Rate

7

Romance Series 402

#mengejar_Jodoh

Part 7

Part sebelumnya

Terima kasih untuk admin dan moderator yang sudah meloloskan tulisan sederhana saya.

Jika mengalah lebih baik, kenapa harus berkeras hati mempertahankan?
.

Semua orang tahu, seberapa lama hubungan antara mas Herman dengan Etik. Lima tahun. Aku juga tahu tentang hal itu. Isu punya isu mereka putus saat mas Herman mengajak mbak Etik menikah. Tetapi ditolak mentah-mentah karena merasa belum cukup mapan.

Etik ingin setelah menikah sandang, pangan dan papan sudah cukup layak. Kuakui itu suatu yang perlu diacungi jempol.

Hubunganku sendiri dengan mas Herman hanya sebatas tetangga yang tak saling kenal. Kami berbeda dunia. Saat dia asyik dengan dunia bermain dengan teman sebaya. Dunia kecilku berkecimpung dengan ladang dan sawah. Mencari kayu bakar untuk memasak. Ikut Bapak dan ibu kesawah mengarit batang padi atau sekedar nyeser ( nyari ikan pakai anyaman bambu berbentuk lingkaran. Seperti sarangan) dan berenang di sungai.

Aku dekat dengan mas Herman sebulan sebelum hari pernikahan. Menjalin asmara terlarang dalam waktu singkat lalu dinikahkan. Benar-benar tak sebanding dengan hubungan yang terjalin selama lima tahun.

"Apa dia akan datang Mas?"

Ia menggeleng. Wajahnya begitu sayu.

"Apa Mas masih mencintainya?"

"Yang, demi Allah. Sejak aku menyatakan cinta dengamu sejak itu hati ini sepenuhnya milikmu," digenggamnya erat kedua tanganku. Terlihat ada sorot kejujuran dimatanya.

"Aku percaya denganmu Mas."

Kututup rapat buku cerita tentang Etik dan mas Herman. Bagaimanapun dia suamiku yang harus kuhormati. Dia sudah berusaha jujur. Apa salahnya jika aku percaya?

*

Pagi-pagi sekali. Ibu mertua datang menemui mas Herman. Ia memintaku untuk ikut dengannya bekerja borongan. Menanam padi. Tak ingin berprasangka buruk. Aku mengiyakan walau pekerjaan itu sama sekali belum pernah aku lakukan.

Setelah selesai memasak aku langsung bersiap-siap. Memakai setelan baju olahraga sekolah waktu itu. Calana biru dongker panjang dipadu kaos biru muda. Cairan bening jatuh tanpa permisi. Belum puas rasanya memakai seragam ini di sekolah, aku pakai saja sampai usang buat seragam di sawah.

"Yang, yakin bisa," tanyanya ragu.

Aku mengangguk mantap. 'Tak kan kusia-siakan kesempatan mengambil hati ibumu Mas' pikirku dalam hati.

*
Kulirik angka di layar gawaiku. Masih jam 6.30. matahari masih malu-malu menunjukan perkasanya. Dedaunan juga masih dibasahi oleh embun. Angin dingin menyapu bulu romaku. Merinding.

Sawah yang Ibu mertua sebutkan lumayan jauh dari rumah. Mas Herman mengantarku kesana dengan sepeda ontel pemberian kakek.

"Ya Mas, kita telat," kecewa. Kudapati ibu mertua bersama genk nya sudah dapat setengah kotak.

"Udah ga papa. Lagian kan tadi Ibu mampir pas mau berangkat. Kamunya masih masak. Ya maklum kalau telat. Kalau bilangnya kemarin pasti kita bisa pergi lebih awal. Udah jangan cemberut gitu."

Dengan langkah gontai aku menghampiri mereka.

"Bu maaf telat."

Wanita paruh baya itu hanya menoleh lalu mengangguk.

"Aku mulai dari mana Bu?" Tanyaku. Tak tahu dari mana aku memulainya.

Mataku melirik ke kanan lalu ke kiri. Memandangi hamparan luas sawah yang siap ditanami. Di hujung bagian kanan lima orang lelaki sedang mencabut bibit padi. Dan seorang membuat garisan untuk memudahkan menanam dan merapikan barisan padi. Seorang lagi menebar bibit yang terikat oleh tali pelepah pohon kelapa.

"Dari sana," suruh ibu mertua , mengangkat tangannya, menunjuk kearah sebelah wanita bernama mbak Lastri.

Hemmmmm haaaaahhhh... Kutarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. 'Aku pasti bisa, semangat Nis' batinku menyemangati diriku sendiri.

Ku pijakkan kaki kananku ke lumpur. Disusul kaki kiri. Bless... Lumpur sawah yang berstektur lembut berair menutup hampir sepertiga kakiku. Berbeda dengan saat memanen. Mengeras.

"Eh Mbak Lastri juga to," sapaku berbasa-basi.

Ia hanya tersenyum lalu melaju. Mereka benar-benar cepat.

Mataku mulai tertuju pada garis didepanku. Meniru apa yang mereka lakukan. Menggengam bibit ditangan kiri. Menancapkan dua atau tiga batang dengan tangan kanan. Terlihat mudah. Aku pasti bisa.

Sesekali aku berdiri tegak. Membungkukkan badan beberapa menit saja rasanya pegal yang teramat. Bagaimana bisa mereka menahan sampai berjam-jam.

Merasa tak enak hati akupun melanjutkanya. Aku tak menyangka menanam padi itu sangat membutuhkan kekuatan extra.

*
"Nis, kamu kok mendadak nikah. Memang kamu hamil duluan?" Celetuk mbak Lastri. Wanita ini benar-benar tak menghiraukan perasaanku. Aku juga masih punya malu.

Tak ada angin tak ada hujan. Kenapa ada petir yang menyambar-nyambar.

Mbak Sumi dan mbak Yati juga memandangku dengan tatapan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Ga kok mbak. Dari pada pacaran, kata Bapak nikah aja," Jawabku santai.

"Ya kali aja. Biasanya kan gitu. Kamu masih sekolah tiba-tiba menikah. Putus ditengah jalan, kan sayang," perih. Ucapanya bagai sembilu, menyayat hati.

"La si Anis udah kebelet kawin. Makanya minta buru-buru dinikahkan," ibu mertua yang sedari tadi diam turut menimpali.

Deg... Detak jantung serasa berhenti saat itu juga. Dengan mudah mereka mengvonisku seperti itu tanpa tahu kejadian yang sebenarnya.

"Emang apa yang kamu mau dari Herman Nis?" Tanya ibu mertuaku dengan tatapan sinis.

"Emmmm... Maksud Ibu apa?"

"Ya kali aja kamu ada niat buruk. Herman itu anak lelakiku satu-satunya. Dia belum sempat berbakti kamu sudah ajak kawin. Kamu itu apa cuma mau burungnya saja?," ucapannya semakin tajam.

Aku tak pernah menyangka. Ibu mertuaku akan mempermalukanku di hadapan teman-temannya. Meski diam. Apa ia tak tahu, hati ini tergores begitu dalam.

Kuusap perlahan dadaku yang terasa begitu sesak. Tak lagi ingin berkata aku beranjak meninggalkan mereka.

"Anis pulang duluan bu," pamitku.

Tak ada jawaban. Hanya tawa gelak kemenangan. Mereka telang menang tanpa perlawanan dariku.

Sepanjang jalan mata ini tak berhenti mengelurkan cairan bening. Berkali-kali aku mengusap malah semakin deras. Seperti ini rasanya menjadi menantu yang tak diinginkan.

*

Aku tak langsung pulang ke rumah. Entah kenapa aku juga marah dengan mas Herman. Seandaninya saja dia tak mengajakku malam itu. Pasti hari ini aku masih bersenang-senang dengan teman-temanku.

Sesampai dirumah orang tuaku. Aku langsung mandi untuk mendinginkan isi kepala.

"Nduk dari mana?" Tanya Ibu. Terlihat raut khawatir di wajahnya.

"Tadi bantu di sawah ibunya mas Herman bu."

"Nanam?" Tanyanya lagi. Heran.

"Iya Bu."

Kupeluk tubuh kurus ibuku. Semakin hari tubuhnya semakin mengering. Di pundaknya kutumpahkan segala kegundahan di hati.

"Kenapa Nduk?" Diusapnya kepalaku.

"Bu, apa aku ini terlihat begitu buruk?"

"Kamu segalanya buat Ibu, Nduk. Tak ada sedikitpun keburukanmu di mata Ibu."

Air mata ibupun akhirnya tumpah lagi. Sepertinya wanita yang sudah melahirkanku ini mengerti, apa yang baru saja terjadi denganku.

"Bu, aku mau jadi anak Ibu saja Bu. Aku ga mau jadi istri mas Herman, Bu."

Hemmmm... huhhhh... Ibu menarik nafas dalam.

"Nduk, jangan begitu. Kalian sudah menikah. Tak bisa semudah itu kamu memutuskan sebelah pihak. Ayo Nduk. Tenangkan hatimu. Nanti kita cari jalan keluarnya ya."

"Anis ga mau Bu. Anis cuma mau jadi anak Ibu. Anis janji nurut sama Ibu sama Bapak. Anis janji jadi anak baik Bu," tangisku semakin menjadi.

"Sudahlah, sana tidur. Kamu pasti lelah kan? Sudah makan?"

Aku menggeleng.

"Makan dulu sana, habis itu tidurlah."

"Anis ga lapar Bu. Anis mau tidur saja."
Andai saja setelah tidur mampu melupakan semuanya. Aku ingin tidur lebih lama untuk mengobati luka ini.

[Mas, malam ini aku tidur di rumah Ibu. Gapapa kan] kukirim pesan untuk mas Herman.

Lima menit kemudian ia baru membalasnya
[Udah di sana? Pulang jam berapa tadi?]

[Tadi habis makan siang terus pulang. Ga kuat. Capek]

[Ya udah. Aku pasti rindu dengamu malam ini. Tidur sendirian deh.]

[Pagi aku pulang kok]

[Ya udah. Yang, aku cinta kamu]

Cinta. Aku sendiri masih tak tahu dengan perasaanku sendiri Mas. Rasa cinta yang dulu pernah ku labuhkan sepertinya telah mengikis habis. Hanya tersisa luka. Aku tak tahu, berapa lama bisa bertahan dalam cintamu?

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience