Rate

5

Romance Series 402

#Mengejar_Jodoh
===============
Part 5

Part sebelumnya

Sebulan sudah statusku sebagai istri. Ternyata rasanya semakin tak nyaman. Semakin canggung di rumah orang tua sendiri.

Mas Herman mengajakku tinggal di rumah kakek yang sudah lama tak di tinggali. Sejak nenek meninggal kakek memilih ikut anaknya. Ia sudah terlalu renta untuk tinggal seorang diri.

Rumah yang berdiri setengah abad yang lalu itu masih berdiri dengan kokoh. Sepertinya dulu nenek mas Herman rajin merawatnya. Foto-foto masih berjajar rapi menggantung di dinding. Hanya perlu dibersihkan sedikit saja pasti kinclong lagi.

Dulu waktu kecil, mas Herman bilang juga tinggal disini. Kedua orang tuanya merantau ke Jakarta.

Di sebelah kanan dan kiri rumah ada banyak batang pohon coklat memanjang sampai kebelakang rumah. Ada beberapa yang kering. Sudah tak terawat lagi semenjak kakek sering sakit-sakitan. Dalam satu batang hanya 5 sampai sepuluh buah saja. Ya... masih lumayan. Cukup untuk uang pegangan kakek
. *
Mas Herman mulai menabur kompos disetiap pangkal batang pohon. Membabat rumput liar yang tumbuh. Menebang pohon-pohon kecil untuk kayu bakar. Ia juga memetik buah yang sudah mulai menguning kulitnya. Aku ditugaskan mengupas lalu menjemur.

"Nis, kemarin kata bulek Rat, kamu itu tinggal enaknya. Ga nanem tapi manen. Mungkin iri ya Nis. Selama ini bulek Rat memang ga pernah dikasih hasil panen sama si Mbah," kata Sri.

Dia tetangga depan rumah. Sejak aku pindah sering sekali datang. Walau hanya sekedar basa-basi tak jelas. Sebenarnya malas melayani omongannya yang kemana-mana.

"Apa iya Sri. Padahal ni juga nanti kalau sudah dijual uangnya buat Si Mbah," kataku membela diri.

"Bener Nis. Udah ga usah di anggep ati Nis. Anggep aja radio rusak. Hahaha."

Akupun hanya tersenyum kecut. Segitunya aku di mata mereka. Sedikitpun aku tak pernah meminta hasil dari kebun kakek. Mas Herman bukanlah pemalas yang tak bisa membiyayai hidup istrinya.

*
"Mas, kalau kita merantau saja gimana? kita kan belum punya anak. Jadi aku bisa bantu dikit-dikit Mas," ucapku sembari menyerahkan kopi.

"Mau kemana to Yang," jawab mas Herman selengehan, tak menanggapi keseriusanku.

"Kemana kek. Ke Jakarta atau Palembang. Kata mbak Lia disana banyak kerjaan."

"Emang kalau di kampung ga bisa dapat uang?"

"Ya Mas bisa. Tapi aku enggak kan?"

"Emang ga suka tinggal disini?"

"Mas, Mas ni tak tahu atau pura-pura ga tahu Mas. Seharusnya keluargaku yang marah. Tapi, ini keluarga Mas yang ga jelas. Bapak sama ibu mas nganggep aku kaya ga ada kalau kamu ngajak aku kesana. Bulek-bulek mu yang lain juga selalu njelekin aku. Emang segitu buruknya ya Mas aku di keluargamu. Apa aku benar-benar terlalu buruk untuk dijadikan mantu. Sakit Mas. Sakit diginiin terus hu-hu-hu," aku tersedu-sedu. Emosi yang kupendam selama ini akhirnya meluap begitu saja. Tak kuat menahannya seorang diri.

"Yang kamu ini kenapa?"

Dipeluknya badanku yang mengembang. Ia tahu, hanya cara itu ia bisa menenangkanku.

*
Mas Herman mendapat borongan pasang keramik di rumah yang baru di bangun milik bibinya yang di Jakarta. Jaraknya hanya sekitar seratus meter saja dari rumah. Lumayan bayarannya cukup buat makan dan masih ada sisa untuk ditabung.

Mereka bilang tak perlu buru-buru jadi mas Herman kerjakan seorang diri.

Selepas subuh mas Herman langsung bekerja. Aku menyusul setelah selesai memasak. Membawa bekal sarapan dan makan siang kami berdua. menemaninya sepanjang hari.

Aku lebih suka lewat jalan tikus belakang rumah. Tak ingin berpapasan dengan Sri yang hobbi nongkrong di teras sambil njemur anak bayinya yang baru sebulan. Katanya sedikit ada kuning.

Aku masuk lewat pintu dapur.

"Mas," panggilku.

Tak ada sautan. Mungkin mas Herman sedang pakai headset di telinganya, jadi tak dengar panggilanku.

Aku meletakkan rantang berisi nasi dan lauk diatas meja yang ada di dapur. Lalu perlahan mengendap mencari mas Herman. Mau mengejutkannya. Aku tahu dia masih mengerjakan di bagian ruang tamu.

"Dorrrr ... Eh Mas... Ngapain?" Tanyaku. Kudapati mas Herman sedang memeluk seorang wanita yang kuketahui bernama Etik.

"Anis...." Keduanya serentak memanggil namaku. Tak seperti biasanya. Jadi begini kalau ada mantan tak ada lagi 'Yang'.

"Nis, emm... anu... aku rindu sama mas Herman. Jadi aku peluk. Maaf ya Nis. Gapapa Kan?" Ucap Etik gelagapan.

"Ga papa kok. Ga papa lanjutin aja. Maaf menggangu," kataku sembari pergi meninggalkan mereka.

Aku tahu mantan sejoli yang ada di foto yang menempel di dinding kamar mas Herman itu sudah lama tak bertemu. Rindu berat.

Ku usap dadaku berulang-ulang. Kenapa sesak sekali. Hiks...

Dug... Aaauuu... Pintu sialan.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience