup rapat. Suara riuhnya terdengar menggema di seluruh ruangan. Sepertinya mereka tengah bercengkrama dengan adik mas Herman yang kecil. Masih delapan tahun. Sedangkan mas Herman, sejak tragedi bikin adek yang gagal malah ngilang entah kemana. Lebih baik aku pulang daripada harus dianggurkan seperti ini.

"Nduk kok sudah pulang, kata Herman nginep," tanya ibu yang sudah mendapati putri semata wayangnya terngkurap di ranjang.

"Ga jadi Bu. Lain kali aja," jawabku sekenanya. Tak mau membuat ibu khawatir lagi. Cukup sudah.

Ibupun hanya tersenyum tipis lalu pergi. Membiarkanku bercengkrama dengan gejolak jiwaku sendiri.

*

[Nis, kemana aja sih kok ga masuk sekolah. Guru kesayangan loe nanyain tuh] sebuah sms dari Widya. Teman sebangkuku.

Butiran kaca tiba-tiba luruh begitu saja. Seminggu sudah. Aku tak pergi sekolah. Tak juga memberi surat ataupun pemberitahuan yang lain. Bapak dengan ibu juga masih diam saja. Mungkin mereka malu, anaknya keluar karena mendadak menikah.

Ragu, tak tahu apa yang ingin kukatakan kepada sahabatku itu, aku memilih diam dan menjauhkan benda persegi hitam milikku.

"Yang, kamu nangis?" Tanya mas Herman yang tiba-tiba nyelonong masuk kamar.

Aku menggeleng, mengusap pipi yang sudah basah.

Dia mendekat lalu memelukku erat "maafkan mas."

Aku semakin terisak. Menyesali kebodohanku malam itu.

Tanpa sadar, aku terlelap dalam pelukannya yang begitu hangat.

*

Jam lima sore aku terbangun. Mas Herman sudah tak lagi ada disisiku. Aku beranjak mambasuh muka untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Merasa sedikit fresh, aku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.

Menjadi anak seorang petani menjadikanku pribadi yang mandiri. Masak di sore hari memang sudah menjadi tugasku. Membantu ibu yang sudah lelah seharian ikut bapak ke sawah. Andai saja, cita-cita menjadi orang kaya yang sukses tak berhenti ditengah jalan. Pasti hari tua mereka aku mampu menanggung.

Huh... Lagi-lagi cairan bening membanjiri pipiku.

*

Biasanya kami makan di lantai. Di depan TV sambil bersenda gurau. Saling mengejek satu sama lain dengan kedua adik lelakiku. Bapak dan ibu hanya terkekeh melihat tingkah kekanakan kami.

Kali ini senyap, kehadiran mas Herman seakan merenggut kecerian yang kami miliki. Mungkin masih canggung.

Setelah makan malam, aku masuk ke kamar. Merasa jenuh. Biasanya akan disibukkan dengan mengerjakan PR dari sekolah. Sekarang hanya berkecamuk didalam dunia yang membosankan.

Dapur, sumur, kasur tiga titik yang tak bisa dihindari oleh seorang ibu rumah tangga pengangguran sepertiku.

"Tidur Yang?"

"Iya," jawabku malas-malasan. Pura pura memejamkan mata.

"Hahaha, tidur kok nyaut," godanya.

"Yang...." Bisik mas Herman. Entah sejak kapan ia sudah berbaring di sebelahku.

"Emmmm...."

"Mau...."

"Pa'an si Mas, udah malem nih. Mau apa? Laper?"

Mas Herman menggeleng.

"Trus?"

Lelaki genit itu justru senyum-senyum tak jelas.

"Mas ayo tidur, aku ngantuk Mas," rengekku. Aku langsung paksa aksi, tidur membelakanginya.

Tiba-tiba tangannya melingkari pinggangku. Mendekatkan diri sedekat-dekatnya. Hembusan nafasnya membelai lembut leherku. Mengalir masuk lewat pori-pori, membuat bulu romaku berdiri.

"Mas ngapain si?"

"Sttttt... Biarkan aku menikmatimu malam ini Yang," desisnya.

Tangan nakalnya masuk merayap perlahan di punggungku. Kurasakan sentuhannya. Sentuhan yang membuat jantungku berdetak tak beraturan dag...dig... dug... pikiranku kacau. Bingung. Apa yang ingin ia lakukan? Apa seperti ini cara buat adek?

'ya Allah, semoga aku baik baik saja. Sakit...' Rintihku dalam hati.

*
Bruakkk... Brokkk...

Kaget. Kami berdua mematung, kedua bola mata terbelalak dengan posisi tubuh yang tak terkondisikan. Mas Herman terperosok kepojokan dengan aku yang masih ada dibawahnya.

Hahahaha... tawa kami pecah. Adegan yang baru setengah jalan terganggu dengan robohnya ranjang. Ambruk. Ranjang yang malang, sudah saatnya di istirahatkan. Rip.

"Nduk... Kenapa?" Suara bapak dari balik pintu.

"Hahaha... Gempa Pak," sahutku.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience