Rate

8

Romance Series 402

#Mengejar_Jodoh
=================

Part 8

Part sebelumnya

Sepanjang malam aku terjaga. Bayang-bayang kebodohan bergelayut manja di benakku. Ingin rasanya menumpahkan gejolak dengan seseorang yang tepat. Tapi siapa? Tak ada siapapun. Ibu? aku tak ingin membuatnya terluka lagi. Mas Herman? Dia orang yang menyebabkan semua ini terjadi. Hahhh... hidupku seakan hanya seorang diri di dunia ini.

Pagi sekali aku pulang ke rumah. Setelah subuh diantar adikku. Aku tak ingin jika ada tetangga melihat, terlebih orang tua mas Herman. Bisa jadi aku digunjingkan dari ujung ke ujung.

Assalamu'alaikum... Tak ada sahutan.

Aku masuk ke kamar. Mungkin mas Herman masih tidur.

"Mas...." panggilku lirih.

Tanganku refleks membekap mulutku sendiri. Tak percaya rasanya. Ada seseorang yang menemani mas Herman yang kuyakini seorang wanita. Terlihat dari rambutnya yang panjang menjuntai sampai kepinggang.

Kedunya terlihat begitu pulas. Tangan mas Herman merangkul ke pinggang wanita yang tidur dengan posisi tengkurap. Keduanya seperti bayi yang baru dilahirkan. Tak sehelai benangpun yang menempel di tubuh mereka.

Bruakkk... Kubanting pintu keras. Mas Herman terjingkat. Terlihat jelas raut kebingungan. Sedangkan wanita itu hanya mengeliat lalu tidur lagi. Dasar wanita tukang tidur.

"Anis!!!"

"Apa ini Mas. Siapa wanita ini?"

"Kita cerai, Mas!" pekikku. Aku berlari keluar rumah. Tak sanggup lagi berlama-lama. Meninggalkan mereka tanpa mendapat jawapan sepatah katapun.

Wanita itu bukan Etik ataupun mantan pacarnya yang lain. Dia siapa? Aku tak tahu.

Lengkap sudah. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kenapa harus aku? Seandainya Mas Herman ingin bermain api di belakangku, aku memilih tidak tahu sama sekali. Tetapi kenapa seakan mudah sekali aku membongkar permainannya? Terlalu sakit.

*
Kuceritakan perlakuan mas Herman terhadapku. Ibu menangis tiada henti mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku. Sedangkan Bapak, tatapannya kosong. Entah apa yang ia fikirkan. Hanya sesekali mengucapkan kata 'sabar' untuk membuatku tenang.

"Pak, Bu... Izinkan Anis pergi ya. Anis mau ikut kerja ke Jakarta sama Mbak Irma. Anis tak sanggup jika harus meneruskan semua ini," izinku disela makan malam kami.

Seminggu sudah aku pulang kerumah. Berkali-kali Mas Herman datang. Bapak tak mengizinkanya menemuiku.

"Pak... Bu...."

Tak ada tanggapan. Hening.

"Nanti kita bicarakan Nduk," ujar Bapak.

Aku mengangguk. Menyuapkan lagi makanan ke d
Llalam mulut.

*
Setelah makan dan menonton TV sebentar aku masuk kekamar. Hari-hariku kuhabiskan menatap langit-langit rumah. Menghitung berapa banyak genteng yang tersusun di atas kamarku. Lucu. Dulu aku sering lakukan itu jika susah tidur. Menghitung sampai terlelap.

"Nduk," panggil Bapak.

"Iya Pak," sahutku. Aku bangkit dari pembaringan. Duduk di tepi ranjang.

Bapak duduk di sebelah kananku.

"Maafkan Bapak Nduk," ucap Bapak tersedu-sedu. Bapak menangis. Ia mendekap kepalaku di dadanya.

"Maafkan Bapak sudah membuatmu menderita. Andai saja saat itu Bapak mendengarkan rengekanmu, kamu pasti tak akan menderita seperti ini Nduk," lanjutnya. Terdengar irama dentam jantung tak beraturan. Memacu begitu cepat.

Kubalas pelukan bapak yang begitu erat. Kami menangis bersama. Lelaki gagah yang selalu garang di depan anak-anaknya itu terlihat begitu rapuh.

"Ini bukan salah Bapak. Ini salah Anis. Maafkan Anis Pak."

Tangisan kami semakin menjadi.

"Bapak dengan berat hati mengizinkanmu pergi Nduk. Pergilah. Carilah kebahagiaamu di luar sana. Di sini, hanya ada kepedihan Nduk," Bapak tergugu.

"Makasih Pak. Anis janji akan jaga diri Anis baik-baik Pak." Kucium punggung tangan bapak.

*
Aku ikut Mbak Irma, sepupuku. Ke Jakarta. Bekerja satu rumah denganya. Tugas mbak Irma menjaga bayi dari majikan kami. Sedangkan aku membersihkan rumah dan menjaga orang tua majikan. Belum terlalu tua. Ia masih bisa mengendarai mobilnya kemanapun ia mau.

Seakan cinta pada padangan pertama. Wanita yang ku panggil 'Ahma' itu menyukaiku sejak pertama kali aku injakkan kaki di rumahnya. Dia bilang aku begitu sopan. Bertutur kata baik dan lembut. Ya... Itulah yang orang tuaku ajarkan dari kecil. Meski kami keluarga miskin. Jangan sampai tata krama juga miskin.

Sebulan tinggal di kota sedikit membuatku terlupa dengan kenangan burukku. Aku suka dengan kesibukan ini. Dari bangun tidur langsung bekerja. Bersihkan rumah, memasak, menyidai pakaian. Ikut Ahma keluar berkuliner. Ahh... Menyenangkan.

Pagi ini aku merasa sangat lain. Tubuhku lemas selemas-lemasnya tak bertenaga. Otot perutku menegang. Mengeras. Kupikir hanya kelelahan. Membersihkan rumah empat lantai serorang diri bukan hal yang ringan.

"Ahma, maaf hari ini saya tak enak badan. Anis boleh istirahat tak Ma," kataku meminta izin.

Ahma yang sedang menonton drama Korea favouritenya langsu lesu. Rencana hari ini ia ingin mengajak makan bakso langganannya.

"Kamu sakit Nis?" Tanyanya. Ia daratkan punggung tangannya di keningku.

"Anis lemes Ma."

"Ya udah ke dokter saja ya. Setelah itu kita mampir makan bakso."

Aku hanya mengangguk.

*
Ahma mengantarku ke dokter pribadinya.

Tok-tok-tok....

"Pagi, bu dokter," sapa Ahma.

"Pagi, eh Ibu Margaret. Lama tak bertemu," sapa dokter.

"Iya Dok, saya sehat. Jadi ga datang kesini. Ni anak baru saya, sakit," ahma memperkenalkanku dengan dokter.

Tak kusangka, Ahma menganggapku sebagai anaknya. Terenyuh.

"Siapa namanya Mbak?" Tanya bu dokter ramah.

"Anis, Bu dokter."

"Keluhannya apa?"

"Lemes Bu. Perut saya juga rasanya kram."

"Baring dulu ya mbak Anis."

Dokter mulai memeriksa suhu badanku. Lalu menepuk-nepuk perut bagian bawah.

"Ada mual ga?" Tanya dokter.

"Kadang-kadang Bu Dokter."

"Emmmm... Ya iya," bu dokter ngangguk-ngangguk.

"Sudah selesai ya."

"Jadi anak saya sakit apa Dok," tanya Ahma tak sabar.

"Bu, Anis ga sakit apa apa. Anis hamil."

"Hamil...." Aku dan Ahma mengucap bersamaan.

"Iya, sudah 12 minggu," tutur bu dokter.

'Hamil, bagaimana mungkin aku hamil sekarang ini. Aku tak ingin pulang. Ya Allah apa hang harus Anis lakukan' pikirku dalam hati. Batinku berkecamuk. Baru sebentar mendapat ketenangan. Kenapa kini ia hadir? Aku belum siap.

"Ni saya kasih vitamin. Jangan lupa diminum ya," ucap bu dokter memecah lamunanku.

"Iya terimakasih bu dokter. Kami permisi," Ahma berpamitan. Ia tak banyak bertanya. Sebagai wanita dengan tiga anak sepertinya sudah cukup pengalaman untuk hal itu.

Aku hanya diam membisu. Terlalu bingung. Bingung memikirkan nyawa yang tak kusadari hinggap dalam rahimku. Aku memang terlalu bodoh.

Butir-butir bening kembali jatuh dan semakin deras.

Bersambung....

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience