Rate

capter 1

Romance Series 402

Mengejar Jodoh
==============
Part 1

Langit seakan memberi peringatan. Selalu bergemuruh saat aku bersamanya. Tuhan pun selalu memberi keresahan setiap aku menyebut namanya di pertengahan malam. Dia cintaku.

Aku tak tahu ini hanyalah nafsu belaka atau memang benar benar cinta. Yang aku tahu, hati ini selalu luluh dengan janji 'Tahun depan'.

***

"Ndok, kapan kamu ini mau nikah. Si bapaknya Arya sudah punya anak dua. Kamu masih saja bilang belum punya pacar," kata Ibu di seberang sana.

Bukan, bukan aku belum punya tambatan hati. Tapi sengaja aku merahasiakannya. Takut jika gagal.

Sering kali Ibu membandingkanku dengan lelaki yang kusebut 'mantan'. Dia memang sudah bahagia dengan istri keduanya. Tapi inikan bukan sebuah ajang perbandingan. Dia hanyalah jodoh orang yang pernah bersamaku.

"Bu, Sekarang umurku berapa?" Tanyaku sembari menahan tawa.

"Mau kepala tiga kan?"

"Aih... Ibu. mentang-mentang dah punya cucu sudah mulai pikun, lupa sama umur anak sendiri. Aku baru tujuh belas Bu," aku terkekeh. Membayangkan wajah Ibuku. Mungkin sedang menggaruk-garuk kepala yang tak gatal atau sedang mengechek kartu keluarga.

Rindu dengan sesosok wanita tangguh yang sudah malahirkanku. Setahun sudah, tak bertatap muka. Semanjak cuti pulang setahun yang lalu.

"Inget umur Nduk. Jangan materi saja yang kamu kejar. Sudah cukup. Sudah saatnya kamu bahagia," ucapanya tersengal. Terdengar isak yang tertahan.

"Iya Bu. I Love You. Sudah dulu ya, anakmu ini mau cari jodoh dulu besok sambung lagi , hihihi," pamitku.

"Iya Nduk. Hati-hati," jawabnya berat.

Tut. Kuakhiri sambungan telephon yang hampir berakhir drama tangisan sendu jika malanjutkannya. Seperti yang sudah-sudah. Akan terdengar Ibu tersedu-sedu jika mengingat tentang perjalanan cintaku yang ia anggap terlalu pahit.

***
[Dek, ketemu sebentar yuk. Kangen,] sms masuk dari nomor yang kuberi nama 'my beib'.

[Sekarang]

[Iya. Sebentar saja. Lima menit] balasnya.

[Ini jam berapa? Nunggu pagi aja]

[Tapi aku maunya sekarang]

Ragu, akhirnya aku mengiyakan. Toh hanya sebentar. Semua sedang terlelap pasti tak akan ada yang tahu.

[Janji ya lima menit]

[Iya sayang. Makasih ya emmuuaah]

Dengan hati-hati aku turun dari ranjang. Tak ingin sedikitpun menimbulkan suara. Semua lampu sudah padam. Sepertinya semua memang sudah terlelap.

Aku segera menuju pintu dapur dengan bantuan flash dari handphone. Dengan detak jantung yang tak beraturan dan langkah gemetar. Akhirnya bisa keluar dengan aman. Semoga saat kembali juga masih seperti ini.

[Dimana?] Kutekan tombol kirim. Tak kudapati lelaki yang mengajakku bertemu. Apa ia hanya ingin mengerjaiku?

Bertemu jam dua dini hari memanglah konyol. Sepertinya hanya orang-orang tak punya nalar sepertiku saja yang akan melakukannya.

Merasa kesal. Aku segera berbalik arah. Tiba-tiba...

"Makasih sudah datang," dua tangan sudah melingakari pinggangku dari belakang.

Lalu mengecup mesra leherku.

"Hei... Ini sudah berlebihan," ucapku lirih. Mencoba melepaskan diri dari pelukannya.

"Sebentar saja. Aku ingin menikmati kedekatan ini."

"Cukup, aku ingin pulang sekarang."

Merasa belum puas. Ia mempererat pelukannya. Inikah yang namanya cinta buta? Tak ingat waktu dan tempat. Hanya ingin bersama meluangkan hasrat dan parahnya aku menikmatinya.

Berjanji hanya bertemu lima menit. Ternyata menjadi lima belas menit. Itupun karena merasa ada sesuatu yang mengawasi.

"Beib, itu apa?" Tanyaku menunjuk sumber cahaya yang menyibak pekatnya malam.

Terlihat menyorot kekiri lalu kekanan . Bergerak perlahan. Mencari sesuatu.

"Bapak... huh... gimana ini?" Terkaku. Jantungku seakan keluar menembus kulit. Dag dig dug tak beraturan.

"Kita hadapi sama-sama," ia mengecup keningku. Memberi kekuatan. Ia masih saja terlihat begitu santai. Mungkin sudah biasa berhadapan dengan kondisi seperti ini bersama beberapa mantan pacarnya dulu.

Perlahan, aku menuju pintu yang sudah terbuka sepenuhnya. Lampu dapur dan ruang tengah sudah menyala. Artinya mereka memang terbangun atau mungkin memang belum tidur.

"Kemana kamu Nduk jam segini," tanya Ibu sembari memelukku. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran.

Tangannya mengebaskan sisa dedaunan kering yang masih menempel di rok panjangku. Tadi sebelum pulang. Aku terduduk lemas di tanah. Takut.

"Maaf Bu, cuma cari angin," jawabku sekenanya. Tak masuk akal memang. Tak mungkin seorang gadis akan keluar selarut itu.

"Angin. Angin apa yang kamu cari Nduk. Apa tak cukup kipas di dalam kamarmu itu. Siapa dia?" Timpal Bapak yang sedang duduk di kursi tempat makan. Wajahnya memerah menahan amarah. Sesekali kepalan tanganya ia tinjukan ke meja kayu di depannya.

"Sabar Pak," Ibu mengusap dada.

Aku hanya menunduk. Rasa bersalah menari-nari di otakku.

"Mas Su..."

Belum rampung menyebutkan nama Bapak sudah bangkit dari duduknya lalu menuju pintu.

Brakk... pintu terbanting sangat keras.

"Kamu itu kenapa to Nduk? Ibu ga nyangka kamu bisa berbuat seperti ini," tangan kasarnya membelai rambutku yang sudah ada di pangkuanya. Butiran hangat menetes tepat di pipiku.

"Maaf Bu, tapi Anis ga ngapa-ngapain sama mas Herman. Cuma ketemu. Ga lebih," jelasku.

Beberapa menit kemudian, Bapak kembali diikuti mas Herman di belakangnya.

"Duduk," suruh Bapak keras "Anis, sini. Bapak mau bicara."

"Bu..." kugenggam erat tangan Ibu.

Ibu hanya mengangguk. Menyuruhku mengikuti pinta Bapak.

"Siap tidak siap kalian harus menikah," ucap Bapak emosi. Tangannya mengepal siap melayang ke wajah lelaki yang sudah mengajakku berkencan dipertengahan malam. Sekuat tenaga ia menahannya.

"Tapi kami tidak melakukan apa-apa Pak. Bagaimana dengan sekolahku. Aku masih ingin sekolah Pak," tampisku.

Ragaku bergetar. Berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Jalanku masih panjang, masih terlalu muda untuk menikah. Usia yang baru saja melewati angka enam belas, bukankah masih terlalu dini? Andai saja aku tak menuruti ajakannya bertemu dibelakang rumah. Pasti semua ini tak akan terjadi.

"Lupakan cita-citamu itu. Kamu sendiri yang menghancurkannya Nduk. Tercoreng sudah wajah Bapak ini. Lebih baik kamu nakal minta jajan dari pada Bapak nanti harus menanggung malu. Lebih baik sekarang sebelum terlambat."

Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membela diri. Lelaki itu hanya duduk diam mengiyakan. Jelas saja dia sudah berumur dua puluh satu tahun meski dengan kerjaan serabutan ia sudah dibilang cukup matang.

Sedangkan aku. Aku memang terlalu bodoh.

TBC...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience